Pertama, toleransi itu hadir sebagai konsekuensi adanya keragaman (perbedaan). Jika perbedaan sudah tidak ada maka dengan sendirinya toleransi tidak lagi diperlukan. Maka memahami toleransi dengan “penyamaan” itu sebuah pemahaman paradoks. Kedua, pluralisme adalah paham yang seharusnya mengakui adanya pluralitas (keragaman). Dan karenanya memahami pluralisme dengan “penyamaan” juga sebuah pemahaman yang paradoks.
Oleh : Imam Shamsi Ali*
JERNIH– Karakter dasar umat ini adalah “wasathiyah” atau umat yang berkarakter pertengahan (middle path ummah). Kesimpulan ini diambil dari deskripsi Allah tentang umat ini, dalam kalam-Nya di Surah Al-Baqarah ayat 143: “Dan demikian Kami (Allah) jadikan kalian sebagai Umat pertengahan untuk menjadi saksi bagi manusia.”
Kata wasathiyah sendiri memiliki banyak arti dan definisi. Sebagian menerjemahkannya dengan “imbang”. Sebagian pula mengartikannya dengan “pertengahan”. Dengan demikian “ummatan wasathan” dapat dipahami di antaranya sebagai “umat yang menjaga keseimbangan” dan “umat yang konsisten di jalan tengah (tidak ekstrem)”.
Jika kita mencoba merenungi makna dari “pertengahan” atau “jalan tengah” maka akan timbul satu kata baru yang sesuai dengan karakter itu. Itulah kata “toleransi” yang di dalam bahasa Arab dikenal dengan kata “as-samhah”. Sehingga dengan sendirinya toleransi sejatinya menjadi karakter dasar dari ummatan wasathan itu.
Toleransi itu konsekuensi perbedaan
Ada kekeliruan dalam memahami makna toleransi, khususnya toleransi antarumat beragama. Seolah toleransi itu dimaknai sebagai penyamaan atau memandang semua hal, termasuk semua agama sama. Pandangan seperti ini biasa dipahami sebagai pahaman pluralisme. Yang sesungguhnya juga tidak sesuai bahkan paradoks.
Ada dua kesalahan mendasar dari pemaknaan toleransi dan pluralisme dengan “penyamaan” semua hal (termasuk agama). Pertama, toleransi itu hadir sebagai konsekuensi adanya keragaman (perbedaan). Jika perbedaan sudah tidak ada maka dengan sendirinya toleransi tidak lagi diperlukan. Maka memahami toleransi dengan “penyamaan” itu sebuah pemahaman paradoks.
Kedua, pluralisme adalah paham yang seharusnya mengakui adanya pluralitas (keragaman). Dan karenanya memahami pluralisme dengan “penyamaan” juga sebuah pemahaman yang paradoks.
Dengan demikian toleransi dan pluralisme tidak dipahami sebagai “penyamaan” semua agama-agama. Sebaliknya baik toleransi maupun paham pluralisme dipahami sebagai pengakuan adanya keragaman. Dan karena keragaman itulah kedua hal itu; sikap toleran dan paham pluralistik eksis dan diperlukan.
Bagaimana seharusnya?
Toleransi dipahami sebagai sebuah sikap bahkan perilaku yang tidak saja menyadari eksistensi perbedaan yang ada di dalam kehidupan manusia, termasuk perbedaan dalam beragama dan keyakinan. Tapi justeru memberi ruang kepada perbedaan itu untuk memiliki ruang (hak) yang sama.
Kata menyadari adanya perbedaan ini menjadi esensial karena secara prinsip Islam memang mengajarkan demikain. “Kalau sekiranya Allah berkehendak maka Dia jadikan kalian semua jadi satu umat (termasuk satu agama)” (ayat).
Dan karenanya keyakinan tentang keragaman ini dalam pandangan Islam bukan sekedar nilai sosial. Tapi sebuah nilai agama (iman) yang meyakini kehendak (Takdir) Allah SWT.
