Sorga yang Kita Ciptakan Sendiri
Apa pun yang kita alami, tidak pernah lepas dari kerangka proses penyempurnaan kita sebagai manusia. Hidup adalah siklus tiada henti. Baik siklus kecil maupun besar.
Oleh : Agus Budiyono
JERNIH– Saya dulu, ketika kuliah di Amerika, mempunyai teman sekelas seorang India. Kami sama-sama mengambil kelas Robotics & Mechatronics yang diberikan oleh Professor Haruhiko “Harry” Asada.
Semula saya mengira dia adalah lulusan program sarjana dari salah satu IIT di negaranya. India memang mempunyai sekitar 6-7 Indian Institute of Technology (semacam ITB-nya India) sebagai track untuk meneruskan program pasca sarjana di universitas-universitas maju dunia. Tapi ternyata latar belakang dia tidak sesederhana itu.
Beberapa kali berada dalam satu meja diskusi di lab saya perhatikan ada gelang kecil dari benang-benang yang berwarna-warni di pergelangannya. Dia, kelak, barangkali apa yang saya pahami sebagai monk (rahib) era modern. Dia memang tidak lagi memakai jubah merah dengan tlisir kuning menyala. Dalam keseharian dia memakai kemeja kotak-kotak atau garis-garis, biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Tapi dari dia saya kemudian banyak belajar dan menyerap banyak konsep yang saya anggap cukup dalam.
Diskusi kami, selain di meja laboratorium, sebenarnya hanya obrolan sepintas ketika kami bertemu dalam break di antara kelas di koridor kampus, usai membeli kopi hangat. Bila di lab dia berbicara secara fasih mengenai kinematika lengan robot, maka saat santai sambil ngopi, dia berbicara hidup secara umum.
Menurut dia, kita semua hidup dalam sebuah siklus besar. Sesekali dia bercerita tentang hobinya untuk melakukan trekking di gunung-gunung tinggi dekat tempat kelahirannya. Dia mengibaratkan, sebenarnya hidup adalah juga semacam pendakian (Ketika dia menunjukkan sebuah foto dirinya dengan latar belakang gunung K2, saya merasa dia cukup serius dengan apa yang dia katakan).
Bila perjalanan para pendaki adalah menuju puncak, maka hidup manusia sejatinya adalah melakukan pendakian spiritual menuju keabadian. Lalu bagaimana dengan konsep surga dan neraka? Oh that, kata dia. Itu semua bukan menjadi akhir perjalanan manusia, hanya semacam terminal atau perhentian sementara. Dalam perjalanan manusia kembali kepada dan bersatu dengan Yang Maha Abadi.
Saya merenungkan kembali kata-kata teman saya (di rahib modern) dulu. Saya menyukai definisinya tentang hidup. Hidup sepertinya memang merupakan pendakian spiritual. Dengan pemahaman ini, saya mempunyai hati yang lebih ringan mengenai apa saja yang terjadi baik dalam hubungan kerja, pergaulan atau relasi. Bahwa memang, apa pun yang kita alami, tidak pernah lepas dari kerangka proses penyempurnaan kita sebagai manusia. Hidup adalah siklus tiada henti. Baik siklus kecil maupun besar. Yang kecil, di dunia ini.
Pas di sekolah, kalau kita tidak cukup belajar, ya tidak lulus, atau mungkin mendapay nilai tidak memuaskan. Begitu juga dalam relasi apa pun, kalau kita tidak menaruh energi dan perhatian yang sesuai, tentu kualitas hubungan yang kita peroleh juga tidak memadai. Kita selalu memperoleh secara seimbang apa saja yang kita tebar. Alam—yang telah berevolusi selama 13,8 miliar tahun—memastikannya demikian. Saya membaca, keadilan alam ini begitu exactnya sampai dalam tingkat zarrah atau atom (silakan bila mau diterjemahkan menjadi elektron ataupun gluon).
Dalam siklus yang lebih besar, kata teman rahib saya itu, manusia juga akan mengalami siklus hidup, mati, hidup, …. dan seterusnya sampai dia siap untuk menuju eternity. Dalam masa hidup saya di wilayah Timur Jauh (khususnya di Korea), saya menjumpai kepercayaan masyarakat yang bahkan survive sampai abad modern, bahwa ada “previous life”. Ketika kita seperti mengenal seseorang, mereka akan dengan tidak ragu mengatakan “Oh, maybe we might have met in our previous life”. Ya, pendeknya, kepercayaan bahwa manusia itu berada dalam siklus kelahiran dan kematian.
