Si Pembangkang Itu Akhirnya Kini Terinfeksi
Dia menolak memakai masker. Dia mendorong digelarnya pertemuan besar–termasuk rapat umum Tulsa, Oklahoma, yang dihadiri Herman Cain untuk berpidato di konvensi besarnya, sebelum jatuh sakit dan sekarat karena virus corona. Saat itu ratusan dan bahkan ribuan orang, banyak tanpa penutup wajah, berdesakan dalam rapat umum.
Oleh : Frank Bruni
JERNIH—Ini adalah ukuran dari sinisme yang kini telah menginfeksi politik Amerika Serikat, hingga reaksi pertama saya terhadap berita bahwa Presiden Trump dinyatakan positif terkena virus corona adalah: benarkah? Bisakah kita mempercayai itu?
Seorang pria yang terlampau sering ber-‘playing victim’ secara flamboyant, dan orang yang telah menyusun cara profilaksis untuk menjelaskan kerugian pemilu yang diproyeksikan kepada Joe Biden, sekarang dipaksa keluar dari jalur kampanye, yang akan menjadi “a monster of an excuse”. Saya tidak dapat berhenti memikirkan itu.
Saya bahkan sempat memikirkan soal karma. Trump telah menghabiskan sebagian besar waktu enam bulan terakhir—di saat lebih dari 200 ribu orang Amerika meninggal karena sebab-sebab yang terkait dengan virus korona, meremehkan pandemi, mengeluarkan jaminan palsu dan menolak untuk mematuhi pedoman kesehatan masyarakat yang dibuat para pejabat di pemerintahannya sendiri untuk dipatuhi.
Dia menolak memakai masker. Dia mendorong digelarnya pertemuan besar–termasuk rapat umum Tulsa, Oklahoma, yang dihadiri Herman Cain untuk berpidato di konvensi besarnya, sebelum jatuh sakit dan sekarat karena virus corona. Saat itu ratusan dan bahkan ribuan orang, banyak tanpa penutup wajah, berdesakan dalam rapat umum. Pada debat presiden pertama pada Selasa malam, dia mengejek Biden karena sering memakai masker. Tak jeasl itu menandakan apa. Rasa takut? Lemah? Vogueishness? Kesombongan moral?
Pada Trump, sulit untuk mengetahu apakah pembangkangan itu tak lain dari semacam angan-angan tentang prevalensi sebenarnya dari virus corona, cerminan dari keyakinannya pada fisiknya yang tak terkalahkan fisiknya sendiri, atau kombinasi dari hal-hal di atas, atau justru tidak sama sekali.
Tapi sangat mudah untuk mengidentifikasi moral dari cerita ini.
Yang paling jelas adalah bahwa virus corona belum berlalu, serta tidak ada jaminan– bertentangan dengan nubuat Presiden yang memandang dengan cerah dan over-optimistis bahwa virus itu akan hilang dalam waktu dekat—yang tentu tidak jika kita angkuh tentangnya.
Yang memunculkan sisi moral lain, ada risiko nyata dari bersikap angkuh. Presiden sekarang adalah perwujudan dari semua itu. Juga Ibu Negara. Juga Hope Hicks, salah satu penasihat terdekatnya, dan siapa yang tahu berapa banyak orang lain di lingkaran terdekatnya? Pertanyaan itu muncul karena, sejak awal, telah ada budaya sikap dan perilaku angkuh di Gedung Putih terkait virus corona.
Budaya itu dipamerkan secara mengejutkan selama briefing malam yang biasa dilakukan presiden, yang ia gunakan terutama untuk memberi selamat pada dirinya sendiri dan pemerintahannya atas pekerjaan luar biasa mereka dalam memerangi pandemi. Mereka berjuang hingga mencapai status luar biasa Amerika sebagai pemimpin dunia dalam kasus yang tercatat, dan kematian yang terkait dengan virus corona.
Budaya angkuh itu terbukti dalam aksi unjuk rasa yang diatur dan dipaksa dilakukan oleh presiden selama beberapa pekan terakhir. Budaya itu bertahan pada hari Kamis, ketika–menurut sebuah artikel Peter Baker dan Maggie Haberman di The Times, Kayleigh McEnany, tanpa masker, mengadakan briefing dengan wartawan setelah infeksi virus Hicks dikonfirmasi dan setelah McEnany berada di pesawat bersamanya, dan dia terkena.
Inilah waktu untuk belajar. Untuk menjadi lebih pintar dan lebih aman. Untuk lebih bertanggung jawab, kepada orang lain dan juga untuk diri kita sendiri. Kita tidak dapat menghapus kesalahan yang dibuat sebagai respons Amerika terhadap virus corona, tetapi kita bersumpah untuk tidak terus melakukan hal-hal tersebut. Cara untuk menangani diagnosis Presiden Trump adalah titik balik dan awal yang baru. Inilah saatnya kita bangun.
Kepresidenan dan presiden selalu merupakan cermin nasional, dalam berbagai cara sekaligus, dan itu adalah moral yang lain. Trump telah menunjukkan kepada Amerika, bagaimana kebenciannya. Dia telah mencontohkan kemarahannya. Sekarang dia mempersonifikasikan kecerobohannya. Betapa luar biasa dan bermanfaatnya jika, ketika dia berbicara dengan negara tentang hal ini, baik di televisi atau di tweet, dia merefleksikannya dengan cara yang beradab.
Saya tentu saja tidak mengandalkan itu: dia mungkin pada akhirnya mendapatkan pengalaman berhubungan ‘lebih erat’ dengan virus corona.
Saya tidak ingin menjadi sinis, tidak peduli berapa banyak alasan yang telah ia berikan kepada kita untuk itu. Saya ingin, kita semua menjadi lebih baik. [The New York Times]
Frank Bruni telah bekerja di The Times sejak 1995 dan memegang berbagai pekerjaan – termasuk reporter Gedung Putih, kepala biro Roma, dan kritikus restoran –sebelum menjadi kolumnis pada tahun 2011. Ia adalah penulis tiga buku laris.