SolilokuiVeritas

Resonansi dari Kota yang Bersemi: Dialog Fileski dengan Ananda Sukarlan

Pandangan itu, lebih dari sekadar optimisme, adalah creative attitude—suatu cara pandang yang melihat ketertinggalan bukan sebagai kutukan, melainkan sebagai ruang kosong yang menantang untuk diisi. “Madiun,” kata Ananda, “memang sudah di atas tahap nyeker, tapi belum benar-benar ‘memakai sepatu’. Masih banyak yang bisa dikerjakan. Siapa tahu Madiun bisa jadi pusat musik klasik di Jawa Timur, atau bahkan menggantikan Ambon sebagai Kota Musik UNESCO.”

Oleh     : Fileski Walidha Tanjung*

JERNIH–Madiun, kota yang selama ini lebih akrab dengan riwayat sejarah dan aroma pecel spesial dari dapur tradisi, tengah bersiap menyambut seorang musikus kelas dunia. Ananda Sukarlan—pianis dan komponis yang oleh Sydney Morning Herald disebut sebagai “one of the world’s leading pianists at the forefront of championing new piano music”—akan menjejakkan langkahnya di kota ini pada 24–26 November mendatang.

Di sela-sela kesibukannya menjuri Kompetisi Piano Nusantara Plus (KPN+), kompetisi musik klasik terbesar di Indonesia yang ia gagas, Ananda datang bukan sekadar membawa nada, tetapi membawa visi.

Ia datang sebagai penyemai: menabur benih bagi kemungkinan baru. Selama tiga hari, ia akan memberikan masterclass bagi musikus muda serta menggelar seminar terbuka untuk umum di Sekolah Musik Indonesia (SMI) Madiun. Dalam perjalanan yang akan membentang dari Surabaya menuju Yogyakarta, Madiun menjadi perhentian yang simbolik—sebuah jeda yang justru menjadi aksentuasi.

Dalam percakapan saya dengan Ananda, muncul semacam kesadaran bersama bahwa musik, seperti peradaban, tak selalu lahir dari pusat ibu kota. Ia bisa tumbuh di daerah-daerah, dari tempat-tempat yang berani memelihara keheningan untuk mendengar gema yang paling jujur dari manusia.

Ketika saya bertanya, “Mengapa Madiun?”, Ananda menjawab dengan kisah sederhana namun sarat makna. Ia bercerita tentang dua salesman sepatu yang datang ke negeri dimana rakyatnya belum mengenal alas kaki. Yang satu berkata, “Tak ada peluang di sini.” Yang lain berkata, “Inilah peluang kita.” “Faktanya sama,” ujarnya, “tetapi cara pandangnya berbeda.”

Pandangan itu, lebih dari sekadar optimisme, adalah creative attitude—suatu cara pandang yang melihat ketertinggalan bukan sebagai kutukan, melainkan sebagai ruang kosong yang menantang untuk diisi. “Madiun,” kata Ananda, “memang sudah di atas tahap nyeker, tapi belum benar-benar ‘memakai sepatu’. Masih banyak yang bisa dikerjakan. Siapa tahu Madiun bisa jadi pusat musik klasik di Jawa Timur, atau bahkan menggantikan Ambon sebagai Kota Musik UNESCO.”

Dalam ungkapan itu tersirat satu hal mendasar: perubahan besar selalu dimulai dari mereka yang berani membayangkan sesuatu yang belum ada. Seperti kata Nietzsche, “He who has a why to live can bear almost any how.” Selama ada alasan untuk berkarya, cara akan menemukan dirinya sendiri.

Namun visi besar selalu menuntut akar yang kuat. Ananda mengingatkan pentingnya pendidikan musik dasar—fondasi yang sering diremehkan. Ia berkisah tentang dirinya sendiri, yang tiba di Royal Conservatoire di Den Haag dengan teknik permainan yang kacau. “Selama enam bulan pertama saya hanya dibetulkan teknik—dari posisi duduk, tangan, hingga cara berpikir musikal,” ujarnya. “Kalau dari awal sudah salah, apalagi diulang terus, akan sulit diperbaiki nantinya.”

Kisah itu memberi cermin: kualitas masa depan seni ditentukan oleh keseriusan kita membina dasar. Dalam musik, seperti juga dalam kehidupan, pembelajaran yang keliru di awal bisa mengaburkan arah. “Guru pemula,” kata Ananda, “adalah penjaga gerbang masa depan.”

