Di negara-negara lain, ada yang sudah menerapkan kebijakan pajak tanah terlantar atau idle land tax dengan hasil yang cukup efektif. Filipina, misalnya, berhasil mendorong pemilik tanah untuk mengelola tanahnya atau menjualnya agar tidak terbengkalai dengan mengenakan pajak yang cukup tinggi. Di Vancouver, Kanada, kebijakan ini berhasil menurunkan jumlah properti terlantar. Bagaimana dengan Indonesia? Penerapan pajak tanah terlantar mungkin bisa menjadi solusi untuk mengatasi masalah spekulan yang hanya membeli tanah untuk investasi tanpa niat untuk memanfaatkannya.
Oleh : Ateng Sutisna*
JERNIH– Bicara soal tanah di Indonesia, kita tak hanya bicara tentang kepemilikan, tetapi juga soal produktivitas. Tanah yang menganggur, yang dalam istilah teknis disebut “tanah terlantar,” sebenarnya adalah sumber daya yang luar biasa jika diberdayakan. Menurut Menteri ATR/BPN Nusron Wahid, Indonesia memiliki sekitar 1,3 juta hektare tanah negara yang dibiarkan terlantar dan tak produktif.
Tanah-tanah ini, yang seharusnya menjadi ladang pangan atau sumber energi, justru menjadi simbol kemubaziran di tengah krisis pangan dan ekonomi.
Kita tahu, jumlah ini hanyalah permukaan dari gunung es. Dengan pencatatan yang lemah, tanah tak bertuan atau tak jelas status kepemilikannya tersebar di berbagai wilayah. Sayangnya, selama ini tanah-tanah ini cenderung dipandang sebelah mata, padahal jika diolah, mereka bisa menjadi tumpuan ketahanan pangan, energi, bahkan kesejahteraan rakyat.
Dalam pandangan Islam, tanah harus dimanfaatkan optimal. Islam mengajarkan bahwa tanah dan segala sumber daya di atasnya adalah amanah yang harus dimanfaatkan. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa mempunyai tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya, atau memberikan kepada saudaranya.” Ini adalah seruan untuk tidak membiarkan tanah sia-sia, tetapi justru dimanfaatkan agar memberikan manfaat bagi orang lain. Islam tidak menghendaki tanah menjadi beban atau hanya menjadi tanda kepemilikan kosong tanpa aktivitas produktif di atasnya.
Selain itu, Rasulullah juga bersabda, “Barang siapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya” (HR Bukhari). Ini menunjukkan bahwa orang yang berinisiatif menghidupkan dan mengolah tanah akan mendapatkan hak kepemilikan atasnya, sebagai bentuk penghargaan atas kontribusi mereka dalam menciptakan kehidupan di atas tanah tersebut. Pandangan ini sangat relevan dengan kondisi tanah terlantar di Indonesia. Tanah yang dibiarkan mati seharusnya diolah, dimanfaatkan, atau diberikan kepada mereka yang siap mengelolanya untuk kebaikan bersama.
Ateng Sutisna
Food Estate: tak harus ke luar Jawa
Proyek food estate atau lumbung pangan sedang digaungkan pemerintah. Konsepnya menarik, tetapi pelaksanaannya masih menyisakan tanda tanya besar. Mengapa food estate justru diarahkan ke luar Pulau Jawa, seperti Kalimantan dan Sumatra? Padahal, mayoritas petani berada di Jawa, memiliki pengalaman dan keterampilan bertani yang diwariskan turun-temurun.
Proyek food estate ini menuntut pembukaan lahan baru, yang seringkali mengorbankan hutan. Di sisi lain, jika saja tanah terlantar di Pulau Jawa diberdayakan, kita bisa menghindari dampak buruk pada lingkungan dan tetap bisa mendukung komunitas petani yang ada. Tidak ada salahnya mempertimbangkan kembali lokasi food estate agar lebih efektif dan ramah lingkungan.
