
Jelas tak bisa tambah impor, pilihannya hanya satu; membeli stok bahan bakar dasar (base fuel) dari Pertamina yang masih tersedia. Beli stok dari toko sebelah, aha……!
JERNIH – Kehabisan stok BBM non subsidi di SPBU swasta sebetulnya bukan pertama kali terjadi pada 2025. Jika menengok ke belakang pernah pula mengalami hal serupa.
Saat pertama kali beroperasi di Indonesia, Shell dan Vivo sempat beberapa kali kehabisan stok di beberapa SPBU. Penyebabnya waktu itu lebih ke masalah logistik dan distribusi (keterlambatan pasokan kapal atau tanker) dan belum meratanya infrastruktur depot BBM mereka. Kejadian ini biasanya berlangsung hanya beberapa hari dan tidak masif.
Lalu pada saat terjadi pandemi Covid-19 di tahun 2020-2021, lantaran konsumsi BBM turun drastis, SPBU swasta pun mengurangi impor. Namun saat mobilitas mulai pulih 2021, ada beberapa laporan stok habis sementara di SPBU swasta karena mereka belum siap menghadapi lonjakan permintaan.
Pada awal 2023, beberapa SPBU swasta seperti BP dan Shell di Jabodetabek mengalami kekosongan sementara jenis bensin tertentu (misalnya Shell V-Power atau BP 95). Penyebabnya bukan regulasi, melainkan penyesuaian harga internasional dan perbedaan harga jual dengan Pertamina. Saat harga minyak naik, SPBU swasta memilih menahan suplai atau menunggu penyesuaian harga agar tidak merugi.
Habisnya BBM di tahun 2025 akibat tingginya permintaan alias laku keras terjadi lebih masif dan sistematis, karena menyangkut regulasi kuota impor yang terbatas hanya 110%. Jadi bukan sekadar masalah distribusi, tapi ada kebijakan struktural yang membuat SPBU swasta kesulitan menjaga ketersediaan (stok).
Meski ada kenaikan kuota menjadi 110%, kenyataannya beberapa SPBU swasta menghabiskan kuota ini lebih cepat dari yang diantisipasi. Artinya, meskipun kuota meningkat, stok dan distribusi tidak selalu bisa mengejar permintaan di lapangan. Karena pembatasan kuota itu lah mereka tak bisa lagi melakukan impor sampai akhir tahun 2025. Artinya stok BBM akan kosong hingga Desember 2025.
Oleh karena itu satu-satunya jalan keluar adalah membeli dari Pertamina, alias membeli stok milik Pertamina yang masih cukup banyak. Kementerian ESDM mengaku stok Pertamina masih banyak.
BELI BAHAN DI WARUNG SEBELAH
Ibarat jualan soto, di mana ada beberapa penjual soto saling berkompetisi di pasar premium. Jika tadinya ketika Soto A menguasai pasar dan kemudian ditengarai ternyata proses pembuatan sotonya mengalami banyak manipulasi sehingga membuat banyak pelanggannya berpindah ke Soto B, Soto C dan seterusnya.
Membeli soto di warung lain –kendati sedikit lebih mahal- namun terjamin bahan bakunya, tidak dicampur dengan asal-asalan apalagi dimanipulasi, membuat konsumen percaya. Dan sebagai “raja” mereka merasa terlayani dengan baik di Soto B, C dan seterusnya.
Masalahnya peraturan bilang, pembelian bahan baku soto dibatasi. Jika rezeki nompol terjadi cepat di Soto B, C dan seterusnya, dan habis pula bahan bakunya, maka pemiliki warung tak bisa membeli lagi bahan baku.
Di sisi lain, di Soto A penjualan mengalami penuruan akibat kepindahan konsumen ke Soto lain. Akibatnya terjadi over stock bahan baku. Sedang konsumen yang sudah berpindah tadi kapok dan tak mau lagi membeli di Soto A.
Akhirnya, otoritas memberi jalan tengah: Soto A diperbolehkan menjual stok bahan bakunya ke Soto B dan C. Jalan ini mungkin bukan ideal, tapi menjadi satu-satunya pilihan agar semua warung tetap hidup.
MENGURANGI STOK PERTAMINA
Tambahan volume impor yang diberikan tahun ini untuk Pertamina sebanyak 613.000 kiloliter (KL). Bandingkan dengan SPBU swasta yang dapat tambahan hanya 7.000–44.000 KL. Itupun sudah habis.
Jadi membeli base fuel dari Pertamina ibarat rezeki nomplok bagi BUMN satu ini. Bagaimana tidak jika mendadak ada tambahan penjualan dari base fuel yang tadinya mungkin tidak seluruhnya terserap. Semakin tinggi permintaan base fuel dari SPBU swasta artinya ikut mempercepat stok milik Pertamina. Pertamina tak perlu repot cepat-cepat menjual BBM ke publik karena sepersekian volumenya “dibantu” oleh swasta.
Namun, solusi ini tidak tanpa kendala. Harga jual base fuel dari Pertamina menjadi pertanyaan krusial bagi SPBU swasta. Jika harga base fuel Pertamina lebih mahal dibandingkan harga dari importir biasa, SPBU swasta harus menghitung ulang margin keuntungan mereka. Dalam skenario terburuk, mereka mungkin terpaksa menaikkan harga jual BBM untuk menutup biaya, yang berpotensi memengaruhi daya saing mereka di pasar.
Demi menjaga margin agar tak hilang, tentu pihak SPBU swasta akan berhitung cermat jika yang terjadi adalah harga jual base fuel di atas harga dari importir. Jika itu yang terjadi bukan tidak mungkin mereka akan menjual lebih mahal dari harga sebelumnya. Jadi tunggu saja janji pemerintah untuk tujuh hari ke depan.
Di balik habisnya stok BBM non subsidi di SPBU swasta, ada pertanyaan lain. Benarkah kian banyak konsumen yang semakin hari semakin meninggalkan Pertamina seperti yang terjadi beberapa bulan saat terjadi ketidakpercayaan publik akibat kasus oplosan BBM? Jika terjadi besar-besaran, mestinya pemerintah mulai berpikir ulang untuk merevisi regulasi.(*)
BACA JUGA: Kendaraan Jenis Ini Bakal Dapat Subsidi BBM