
Di setiap gumpalan awan hitam selalu ada pendar cahaya. Tragedi dan krisis bukan akhir, melainkan bahan bakar kebangkitan. Kehilangan harapan adalah malapetaka sesungguhnya. Tragedi ibarat larutan asam: meluluhkan segalanya kecuali emas kebenaran, membuka borok dan kualitas sejati, menjadi mahkamah tanggung jawab agar kesalahan tak berulang. Ia meneguhkan siapa yang mampu bangkit dan siapa yang harus belajar dari jatuh.
Oleh : Yudi Latif

JERNIH– Saudaraku, jelang tahun baru adalah momen tepat bersiaga membunyikan trompet harapan—mengusik hening dan menyalakan semangat di relung jiwa.
“Harapan itu,” tulis Emily Dickinson, “sesuatu bersayap yang hinggap di jiwa, menyanyikan nada tanpa kata dan tak pernah henti.” Ia melantunkan dua nada kehidupan: nada mayor yang membangkitkan harapan positif—menggairahkan kebajikan, mendorong langkah; dan nada minor yang menghadirkan harapan negatif—menyentuh lara agar kita terhindar dari keburukan.
Harapan positif bergema dari jiwa-jiwa altruis, bak semut-semut komunitas yang bergotong-royong meringankan derita sesama. Dalam nada mayor itu pula, aku bersyukur tahun ini bisa menuntaskan buku “Apa Jadinya Dunia Tanpa Indonesia?” Sebuah karsa merenda harapan renaisans cerlang Nusantara, yang disambut antusias khalayak pembaca.
Namun arus pengharapan bangsa masih lebih banyak menggaungkan nada minor: berharap oligarki tak rakus, penyelenggara negara tak salah urus—ramai klaim, minus kinerja. Nada minor itu mengingatkan kita bahwa kewaspadaan dan tanggung jawab tak boleh surut.
Meski demikian, di setiap gumpalan awan hitam selalu ada pendar cahaya. Tragedi dan krisis bukan akhir, melainkan bahan bakar kebangkitan. Kehilangan harapan adalah malapetaka sesungguhnya.
Tragedi ibarat larutan asam: meluluhkan segalanya kecuali emas kebenaran, membuka borok dan kualitas sejati, menjadi mahkamah tanggung jawab agar kesalahan tak berulang. Ia meneguhkan siapa yang mampu bangkit dan siapa yang harus belajar dari jatuh.
Kendati menyakitkan, tragedi dan kegagalan menguji daya lenting. Seperti diingatkan Nelson Mandela, “Jangan menakarku dengan keberhasilanku, tetapi dengan berapa kali aku jatuh dan bangkit kembali.”
Sungguh pedih kehilangan, namun lebih pedih hidup dalam kematian harapan. Daun gugur menjadi pupuk kehidupan; kelalaian dan kebodohan diberi pelajaran; nasib terpahat lewat ikhtiar dan hati yang tak menyerah. [ ]