Selama ini, isu tanah terlantar diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010, yang bertujuan agar tanah-tanah tersebut bisa digunakan untuk kepentingan masyarakat. Namun, di lapangan penerapannya kerap menemui jalan buntu. Ada proses birokrasi yang berbelit dan lemahnya pencatatan kepemilikan. Alhasil, kebijakan ini kurang memberikan dampak nyata.
Di negara-negara lain, ada yang sudah menerapkan kebijakan pajak tanah terlantar atau idle land tax dengan hasil yang cukup efektif. Filipina, misalnya, berhasil mendorong pemilik tanah untuk mengelola tanahnya atau menjualnya agar tidak terbengkalai dengan mengenakan pajak yang cukup tinggi. Di Vancouver, Kanada, kebijakan ini berhasil menurunkan jumlah properti terlantar. Bagaimana dengan Indonesia? Penerapan pajak tanah terlantar mungkin bisa menjadi solusi untuk mengatasi masalah spekulan yang hanya membeli tanah untuk investasi tanpa niat untuk memanfaatkannya.
Solusi dan jalan keluar
Lalu, bagaimana cara terbaik untuk menuntaskan masalah tanah terlantar ini? Berikut beberapa solusi yang mungkin bisa diterapkan di Indonesia:
-Penerapan Idle Land Tax
Pajak tanah terlantar bisa menjadi solusi untuk menekan spekulasi dan memaksa pemilik tanah yang enggan mengolahnya untuk mulai bergerak. Dengan adanya pajak ini, mereka akan lebih terdorong untuk memanfaatkan tanah tersebut, atau setidaknya menjualnya kepada pihak yang memang berniat mengolahnya.
-Penguatan Sistem Pencatatan Tanah
Sistem pencatatan tanah perlu diperbaiki agar setiap jengkal tanah bisa terdata dengan jelas. Ini juga bisa mengurangi konflik agraria yang sering terjadi akibat tumpang tindih kepemilikan. Dengan pencatatan yang rapi, kita bisa mengetahui mana saja tanah terlantar dan segera melakukan tindakan.
-Memanfaatkan Tanah Terlantar di Jawa untuk Food Estate
Menggunakan tanah terlantar di Jawa untuk proyek food estate adalah langkah yang ramah lingkungan sekaligus mengoptimalkan sumber daya lokal. Selain itu, hal ini juga akan mendukung petani Jawa yang sudah berpengalaman untuk tetap berproduksi di tempat mereka.
-Pendekatan Holistik dalam Kebijakan Pertanahan
Kebijakan pertanahan yang efektif tidak bisa dilakukan sendiri oleh pemerintah. Harus ada kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, akademisi, dan lembaga non-pemerintah. Dengan melibatkan berbagai pihak, kebijakan yang dihasilkan bisa lebih relevan dan berdampak langsung pada masyarakat.
Mengapa urusan ini penting? Tanah terlantar bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal keadilan sosial. Saat banyak orang tidak memiliki akses pada lahan untuk bertani atau tempat tinggal, ada jutaan hektare tanah yang dibiarkan begitu saja. Tanah ini, jika diberdayakan, bisa menjadi solusi bagi banyak masalah sosial dan ekonomi di Indonesia.
Mengatasi tanah terlantar bukanlah tugas yang mudah, tetapi ini adalah pekerjaan yang sangat mungkin untuk diselesaikan. Dengan kemauan politik, dukungan kebijakan yang progresif, dan kolaborasi lintas sektor, tanah terlantar di Indonesia bisa menjadi sumber kehidupan bagi banyak orang. Mari kita mulai langkah kecil ini untuk masa depan yang lebih hijau, adil, dan sejahtera. [ ]
*Ir. H. Ateng Sutisna, Wakil Ketua Bidang Agribisnis dan Pangan Ikatan Saudagar Muslim Seluruh Indonesia dan Anggota DPR RI, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS)