Solilokui

Sebagai Single, Saya Gowes ‘Sorangan’ ke Km 0 Sentul

Aku tak memperhatikan berapa lama akhirnya sampai ke puncak Km 0 Sentul. Begitu belok mencapai titik temu, aku disambut Pak Tua pengatur lalu lintas. Aku pikir di sana ada lapangan buat kumpul atau kegiatan, tapi rupanya hanya berupa plang spanduk besar bertuliskan “Welcome to KM 0 Sentul” di pinggir pertigaan jalan. Paling ditambah tempat parkir sepeda. Cukup mengherankan di Km 0 Sentul tidak ada sesuatu yang ikonik, mengingat betapa legendaris tempat itu kedengarannya bagi para goweser.

Oleh  : Anwar Holid

JERNIH– Sabtu pagi kemarin aku gowes cek rute ke Pasar Cibinong, Kabupaten Bogor, karena nanti mau janjian gowes bareng Sigit dari IHG ke Km 0 Sentul dengan titik kumpul di situ. IHG ialah In Harmonia Gowesio, klub sepeda Paguyuban ITB 89 — komunitas yang paling sering ngajak aku gowes bareng.

Awalnya aku mau gowes ke Cibinong lewat rute sesuai saran Googlemaps mode ‘jalan kaki.’ Tapi Sigit bilang, “Pakai rute biasa saja. Itu buat orang yang sudah tahu, nanti kamu malah kesasar.” Jadilah aku gowes dari Puri Bintaro via Jl. Ki Hajar  Dewantara (Ciputat) – Lebak Bulus – Cilandak – Pasar Rebo – Jl. Raya Bogor terus sampai Cibinong. Aku pernah 2-3 kali gowes lewat jalur ini.

Anwar Holid

Mengayuh pedal pukul 05.30 dengan target sampai pukul 07.00 di Pasar Cibinong, pagi itu cerah dan segar. Kemarin Bintaro habis diguyur hujan. Karena tidak tahu persis rute, sesekali aku berhenti nanya ke orang untuk memastikan jalan sampai ke Ciputat. Dari sana jalan ke Pasar Rebo – Jl. Raya Bogor sudah “kebayang-bayang” laiknya lyric lagu Ona Sutra.

Begitu sampai Cilandak sudah banyak rombongan goweser melaju searah, mayoritas pengguna road bike. Sementara, begitu melintasi Jl. Raya Bogor banyak rombongan goweser menggunakan beragam sepeda, baik MTB, sepeda lipat, juga fixie.

Sayang target waktuku tak tercapai. Begitu tiba di fly-over Cibinong yang banyak ditongkrongi goweser, aku kira ini Pasar Cibinong. Ternyata benar manakala memastikannya pada sopir angkot yang lagi ngetem. Kesimpulan: nanti jangan janjian ketemu pukul 07.00 di sini, tapi harus 07.40-an.

Karena sudah di Cibinong, langsung muncul pikiran: apa lanjut saja ke Km 0 Sentul?? Kata Sigit hanya sekitar satu jam dari Cibinong. Tapi aku belum tahu rutenya. Akhirnya aku putuskan bablas, minimal sampai Sentul, ke warung soto mie bogor dekat Tugu Sentul (Tugu Pancakarsa) yang dulu pernah aku mampir bareng Sapto Adi waktu ngajak gowes ke Curug Hejo. Begitu belok ke arah tugu, aku tanya goweser yang lagi santai di pinggir jalan untuk membayangkan ancer-ancer rute ke km 0.

“Lewat Rainbow Hills saja Pak, lebih enak.”

“Ke mana arahnya ya?”

“Dari tugu belok kanan, lurus ke Hotel Harris, terus ke kiri ikuti jalan raya, masuk terowongan, ke arah Jayanti. Dari sana pasti nggak akan kesasar. Cuma itu kok jalannya.”

“Kira-kira berapa kilo, Kak?”

“Paling sekitar 8 km, Pak.”

“Oh,  ok.’’

Berbekal carbo loading mie soto bogor plus dua gelas teh hangat, aku lanjut gowes etape kedua. Sejak terowongan di cabang Jalan Raya Sentul itu mulai terasa nanjak landai. Awalnya dari berangkat aku terus pakai gir tinggi, tapi lama-lama terasa berat. Akhirnya aku turunkan biar cepat tak terasa pegal. Gowes sendirian banyak bikin aku membatin atau berimajinasi, melamunkan banyak hal di kepala. Berbagai bayangan muncul, termasuk keheranan atas sesuatu, sampai kekesalan. Aku selalu berharap gowes bisa menggilas kegelisahan dan stres. Mungkin memang begitu adanya. Keringat yang ngucur, tenaga yang terkuras, napas yang tersengal, emosi yang terlampiaskan…. Kegiatan seperti ini bisa memicu hormon endorfin yang bisa bikin jiwa dan raga kita lebih bahagia dan bugar, mengobati depresi.

