Solilokui

Tentang Cerdas di Sebuah Postingan yang Jauh dari Cerdas

Koko, sang gorila, merebut hati jutaan manusia dalam dua hal. Pertama, Koko adalah duta besar untuk program internasional menyelamatkan spesies dunia yang terancam punah. Kedua, Koko adalah sosok simbolis tentang keluhuran empati dan pentingnya komunikasi antarspesies. Kepergian Koko untuk selamanya pada Juni 2018 disambut dengan kedukaan mendalam dan mendapat pemberitaan luas. Dimuat di majalah National Geographic, Koko mendapat penghormatan sebagai gambar sampul depan.

Oleh  :  Reza Indragiri Amriel*

JERNIH—Sebuah posting-an tak senonoh memasang foto mantan Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai dengan foto gorila. Kesalahan pertama si pemilik akun Facebook itu adalah merendahkan manusia dengan cara membandingkannya dengan makhluk bukan manusia. Pelaku sepatutnya dihukum setimpal atas perbuatannya itu. Dalam pesan WhatsApp yang saya kirim ke Pigai, saya utarakan betapa saya turut merasakan sakit hati akibat posting-an sampah itu.

Reza Indragiri Amriel

Kesalahan si pemilik akun Facebook bukan hanya itu. Kesalahan lainnya yang ia peragakan justru terabaikan dari perhatian publik. Yakni, saat memperagakan polah jahatnya, ia menampilkan gorila sebagai sosok yang ia anggap rendah.

Gorila, di dalam kepala si pelaku, diposisikan sebagai representasi makhluk yang identik dengan kebodohan dan ketidakelokan manusia. Itu jelas anggapan yang keliru sekeliru-kelirunya. Itulah kesalahan kedua si pelaku: menempatkan gorila dalam sebuah bingkai vis-a-vis dengan manusia. Dan ibarat sebuah laga, laga itu (seolah) tidak akan pernah dimenangi oleh gorila.

Dulu, mengacu Berggorilla & Regenwald Direkthilfe e.V., gorila bersama orang utan dan simpanse diposisikan pada taksonomi Pongidae. Ada juga pendapat yang memasukkan bonobo ke dalam taksonomi tersebut. Kontras, manusia berada pada taksonomi Hominidae. Pembedaan taksonomi itu didasarkan pada perbedaan perkembangan otak dan keunikan gerakan mereka.

Baru dewasa ini, para ahli merevisi perbedaan tersebut. Berdasar riset-riset mutakhir, simpanse, gorila, bonobo, dan orang utan tetap berada dalam keluarga yang sama, tapi dengan taksonomi yang berbeda. Mereka bukan lagi Pongidae, melainkan Hominidae alias great ape alias kera bertubuh besar. Dan manusia juga berada di situ!

Komunitas psikologi, terlebih dari mazhab perilaku, sejak berpuluh-puluh tahun silam teryakinkan bahwa primata adalah organisme cerdas. Kalangan ilmuwan bahkan tidak pernah, katakanlah, mengategorikan gorila dan primata-primata lainnya sebagai organisme berkecerdasan rendah karena kaum cerdik cendekia memang tidak menakar kecerdasan gorila dengan menjadikan kecerdasan manusia sebagai parameternya.

Kalau memang perlu dibuat sebuah peringkat, kecerdasan gorila hanya bisa dibandingkan dengan gorila-gorila lainnya. Dengan memahami fitur psikologis gorila tetap dalam konteks kegorilaan, justru akan diperoleh gambaran tentang kedahsyatan great ape yang satu ini.

Contohnya adalah gorila paling legendaris bernama Koko. Koko menguasai lebih dari seribu bahasa isyarat dengan menggunakan tangannya. Ia disebut-sebut memiliki skor IQ 75 hingga 95 dan mampu memahami dua ribuan kosakata Inggris. Rata-rata IQ manusia adalah 100. Sebagian besar manusia memiliki IQ 85 hingga 115. Tidak hanya memiliki inteligensi berskor tinggi, Koko juga punya kehalusan hati. Ia merawat seekor kucing yang diberinya nama All Ball. Saat All Ball tertabrak mobil, Koko bermuram durja sekian lama.

