
Mereka tahu persis bahwa kebutuhan minyak dalam dua dekade ke depan masih sangat tinggi. Jangan sampai kebutuhan minyak dalam negeri tidak bisa dipenuhi oleh NOC mereka sendiri. Kalau itu yang terjadi maka energy security mereka akan terganggu. Inilah kesadaran kolektif para pemimpin mereka dalam melihat ketatnya persaingan dalam memperebutkan minyak dunia. Kesadaran itu mereka tuangkan lewat aksi korporasi NOC yang mereka punya. Cerdas dan realistis.
Oleh : Archandra Tahar*
JERNIH–Banyak negara yang punya cadangan minyak dan gas (migas) ingin memproduksi sendiri cadangan tersebut untuk memperoleh keuntungan yang maksimal bagi rakyatnya. Untuk mewujudkannya, beberapa negara mulai mendirikan National Oil Companies (NOC) seperti Saudi Aramco di Arab Saudi, ADNOC di United Arab Emirate dan Petronas di Malaysia.
Pada awalnya NOC belum berpikir tentang konsep energy security (ketahanan energi), tapi lebih kepada untuk mendapatkan pendapatan dari hasil penjualan minyak tersebut. Namun secara perlahan tujuan ini berkembang tidak saja untuk mengambil manfaat ekonomi tapi dijadikan senjata (weaponized oil) untuk menekan negara-negara yang tidak sejalan secara geopolitik.
Kalau kita baca sejarah, weaponized oil ini pernah digunakan oleh Arab Saudi pada tahun 1973 sewaktu terjadi perang antara negara-negara Arab dengan Israel. Amerika Serikat (AS) yang membantu Israel dalam perang ini diembargo oleh Arab Saudi dengan tidak mengekspor minyaknya ke Amerika Serikat. Akibatnya terjadilah krisis energi di Amerika Serikat.
Kenapa sampai terjadi krisis energi di AS sementara negara ini merupakan salah satu produsen minyak terbesar dunia? Ternyata konsumsi minyak AS jauh di atas produksinya sehingga masih membutuhkan impor dari negara lain terutama Arab Saudi.
Setelah peristiwa ini, AS dan negara-negara maju yang tergabung dalam OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) mulai memikirkan strategi untuk memenuhi kebutuhannya minyaknya dengan tidak bergantung ke negara lain, terutama dari Timur Tengah. Inilah konsep awal dari energi security.
Sebenarnya, strategi energy security ini sudah dimulai oleh Nazi Jerman dan Jepang lewat pendekatan militer pada perang dunia kedua (PD 2). Saat itu, Nazi menyerang Polandia agar bisa menguasai cadangan batubara yang digunakan untuk memproduksi synthetic oil. Namun strategi ini tentu saja sudah tidak cocok lagi diterapkan setelah PD 2.
Negara-negara maju yang umumnya menjadi pengimpor minyak terutama dari Timur Tengah lebih mengintensifkan pendekatan politik untuk mengamankan volume minyak yang dibutuhkan. Salah satu cara yang masih berlangsung sampai sekarang adalah menguasai volume minyak tersebut dengan barter keamanan. Bagi yang ingin mengetahui pendekatan politik untuk mencapai energy security bisa baca buku “The Quest” yang ditulis Daniel Yergin.
Strategi lain dalam energy security ini adalah lewat pendekatan teknokratik, di mana negara pengimpor minyak lewat oil company-nya ikut serta dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak di negara lain. Volume minyak yang dihasilkan dikirim ke dalam negerinya untuk diolah.
Strategi ini ditempuh oleh Jepang dan Korea dalam pemenuhan minyak mereka. Inpex dari Jepang misalnya menguasai Participating Interest (PI) lapangan Masela di Indonesia dan juga lapangan Ichthys di Australia. Selain itu Inpex juga punya PI di beberapa lapangan di Gulf of America.
Yang menjadi pertanyaan sekarang bagaimana strategi NOC dari negara-negara yang kaya minyak? Apakah mereka punya strategi yang sama dengan perusahaan minyak dari negeri pengimpor? Apakah mereka cukup berpuas diri dengan status sebagai negara kaya minyak dan tidak memerlukan ekspansi bisnis minyak ke negara lain? Ataupun juga cukup berpuas diri lewat OPEC yang berharap bisa mengendalikan produksi dan harga sehingga mampu punya nilai tawar (bargaining power) tinggi dalam menghadapi negara-negara OECD?