Seperti yang diungkapkan Plato dalam “The Republic”, “Education is the kindling of a flame, not the filling of a vessel.” Pendidikan musik bukan sekadar menjejalkan notasi dan teknik, melainkan menyalakan api kepekaan artistik dan etika estetik di dalam diri murid.

Selain mengajar secara langsung, Ananda juga akan menggelar seminar yang diberi judul “Ask Ananda Anything”. Ia menolak format ceramah satu arah dan lebih memilih dialog terbuka. “Saya ingin tahu juga situasi musik, gaya hidup, dan pendidikan di Madiun,” katanya. “Saya ingin belajar dari masyarakat di sini.”

Ada kerendahan hati dalam pernyataan itu—kerendahan hati yang hanya dimiliki oleh orang yang benar-benar besar. Seorang pemikir Prancis, Paul Valéry, pernah menulis: “A work of art is never finished, only abandoned.” Barangkali, semangat itu pula yang menjiwai perjalanan Ananda: karya, pendidikan, bahkan kebudayaan tidak pernah selesai; semuanya adalah proses menuju kesempurnaan yang tak terjangkau.

Dalam perbincangan kami tentang Kompetisi Piano Nusantara Plus, tampak bahwa semangat desentralisasi seni benar-benar menjadi pijakannya. Jumlah peserta telah menembus angka lima ratus, bahkan dari daerah yang selama ini nyaris tak terdengar dalam peta musik klasik: Lampung, Sumatra Barat, Kalimantan Barat. “Kami ingin memperluas jangkauan,” katanya. “Tahun depan akan ada beasiswa ke Sydney bagi beberapa pemenang, bekerja sama dengan Australian Institute of Music.”

Ada getar harapan ketika ia menyebut rencananya untuk memperluas penyelenggaraan KPN+ ke Kalimantan, Sulawesi, bahkan Madiun. Dalam konteks ini, gagasannya tidak hanya musikal, melainkan juga politis—dalam arti yang paling luhur. Ia tengah membangun republik musikal: republik di mana suara setiap anak bangsa, dari mana pun datangnya, berhak didengar.

Mendengar itu semua, saya—Fileski—merasakan bahwa kunjungan Ananda Sukarlan ke Madiun bukan sekadar perjalanan seorang maestro, melainkan penanda kebangkitan kesadaran baru tentang pentingnya kesetaraan dalam ruang budaya. Madiun, yang selama ini berada di pinggiran arus besar, kini berkesempatan menjadi simpul pertemuan antara tradisi dan modernitas, antara lokalitas dan kosmopolitanisme.

Namun di sinilah pertanyaan reflektif itu harus diajukan: apakah kita, sebagai masyarakat, siap menampung resonansi dari perubahan ini? Apakah kita sanggup menjadikan musik—dan seni secara umum—sebagai cara berpikir baru tentang kemanusiaan kita sendiri?

Sebab pada akhirnya, musik bukan sekadar suara yang indah. Ia adalah cara manusia menafsirkan eksistensinya. Seperti dikatakan oleh Ludwig van Beethoven, “Music is the mediator between the spiritual and the sensual life.” Dalam getaran nada, manusia menemukan kembali dirinya—antara hasrat dan kesadaran, antara kebisingan dunia dan keheningan jiwa.

Sebagai penulis, pendidik, dan penyaksi zaman, saya memandang dialog dengan Ananda Sukarlan bukan semata pertemuan dua insan seni, melainkan pertemuan dua kesadaran: tentang pentingnya berani bermimpi, dan lebih dari itu, berani memulai. Kritik saya, jika boleh diajukan, adalah pada kita sendiri—pada bangsa yang sering mengagumi dari jauh namun enggan membangun dari dekat.

Madiun tidak harus menunggu menjadi Jakarta atau Vienna. Ia hanya perlu menjadi dirinya yang terbaik, dengan nada-nada yang tumbuh dari tanahnya sendiri. Barangkali, dari kota kecil ini, akan lahir sebuah orkestrasi baru: tentang keberanian, kerja keras, dan keindahan yang berpijak pada akar.

Dan mungkin, sebagaimana musik selalu membuka ruang bagi interpretasi, perjumpaan ini pun mengundang kita untuk bertanya: masihkah kita mendengar, di tengah hiruk pikuk dunia, bunyi paling jernih dari diri kita sendiri? [ ]

*Fileski Walidha Tanjung, penulis kelahiran Madiun 1988. Aktif menulis esai, puisi, dan cerpen. Buku puisi terbarunya berjudul “Diksi Emas”.

Back to top button