Koko, sang gorila, merebut hati jutaan manusia dalam dua hal. Pertama, Koko adalah duta besar untuk program internasional menyelamatkan spesies dunia yang terancam punah. Kedua, Koko adalah sosok simbolis tentang keluhuran empati dan pentingnya komunikasi antarspesies. Kepergian Koko untuk selamanya pada Juni 2018 disambut dengan kedukaan mendalam dan mendapat pemberitaan luas. Dimuat di majalah National Geographic, Koko mendapat penghormatan sebagai gambar sampul depan. Di bawahnya tertulis judul “Conversations with A Gorilla” (Perbincangan dengan Gorila).

Andai ada orang yang tidak tahu apa arti gorila, apalagi jika ia meyakini bahwa hanya manusia yang mampu bercakap-cakap, bisa dipastikan orang tersebut menyangka bahwa itu adalah perbincangan antara satu manusia dan manusia lainnya.

Dulu para peneliti percaya bahwa perbedaan tingkat kecerdasan ditentukan oleh ukuran otak. Jika teori evolusi dijadikan rujukan, nenek moyang manusia, Lucy the Australopithecus, dipastikan lebih cerdas daripada gorila karena ukuran otak Lucy lebih besar daripada otak gorila. Tapi, sekumpulan peneliti yang dipimpin oleh Profesor Roger Seymour dari the University of Adelaide menghasilkan teori berbeda. Menurut mereka, kecerdasan lebih ditentukan oleh besaran aliran darah ke otak.

Lewat penghitungan yang jelimet, para peneliti itu akhirnya menyimpulkan bahwa aliran darah otak gorila dua kali lipat lebih tinggi daripada Lucy. Aliran darah otak yang tinggi menandakan metabolisme otak yang juga tinggi. Aliran darah otak sedemikian tinggi dibutuhkan untuk menopang kerja kognitif yang berat.

Dengan kata lain, tingginya aliran darah otak gorila mengindikasikan bahwa ia memiliki inteligensi kognitif yang jauh lebih tinggi daripada yang diketahui sebelumnya.

Sejumlah referensi menyebut simpanse lebih cerdas daripada gorila. Tapi, anggapan tersebut disanggah ilmuwan lain. Pasalnya, gorila lebih tenang, sabar, dan pendiam daripada simpanse.

Bonobo, satu jenis kera bertubuh besar lainnya, juga punya kebiasaan luar biasa. Yakni, saban kali di komunitasnya mulai muncul ketegangan yang dapat berujung pada konflik berdarah, alih-alih memasang kuda-kuda, bonobo langsung bercinta. Ya, bercinta. Pertikaian pun seketika mereda.

Alhasil, tidak mudah membandingkan, apalagi menyimpulkan, bahwa simpanse lebih pintar daripada gorila dan gorila lebih cerdas daripada bonobo (atau sebaliknya) karena fitur kecerdasan kedua great apes itu berbeda satu sama lain.

Sampai di sini, cukuplah ditegaskan ulang bahwa gorila dan kawan-kawannya sesama great apes tidak pantas untuk ditampilkan sebagai simbol kebodohan dan kejelekan. Mereka dianugerahi Sang Khalik inteligensi yang memesona.

Melihat gorila dengan kacamata manusia, sebagai dasar untuk memuliakan yang satu dan melecehkan yang lain, adalah cara berpikir yang semrawut lagi angkuh. Anti kebinekaan. Sebaliknya, memandang gorila dengan kacamata gorila niscaya akan menghasilkan penghargaan yang memang pantas untuk mereka terima. Allahu a’lam. [ ]

 *Reza Indragiri Amriel, Pernah menjadi guru di Center for Education and Research in Environmental Strategies, Melbourne

Back to top button