5 PUISI MUHAMMAD SHOLEH ARSHATTA

RABUN JAUH
dia seperti rabu
yang abu-abu ketika senin
harus pakai kacamata
supaya tidak suram redupnya
memang remang-remang sepasang itu
perlu ditimang sayang
sebelum kunang-kunang menyerang
lasik adalah jalan
meningkatkan kualitas hidup
pandangan tiada redup lagi
Sorek, 21 Januari 2025
*
CATATAN REDAKTURIAL
Rabun Jauh, Sayang Dekat: Ketika Puisi Pakai Kacamata dan Tetap Gaya
Oleh Irzi Risfandi
Kalau ada puisi yang bisa masuk timeline Instagram sambil nyelip di brosur klinik mata dengan tetap kelihatan puitis, Rabun Jauh karya Muhammad Sholeh Arshatta adalah jawabannya. Dari judulnya saja sudah ngikik dalam diam—iya, ini puisi tentang mata minus, tapi jangan buru-buru ngejudge bakal datar. Sebab Sholeh, si penyair berdarah Bugis yang juga tenaga kesehatan di perusahaan Nestle, tahu betul cara menyulap masalah optik jadi lirik estetis. Lihat saja bagaimana ia membuka puisinya dengan jenaka: “dia seperti rabu / yang abu-abu ketika senin.” Lho, Rabu kok kayak Senin? Nah, itu dia: metafora yang bikin dahi berkerut tapi hati ngakak pelan. Bukan cuma bermain kata, tapi juga bermain mood—sisi “abu-abu” yang jadi metafor rabun secara emosional dan optikal sekaligus.
Sholeh bukan penyair karbitan. Ia punya landasan akademik di biologi, lalu nyemplung di dunia kesehatan, dan menulis puisi seperti orang yang baru nonton konser senja tapi bawa stetoskop. Kumpulan puisinya Kepingan Renjana Matamu jelas bukan sekadar judul manis-manis tapi punya kedalaman. Dalam Rabun Jauh, ia sengaja menabrakkan hal medis—kacamata, lasik, dan rabun jauh—ke dalam puisi yang lembut dan imajinatif. Tapi uniknya, ia tetap menjaga ritme puitik yang santai dan agak ganjen, terutama di baris “sebelum kunang-kunang menyerang.” Lah, siapa sangka serangga bisa jadi simbol malapetaka visual yang lucu dan menawan?
Puisi ini juga menarik karena diam-diam menyimpan kritik sosial tentang kualitas hidup. “Lasik adalah jalan / meningkatkan kualitas hidup”—tuh, bukan cuma kalimat brosur optik, tapi bisa dibaca sebagai metafora luas: bahwa kita semua butuh pembenahan perspektif agar hidup tidak redup. Ini bukan puisi yang malu-malu menyebut realitas medis, justru dengan percaya diri menyisipkan kenyataan sehari-hari dalam napas sastra. Sholeh tidak bersembunyi di balik metafora kabur. Ia terang-terangan, tapi tetap bersahaja. Dan ini membuat puisinya terasa segar: semacam puisi yang bisa dibaca sambil antre di optik, tapi juga bisa direnungkan dalam ruang baca sunyi.
Sebagai pemenang Anugerah COMPETER Indonesia 2023 dan Duta Baca Online Asqa Book Award 2024, Sholeh memang punya reputasi di dunia literasi. Ia bukan hanya penulis, tapi penggerak. Terpilih dalam Residensi Seniman Riau 2024 dan Tim Literasi Konservasi 2025 di bidang puisi, ia adalah representasi penyair muda yang tak ragu membawa puisi ke ranah yang lebih membumi: dari puskesmas ke panggung sastra. Rabun Jauh jadi bukti bahwa tema sederhana bisa jadi kendaraan yang mengantar puisi ke hati pembaca—dengan gaya yang ringan, nada yang usil, tapi makna yang tetap nyentuh.
Via puisi ini, Sholeh seperti berkata: “Kalau pandangan matamu kabur, jangan biarkan hatimu ikut-ikutan.” Sebab seperti dalam larik-lariknya yang lucu dan reflektif, puisi tetap bisa jadi lensa—untuk melihat dunia, diri sendiri, dan juga cinta, lebih jernih. Bahkan kalau perlu, ya sekalian aja pakai lasik. Supaya bukan hanya hidup yang terang, tapi juga puisi-puisi seperti ini bisa terlihat sejelas-jelasnya: cerdas, centil, dan tetap bersinar.
2025
Puisi lainnya dari Muhammad Sholeh Arshatta.