Ternyata jawabannya di luar dugaan kita semua. Banyak NOC yang go international dan bersaing dengan International Oil Company (IOC) seperti Shell, Exxon dan BP. Pemikiran-pemikiran lama yang penuh dengan semangat nasionalisme mulai mereka tinggalkan. Produksi dari dalam negeri tetap menjadi andalan mereka tapi untuk menghadapi kebutuhan minyak dalam dua dekade ke depan maka tidak ada jalan lain selain berekspansi ke luar negeri.
Tentu masing-masing NOC punya motif yang berbeda dalam berekspansi keluar negeri. Saudi Aramco dan ADNOC (Abu Dhabi) punya tujuan agar bisa melakukan diversifikasi usaha ke gas alam dan LNG dimana selama ini produksi terbesar mereka adalah minyak.
Seperti yang kita tahu, dalam masa transisi energi sampai tahun 2050-2060, gas alam menjadi pilihan sebelum energi terbarukan bisa menggantikan sebagian kebutuhan energi fosil kita. Inilah strategi cerdas NOC yang kaya minyak tapi punya sedikit gas alam. Mereka tidak mau terlena dengan minyak yang mereka punya di dalam negeri tapi lupa akan kebutuhan dunia ke depan.
Berbeda dengan Aramco dan ADNOC, Qatar Energy yang kaya akan gas alam dan LNG dari dalam negeri, mulai go internasional dengan mengakuisisi blok-blok eksplorasi yang kaya minyak. Harapannya, portfolio gas di dalam negeri mampu diimbangi oleh produksi minyak dari luar negeri. Sampai tahun 2025, Qatar Energy sudah punya aset migas di 25 negara.
Bagaimana dengan NOC dari Asia dan China seperti Petronas Malaysia, CNOOC (China National Petroleum Corporation) dan CNPC (China National Offshore Oil Corporation) dalam berekspansi ke luar negeri? Salah satu motif mereka adalah mencari pengganti produksi minyak dalam negeri yang terus menurun.
Mereka tahu persis bahwa kebutuhan minyak dalam dua dekade ke depan masih sangat tinggi. Jangan sampai kebutuhan minyak dalam negeri tidak bisa dipenuhi oleh NOC mereka sendiri. Kalau itu yang terjadi maka energy security mereka akan terganggu. Inilah kesadaran kolektif para pemimpin mereka dalam melihat ketatnya persaingan dalam memperebutkan minyak dunia. Kesadaran itu mereka tuangkan lewat aksi korporasi NOC yang mereka punya. Cerdas dan realistis.
NOC-NOC ini berani melakukan ekspansi tidak saja dengan membeli lapangan-lapangan yang sudah berproduksi tapi juga lewat kegiatan eksplorasi yang penuh resiko. Bayangkan sukses rasio dari kegiatan eksplorasi oil gas didunia itu kurang dari 20%. Artinya sepuluh kali melakukan eksplorasi maka yang sukses kurang dari dua kali. Bagaimana dengan yang gagal delapan kali? Apakah masuk dalam kategori kerugian negara? Ini bisa kita jadikan bahan diskusi.
Pertanyaan selanjutnya, apakah NOC punya dana untuk melakukan ekspansi bisnis ke luar negeri. Dari data 12 NOC yang kami baca, mereka punya lebih USD 400 miliar dana bisa mereka gunakan baik dalam bentuk dana sendiri maupun lewat utang. Ketersediaan dana menjadi sangat penting mengingat tidak mudahnya untuk mendapatkan pinjaman dari Lembaga keuangan dunia. Bisnis energi fosil kalah bersaing dengan bisnis energi terbarukan.
Adakah NOC yang tidak mau berekspansi ke luar negaranya dan sangat percaya diri bahwa cadangan dalam negeri mereka sudah lebih dari cukup? Untuk itu tunggu tulisan kami selanjutnya. Insyaa Allah.[]
*Mantan menteri energi dan sumber daya mineral