Selanjutnya kata “memberi ruang yang sama” juga menjadi bagian esensial dari ajaran agama. Bahwa adanya perbedaan mendasar dalam keyakinan dan praktek beragama masing-masing pemeluk agama tidak menjadikan Islam menutup mata kepada eksistensi dan hak dari pemeluk agama lain.
Karena itu Surah Al-Kafirun dalam Al-Quran menyimpulkan makna toleransi sesungguhnya. Kesimpulan itu minima ada pada tiga poin penting:
Satu, bahwa keyakinan dan penyembahan itu bersifat pilihan hati masing-masing orang (personal). Dan karenanya tidak benar dan tidak bisa dibenarkan untuk menyamakan keyakinan dan penyembahan. “Laa a’budu maa ta’buduun” sebuah ungkapan yang tegas.
Dua, sedemikian tegasnya Al-Quran dalam hal akidah dan penyembahan sehingga diulang-ulang dalam bentuk/tatanan kalimat yang berbeda. “Laa a’budu maa ta’buduun” menjadi “wa laa antum ‘aabiduuna maa a’budu”. Lalu diulang lagi “wa laa ana aabidun maa abadtum”. Dan akhirnya diulang bentuk kedua tadi sebagai penegasan dan peringatan.
Tiga, walau sedemikian tegasnya akidah dan konsep ubudiyah dalam Islam, namun pada saat yang sama mengakui eksistensi agama. Bahkan lebih dari itu memberikan ruang yang sama dalam keyakinan dan peribadatan. Kalimat “Wa laa antum ‘aabiduuna” itu sebuah ekspresi tegas tentang kebebasan beribadah dalam Islam. Sementara “lakum diinukum” itu sebuah konsep tegas dalam kebebasan memilih agama (religious freedom).
Dengan demikain dapat disimpulkan bahwa toleransi itu adalah menerima eksistensi agama-agama lain, bahkan memberikan ruang yang sama dengan ruang yang kita inginkan untuk kita sendiri. Tapi toleransi tidak akan pernah dipahami sebagai pembenaran (membenarkan) agama lain dan penyamaan (menyamakan) semua agama.
Pada tataran ini saja sebenarnya cukup menjadi bukti bahwa Islam itu adalah agama toleran. Agama yang diyakini sebagai kebenaran bagi pemeluknya. Tapi pada saat yang saya menerima eksistensi agama-agama lain, bahkan memberikan ruang (kebebasan) kepada pemeluk agama lain untuk eksis dan melaksanakan agamanya.
Sayang, seperti yang sering saya sampaikan bahwa kita sedang hidup dalam dunia ketidakjujuran. Manipulasi persepsi dan imaji, khususnya oleh mereka yang menguasai media, menjadikan agama Islam nampak berwajah buruk dalam konsep toleransi.
Persepsi yang terbangun adalah bahwa Islam itu agama intoleran. Agama kekerasan dan pemaksaan. Agama yang menakutkan dan antitesis dari kebebasan dan HAM. Mungkin peristiwa terbaru yang kemudian dibangun sebagai wajah Islam adalah ketika terjadi kekisruhan di Kabul di saat Afghanistan terjatuh ke tangan Taliban.
Maka benar seperti yang juga sering saya sampaikan bahwa peperangan terdahsyat saat ini bukan peperangan nuklir atau senjata kimia lagi. Tapi peperangan imej dan persepsi di antara manusia. Dan siapa yang memenangkan peperangan itu mereka akan memenangkan dunia.
Dalam beberapa tulisan mendatang ini akan saya tuliskan beberap argumentasi, baik berdasarkan dasar-dasar keagamaan (Al-Qur’an dan hadits) maupun fakta sejarah betapa Islam dan umat Islam itu toleran.
Sayang ketidakjujuran dunia dan media khususnya menjadikan banyak manusia yang termakan misinformasi tentang toleransi Islam. Tapi yang lebih aneh adalah ketika ada di antara umat ini sendiri yang seolah meyakini dan menuduh agama dan Umat ini tidak toleran. Wal-‘iyadzu billah! [Bersambung]
Manhattan City, 1 Nopember 2021
*Presiden Nusantara Foundation