Gowes ke km 0 mengingatkan aku pada gowes-gowes ke bukit atau gunung pinggir Bandung, misalnya ke Lembang atau Gunung Puntang. Jujur menuju km 0 ini terasa lebih ringan, jalannya pun mulus sepanjang jalur. Itu membantu kenyamanan gowes. Buat goweser amatir seperti aku, dengan gowes alamiah tanpa memaksa diri menggunakan gir tinggi, nanjaknya bisa diatasi dengan cukup mudah. Buktinya aku tidak perlu istirahat lagi atau turun untuk nuntun sepeda sejak gowes dari warung soto mie. Sepanjang perjalanan barangkali aku hanya lihat 1-2 goweser yang istirahat di pinggir jalan. Pemandangan selama gowes juga tampak biasa, tak ada yang benar-benar menarik perhatian. Sesekali beberapa goweser melintas sudah turun.

Sejak pindah kerja ke Jakarta dan sekarang ke Bintaro, aku lebih suka gowes ke pantai wilayah Jakarta atau Kabupaten Tangerang daripada menuju bukit seperti Sentul atau Jonggol. Alasannya jelas karena gowes ke pantai terasa lebih ringan, cenderung datar. Memang gowes ke pantai lebih gersang dan cukup sering menjumpai ruas jalan jelek, tapi selama perjalanan menawarkan pemandangan perdesaan yang lebih alami, asri, dan bersahaja. Di daerah pesawahan mudah kita lihat kawanan burung blekok, sesuatu yang sulit kita jumpai pas gowes ke perbukitan.

Aku tak memperhatikan berapa lama akhirnya sampai ke puncak Km 0 Sentul. Begitu belok mencapai titik temu, aku disambut Pak Tua pengatur lalu lintas. Aku pikir di sana ada lapangan buat kumpul atau kegiatan, tapi rupanya hanya berupa plang spanduk besar bertuliskan “Welcome to KM 0 Sentul” di pinggir pertigaan jalan. Paling ditambah tempat parkir sepeda. Cukup mengherankan di Km 0 Sentul tidak ada sesuatu yang ikonik, mengingat betapa legendaris tempat itu kedengarannya bagi para goweser. Kelegendarisan tempat ini bisa dilihat dari banyaknya stiker komunitas gowes yang menempel di tiang listrik dan rambu lalu lintas pinggir jalan di situ. Begitu sampai aku menaruh sepeda di tugu kecil pinggir jalan dan memfotonya buat kenang-kenangan sekaligus selfie.

Rasanya aku tak haus-haus amat waktu sampai di puncak. Aku lihat sejumlah goweser sedang kumpul dan mengobrol di warung-warung pinggir jalan. Ada yang pesan kelapa muda, mie rebus plus telur, jus, juga gorengan.

Aku pilih warung yang menyediakan jeruk peras panas. Sebentar saja buat menghabiskannya, langsung terasa segar lagi. Aku tanya ke pelayan, “Mas, kalau lewat sana menuju ke mana ya?”kataku, mengarah ke turunan di sebelah kiri pertigaan.

“Ke Taman Budaya, Pak.”

“Dari sana mudah balik ke Sentul?”

“Memang itu jalurnya.”

Selesai minum aku siap meluncur lagi. Di peta, rutenya menuju Jalan Bojong Koneng. Hal paling menyenangkan setelah gowes sampai puncak memang menikmati bonus turunan. Tapi harus hati-hati. Keselamatan tetap nomor satu. Jangan sampai celaka. Telah terjadi berkali-kali kecelakaan kala goweser ngebut turun dari KM O Sentul, penyebab utamanya ialah antara hilang kendali dan rem blong.

Hari itu Jalan Bojong Koneng cukup padat, jadi kadang-kadang aku harus berhenti karena tidak bisa nyalip entah dari kanan atau kiri. Jalan terlalu sempit dilalui mobil dua arah. Bikin kesenangan meluncur jadi sedikit berkurung. Hanya sebentar buat sampai Taman Budaya Sentul.

Dari sana ketemu jalan raya super bagus, mirip tol, yang berkelok-kelok. Inilah momen terbaik dan paling asyik gowes ke Km 0 Sentul. Rasanya melayang-layang seenaknya. Kita pantas menikmati kesenangan sederhana dari gowes yang menguras tenaga. Setelah meliuk-liuk, sampailah di Tugu LOVE.

Tadinya mau foto sepeda di situ, tapi lalu-lintas sudah padat, jadi aku urungkan, malah langsung menuju Tugu Sentul. Baru setelah melintasi Jalan Raya Bogor – Jakarta, di sekitar Cilodong perutku kempes. Aku mampir ke warung nasi sederhana dengan halaman rapi, dilayani seorang nenek. Setelah mengisi perut dan mengisi ‘bidon’ (tempat minum yang disimpan di sepeda) aku memancal. Begitu sampai Bintaro aku perhatikan jarak gowesku. Lebih dari 100 km bolak-balik. Hore…. bisa menuntaskan gran fondo hari ini!

Selama gowes ke km 0 Sentul ini aku menghabiskan:

* air minum 3 bidon

* 3 batang wafer cokelat (bekal)

* kopi sebotol (bekal)

* soto mie + teh hangat di Sentul

* jeruk peras hangat di Km 0

* makan siang + minum di Cilodong

* 1 kotak air kelapa instan  [  ]

Anwar Holid aka Wartax, tinggal di Bintaro, Tangerang Selatan. Blog: halamanganjil.blogspot.com. Twitter: @nwrhld. IG: @anwarholid.

Back to top button