Belanda Masih Jauh
Jika sudah begini, kita cukup tertawa sinis untuk orang-orang yang sebelumnya terlalu lambar berfikir dan bergerak, ceroboh, bodoh, dan takabur. Orang Betawi bilang: “Lu makan tuh pencarian lu!” alias terima akibatnya.
Oleh : Chairil Gibran Ramadhan
Dalam sejarahnya, Nusantara, wabil khusus di wilayah Batavia atawa yang sekarang menjadi Kota Tua Jakarta, bangsa Eropa bercokol dari 1610-1941 (maka salah kaprah besar jika dikatakan bahwa seluruh negeri ini dijajah selama 350 tahun). Catatan ini bila menurut pada daftar seluruh ‘Towan GG’ yang pernah memerintah di Nederlandsch-Indie alias Hindia-Belanda: Dari Pieter Booth sebagai gouverneur generaal pertama (1610-1614), hingga Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborgh Stachouwer sebagai gouverneur generaal ke-70 (1936-1941), termasuk para GG dalam Engelsch Bestuur (Pemerintahan Inggris).
Mungkin terkesan aneh atau “lucu”, bagaimana bangsa ini ‘betah banget’ dijajah.
Terlepas dari kenyataan di atas, rupanya keberadaan penjajah kolonial Belanda (meskipun negeri ini tidak hanya dijajah oleh Belanda), sangat membekas pada masyarakat kita, bahkan mungkin sudah menjadi darah di dalam tubuh.
Pada pertengahan dekade 1980-an, muncul istilah ‘Belanda masih jauh’, sebagai tanggapan atas ajakan bergegas melakukan sesuatu. Istilah ini jelas mengandung kesan santai dan semaunya. Seakan kita tidak perlu melakukan persiapan apa-apa dari sebuah penyerangan untuk adanya pertempuran, karena: Belanda masih jauh.
“Nggak usah buru-buru. Belanda masih jauh.”
Memang terkesan sebagai canda. Namun bila dikaitkan dengan sebuah rencana dan gerakan, sangat jelas bahwa kalimat ‘Belanda masih jauh’ merupakan bentuk kelambanan, kecerobohan, kebodohan, bahkan ketakaburan kita.
Dikaitkan dengan badai virus Corona atau Covid-19 saat ini yang berasal dari Wuhan, Cina (maka pihak Amerika menyebutnya sebagai ‘China Virus’), sangat jelas bagaimana sebagian dari bangsa ini memercayai istilah ‘Belanda masih jauh’, sebagai bentuk dari kelambanan berfikir dan bergerak, kecerobohan, kebodohan, bahkan ketakaburan.
Kita tentu masih ingat bagaimana ‘anak negeri’ sangat yakin bahwa virus Corona tidak akan masuk ke Indonesia sebagai negara besar di Asia, menantang pihak lain membuktikan keberadaan virus Corona di Indonesia, menyatakan kesiapan Indonesia menghadapi Corona, menolak bantuan alat uji Corona, mengabaikan himbauan WHO yang ada sejak akhir 2019, bahkan membuka pintu lebar-lebar untuk masuknya WNA ke Indonesia dengan memberikan segala jenis kemudahan (langkah ini kemudian dijadikan sebagai bahan lelucon oleh pers luar negeri melalui sebuah karikatur). Lebih lamban, ceroboh, bodoh, dan takabur lagi adalah bahwa virus mematikan ini dijadikan sebagai bahan canda di kalangan ‘orang pangkat-pangkat‘.
Akibatnya, karena merasa ‘tidak perlu melakukan persiapan apa-apa dari sebuah penyerangan untuk terjadinya pertempuran’, ketika virus tersebut sudah masuk ke Indonesia dan menyebar hingga menyebabkan kematian yang tidak hanya menimpa masyarakat tetapi juga dokter dan paramedis, kita pun menjadi kelabakan karena pada kenyataannya memang sangat tidak siap pada garis apapun untuk menghadapi Corona. Tak bisa disalahkan jika kemudian Indonesia akhirnya menjadi cemoohan dan hinaan pemimpin negara lain dengan sebutan melecehkan: negara paling buruk di dunia dalam pengananannya menghadapi virus Corona.
Jika sudah begini, kita cukup tertawa sinis untuk orang-orang yang sebelumnya terlalu lambar berfikir dan bergerak, ceroboh, bodoh, dan takabur. Orang Betawi bilang: “Lu makan tuh pencarian lu!” alias terima akibatnya.
Kini, kita memang tidak bisa lagi cengar-cengir sambil mengatakan “Belanda masih jauh”, karena peluru Belanda, virus Corona itu, sudah menghantam tepat di tengah kening.
Semoga cermin ini membuat kita berfikir. Tabe srenta hormat! [ ]