Veritas

Pemimpin tak Kompeten dan Menolak Sains Adalah Bencana

  • Kebanyakan pemimpin yang sukses menangani wabah Covid-19 adalah perempuan.
  • Hanya ada satu laki-laki, yaitu Presiden Korsel Moon Jae-in.
  • Mereka yang tak kompeten, menolak sains, dan meracau, menimbulkan bencana.

Washington — Mereka memimpin negaranya menangani wabah virus korona sejak dini, dan sukses. Lainnya, tak kompeten, menyangkal sains, dan menimbulkan bencana.

Menariknya, kebanyakan pemimpin yang sukses menangani Covid-19 adalah perempuan. Mereka adalah Presiden Taiwan Tsai Ing-wen. Kanselir Jerman Angela Merkel.

PM Selandia Baru Jacinda Ardern, PM Finlandia Sanna Marin, PM Eslandia Katrin Jakobsdottir, dan Presiden Korea Selatan (Korsel) Moon Jae-in yang menjadi satu-satunya pemimpin pria.

Respon Dini

Setelah mendengar kemunculan virus misterius di Wuhan, Cina, awal Desember 2019, Presiden Tsai Ing-wen menginstruksikan agar semua pesawat dari Wuhan diperiksa.

Ia mendirikan pusat komando epidemi, menggenjot produksi peralatan pelindung diri, masker, dan membatasi semua penerbangan dari Cina, Hong Kong, dan Makau.

Banyak orang mengatakan responnya berlebihan, tapi Tsai Ing-wen tidak peduli. Belakangan diketahui langkah-langkah intervensi awal inilah yang membuat Taiwan sukses menekan wabah.

Taiwan kini memiliki 393 kasus infeksi terkonfirmasi, dengan enam kematian. Departemen Luar Negeri AS memuji Taiwan, dan meminta negara itu diberi status pengamat di Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Presiden Tsai Ing-wen kini menginstruksikan rakyatnya untuk membantu dunia memerangi Covid-19, dengan mengekspor jutaan masker ke Uni Eropa, dan negara lainnya. Situasi yang membuat Cina jengkel.

Di Selandia Baru, PM Jacinda Ardern menutup industri pariwisata, dan memberlakukan lockdown selama satu bulan, sejak kasus Covid-19 pertama muncul. Selandia Baru kini hanya mencatat sembilan kematian.

Keputusan Rasional

Jerman berpenduduk 83 juta, dengan mobilitas sedemikian tinggi. Seperti Italia dan Spanyol, Jerman gagal menekan angka penularan.

Terdapat 132 ribu kasus terjangkit, tapi dengan tingkat kematian sangat rendah. Jauh lebih rendah dibanding Italia, Spanyol, Prancis, dan Inggris.

Jerman mencatat kematian 3.495. Spanyol 18,579, Italia 21,067, Prancis 15,750, dan Inggris 12,129.

Jumlah kasus terinfeksi di Jerman dan Prancis berbeda sedikit, yaitu 132,210 dan 131,362.

Hans-Georg Kräusslich, kepala virologi di RS Heidelberg mengatakan kepada New York Times; “Mungkin kekuatan terbesar kami adalah pengambilan keputusan yang rasional di tingkat pemerintahan tertinggi, dikombinasikan dengan kepercayaan terhadap pemerintah.”

Kräusslich pasti tidak sekedar berpendapat. Ia tahu Angela Merkel sebelum menjadi kanselir adalah dokter kimia bidang kimia kuantum. Merkel mendeteksi lonjakan kasus, ia juga piawai menangani pandemi

Jerman memiliki tempat perawatan paling inteksif, dan program pengujian virus korona terbesar di Eropa.

Intervensi Agresif

Saat terpilih sebagai perdana menteri, banyak pemimpin di Eropa meragukan kemampuan Sanna Marin memimpin Finlandia — negeri dengan populasi 5,5 juta.

Maklum, mantan penjaga toko itu masih berusia 34 tahun. Ia menjadi pemimpin termuda di dunia. Namun, dia dipercaya 85 persen rakyatnya ketika mengambil langkah pencegahan pandemi Covid-19.

Marin, satu dari empat pemimpin negara Nordik, sukses. Tingkat kematian Covid-19 di Finlandia saat ini tak beranjak dari 59.

Katrín Jakobsdóttir, PM Eslandia, tahu kematian akibat Covid-19 — meski mungkin hanya satu — adalah tragedi. Sebab, Eslandia berpenduduk 360 ribu orang, dengan sebagian besar wilayahnya berselimut es.

Jakobsdóttir melakukan intervensi awal paling agresif. Ia melancak kontak setiap penduduk, dan mengkarantina orang-orang yang diduga terjangkit virus korona.

Sampai hari ini Eslandia mencatat 1,720, dengan lima kematian. Bandingkan dengan Swedia, yang memiliki 11,445 kasus dengan 1,033 kematian.

Swedia satu-satunya negara Nordic yang dipimpin laki-laki. PM Stefan Löfven membiarkan kehidupan berjalan seperti biasa, dengan sekolah terbuka, tempat ibadah tidak dikunci, dan bisnis bergulir.

Di luar negara-negara itu, ada satu negara mungil bernama Sint Maarten. PM Silveria Jacobs, dalam video yang viral ke seluruh dunia, memerintahkan rakyatnya berhenti bergerak.

“Tidak ada alasan untuk tidak berhenti bergerak,” kata PM Jacobs. “Jika kalian tidak punya roti, makan kerupuk, sereal, gandun, apa saja.”

Tak Kompeten

Presiden Korea Selatan (Korsel) layak mendapat pujian atas semua yang dilakukan untuk negaranya. Ia meratakan kurva infeksi lewat pengujian luas.

Ia bersikap rendah diri dengan selalu meminta maaf atas ketidak-pekaannya. Salah satunya, ketika harga masker melonjak. Ia menyampaikan belasungkawa ketika satu dokter di garis depan perang melawan wabah meninggal dunia.

Situasi sebaliknya terjadi di AS. Episentrum pandemi Covid-19 kini di AS. Semua ini terjadi karena satu hal; ketika politisi Partai Demokrat membunyikan alarm, Presiden Donald Trump menuduh lawan politiknya mempolitisasi wabah.

Presiden Trump juga mengabaikan peringatan ilmuwan papan atas. Kini, AS memimpin klasemen sementara korban terjangkit dan tewas Covid-19, dengan 609,685 kasus dan 26,057 kematian.

Alih-alih serius menangani wabah, Trump sibuk melempar dan keputusan kontroversi. Mulai dari penggunaan terminologi virus Cina, sampai menunda pemberian dana ke Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Situasi serupa terjadi di Inggris. PM Boris Johnson menolak asumsi Inggris menghadapi krisis kesehatan. Ia ogah mengenakan pembatasan sosial, kendati negara-negara Eropa telah melakukannya.

Sebelum dilarikan ke rumah sakit akibat terjangkit Covid-19 dengan gejala, PM Boris Johnson mengatakan kepada wartawan; “Saya tdiak akan menghentikan kebiasaan jabat tangan dengan pasien rumah sakit.”

Ia meracau, dengan mengatakan virus tidak menyebar ke seluruh dunia secepat ini jika Presiden Tiongkok Xi Jinping tidak mengijinkan lima juta orang meninggalkan Wuhan sebelum kota itu dikunci.

Back to top button