Dalam konteks yang lebih besar, menurut sebuah teori fisika modern, ternyata alam semesta juga mengikuti siklus tersebut. Roger Penrose (matematikawan/theoretical physicist yang baru saja menerima hadiah Nobel) mengemukakan konsep Conformal cyclic cosmology (CCC), alam semesta beriterasi melalui siklus tak terhingga.
“The idea is that the universe cycles from one aeon to the next, each time starting out infinitely small and ultra-smooth before expanding and generating clumps of matter”. Saya kadang sambil nggleges sering masih heran, bagaimana teman rahib saya dulu di Cambridge bisa membicarakan semua siklus tersebut dengan rileks saja sambil mengunyah croissant dan menyeruput kopi. Beberapa konsep yang dia bicarakan dulu ternyata nobel laureate material . Seandainya saat ini saya dan dia ada dalam WAG yang sama, saya ingin mengirim sticker emoticon “bocah kok pintere ra karuan”.
Hari Minggu kemarin saya melakukan perjalanan bisnis ke Semarang, bertemu dengan tim inti Pak Gubernur. Dalam suasana masih di tengah pandemi, kami menyepakati jadual dan susunan rapat yang sesuai. Perlu efektif. Dari Bandung saya juga sudah mengantisipasi bahwa seselesai rapat, setelah istirahat sebentar, bisa langsung pulang kembali. Namun demikian pagi menjelang siang sampai Semarang, saya mempunyai kesempatan melakukan ritual yang biasa saya kerjakan. Untuk menemui Bapak yang tinggal di daerah timur kota tersebut. Saya juga biasa membawakan makanan kesukaan beliau, sate kambing.
Namun demikian, tiga tempat yang saya samperin, meskipun sudah buka, ternyata belum siap menghidangkan sate. “Nanti siang Mas”, kata mereka. Saya membaca mimik mereka yang sedikit keheranan. Oh baik, mungkin ada local wisdom bahwa sate kambing itu tidak dimakan pagi-pagi. Saya menyesuaikan diri dan memutuskan membeli soto ayam dan ubo rampe-nya (yang ternyata termasuk sate telur puyuh dan sate ayam. Lumayan, masih ada kata kunci “sate”).
Saya akhirnya bisa juga menikmati sisa pagi dengan beliau, menemani ngobrol sesudah menyelesaikan brunch sederhana. Matahari sudah agak tinggi ketika kami memutuskan pindah ke teras depan. Di pojokan ada tempat duduk favorit beliau. Tempat yang terlindung dari panasnya kota Semarang. Pohon utamanya adalah belimbing dan juga di sebelah kanan gerbang masuk ada pohon rambutan yang sudah mulai berbuah. Sementara itu di sepanjang pagar, ada persemaian anggrek kecil-kecil yang dipadu dengan berbagai jenis tanaman semak di bawahnya.
Dengan buffer jalur hijau ini, suhu di teras menjadi sangat ideal. Angin yang bertiup pelan menjadi terasa sejuk. Rasanya tidak berlebihan bahwa apa yang saya rasakan (dan diterjemahkan dengan sangat detail dalam neuron-neuron di otak) dalam waktu pendek akhir pagi itu, tidaklah jauh berbeda dengan suasana yang digambarkan dalam kitab-kitab. (Dan saya merasa bersyukur otak saya merasa tidak merasa perlu menambah-nambahi image tujuh bidadari yang telanjang).
Sambil mengobrol santai dengan Bapak yang memang sering di sana-sini berbicara mengenai falsafah hidup, saya teringat juga diskusi dengan monk modern di Cambridge 30-an tahun yang silam. Pendapat-pendapatnya membantu saya mengiterasi pandangan saya sendiri tentang hidup. Tentu saja, dulu ketika SD, pandangan saya tentang Tuhan kadang menyiratkan sebuah kekuatan yang maha menghukum. Apalagi konsep surga dan neraka sering digambarkan secara letterlijk dalam komik-komik yang dijual di pelataran Masjid Agung dan sekitar alun-alun.
Tentu saja konsep yang dipahami secara blatant ini telah lama saya tinggalkan. Hidup yang bersiklus justru menandaskan figur Pencipta yang justru Maha Penyayang. Salah satu rahmat terbesarnya adalah kita dikaruniai otak yang mendefinisikan kebahagiaan kita sendiri terlepas apa pun yang terjadi di sekitar kita.
Nobel laureate, Ilya Prigogine, dalam satu seminarnya (dalam konteks is future determined, do we have free will?) pernah mengatakan bahwa kita bisa menciptakan masa depan kita sendiri. Saya malah lebih jauh meyakini, bahwa kita mempunyai kekuatan untuk menciptakan sebuah realitas seperti yang kita inginkan.
Akhir pagi itu, misalnya, saya mendefinisikan ada satu sudut surga di teras yang sederhana. [ ]