SEPASANG CERITA DINI HARI
Oleh: Muhammad Sholeh Arshatta
jam menunjukkan dini hari
saat sepasang manusia terjaga
saling bertukar kata kata tak hingga
menyampaikan similaritas keluh kesah
“adek merasa Allah sudah tidak peduli lagi dengan kita, bang. karena kita sering lalai, benar anak adalah ujian, tapi apakah dengan hadirnya kita tetap istiqomah ibadah, atau justru abai.
“Iya juga, tapi justru abang merasa Allah sayang sama kita, kita dibiarkan tertidur dan tidak sahur karena Dia tahu, kita lelah dan kita sanggup menjalani hari meski tanpa makan sahur,” pungkas sang lelaki.
“Tidak, bang, karena sebenarnya, Allah tidak butuh orang yang beribadah, tapi Allah butuh orang yang mengingatnya.” Jawaban singkat tapi membuat dada menghangat sesak.
mengapa kita masih selalu terlambat subuh?
mengapa kita tidak lagi membaca ayat-ayatnya selepas sholat?
mengapa kita lebih memikirkan dunia, dunia dan dunia?
sedangkan ia hanya butuh kita kembali padanya, bukan kita yang sekadar menjalankan kewajiban tetapi sebenarnya tidak mengingatnya.
Sudah kita merasa cukup suplai akhirat?
Pekanbaru, 24 Maret 2025
*
DEALIANE
aku tahu itu dealine
bahkan saat saat kau menjadi begitu kuat
jalani sosok single mother dengan begitu banyak kerelaan
kau harus berbagi pada wanita untuk lelakimu yang tersiakan
membiarkan sayatan melintas begitu saja di dada
tapi di lain sisi kau berjanji membingkai bulan sabit cekung di wajahmu, untuk sebuah status “bebas dan terus bergerak”
dealine, mungkin tak semudah
bagaimana seseorang berada di lingkar deadline
dengan mata cerah tanpa basah
dengan gurat cekung tanpa canggung
dan bateraimu benar benar sekuat baja
menetralisir cekal radikal sejak pertama kali
kata kata berai kauadopsi enteng tanpa wiski
dan sekoci jari telunjuk lelaki kemarin
telah menjadi keunggulan
membawamu lari ke bulan
sambil mengenakan mahkota kebebasan
“kau bebas dealine, tiada lagi orang asing ganggu harimu yang asin”
Kuantan Singingi, 19 Februari 2024
*
CERICIT SENGIT KAMAR SEMPIT
aku dapat mengendus napasmu yang barus
walau aku harus dengus supaya kepul itu kuembus
sebab di kamar hangat dicampur keringat kita mengudara
kipas tak lagi lepas segar
aku pun usaha lelap mesti pengap lebih dominan
gemerlap dan gegap berusaha mengendap-endap
dan cericit di dinding bawah tapak kaki terasa gerogot
dengkurmu kawan tak lagi kukhawatirkan
tapi aku takut malam mengulur waktu
meniduriku bersama was-was jelang siang
Kuantan Singingi, 19 Februari 2025
*
SILUET
pada sebatang bayang
ia sengaja mencetak gelap
seperti dalam makam
orang-orang penganut kematian
tetapi ia tidak ditemui malaikat
sebab ia selamanya mati
sewarna pekat ilmu sesat
ia genggam erat jati diri
bahwa satu warna
tetap memikat peminat
ia tak dibuat dari cat
tapi warnanya adalah lukisan makna
tiada cacat serupa bentuk
yang dicatat kilat cahaya
Lintas Timur, 21 Januari 2025
*
Muhammad Sholeh Arshatta adalah nama pena dari Muhammad Sholeh, S.Si. Pria berdarah Bugis yang lahir di Sialang Panjang-Tembilahan Hulu (Riau), 04 Desember 1995. Menamatkan S1 di Jurusan Biologi FMIPA Universitas Riau pada tahun 2018. Saat ini penulis berprofesi sebagai Tenaga Kesehatan di perusahaan Nestle Indonesia, berdomisili di Pekanbaru-Riau. Penulis buku puisi “Kepingan Renjana Matamu” ini merupakan penerima Anugerah COMPETER Indonesia 2023 yang tunak di COMPETER sejak 2016 dan diamanahkan sebagai Duta Baca Online Asqa Book Award XIX 2024. Kecintaannya terhadap tulisan membawanya menjadi seorang novelis dari buku berjudul “Arok Tan Lika Liku Menjemput Surga” terbit Mei 2024. Sebagai penggerak literasi, ia terpilih sebagai peserta Residensi Seniman Riau 2024 dan terpilih sebagai Tim Literasi Konservasi 2025 di bidang puisi yang juga digagas Komunitas Budaya Rumah Sunting milik Presiden Penyair Perempuan Indonesia. Puisi-puisinya tersebar di berbagai media baik cetak maupun online dan tergabung di dalam puluhan buku Antologi bersama. IG: @muhammadsholeharshatta