
Sejarah membuktikan: setiap kali republik ini terancam, selalu muncul kekuatan moral yang bangkit menegakkan kebenaran. Dalam masa-masa terakhir pemerintahan Jokowi, ketika suara rakyat kerap diabaikan dan hukum dijadikan alat kekuasaan, sejumlah tokoh TNI justru berdiri di depan publik—menolak tirani, membela rakyat, dan mengingatkan bahwa republik ini tak boleh dikorbankan demi ambisi siapa pun.
Oleh : Radhar Tribaskoro
JERNIH– Di tengah redupnya cahaya demokrasi Indonesia, ada satu lembaga yang justru menyalakan kembali api harapan: Tentara Nasional Indonesia. Ironisnya, di saat sebagian besar institusi sipil kehilangan arah dan keberanian, para prajurit yang dahulu sering dituduh otoriter justru tampil membela nilai-nilai demokrasi.
Mereka berdiri di garis depan menolak kesewenang-wenangan, membela konstitusi, dan mengingatkan bangsa ini bahwa loyalitas tertinggi seorang prajurit bukan kepada penguasa, melainkan kepada negara dan rakyat.
Dalam satu dekade terakhir, Indonesia menyaksikan kemunduran demokrasi yang nyata. Pemerintahan yang lahir dari pemilihan langsung justru memperlihatkan wajah otoritarianisme baru: pelemahan lembaga pengawas, kooptasi partai politik, pembungkaman kritik, dan dinasti politik yang mencederai akal sehat republik. Demokrasi yang dahulu diperjuangkan dengan darah dan air mata kini menjadi panggung retorika tanpa jiwa.
Namun sejarah membuktikan: setiap kali republik ini terancam, selalu muncul kekuatan moral yang bangkit menegakkan kebenaran. Dalam masa-masa terakhir pemerintahan Jokowi, ketika suara rakyat kerap diabaikan dan hukum dijadikan alat kekuasaan, sejumlah tokoh TNI justru berdiri di depan publik—menolak tirani, membela rakyat, dan mengingatkan bahwa republik ini tak boleh dikorbankan demi ambisi siapa pun.
Para Prajurit yang Menolak Bungkam
Nama-nama seperti Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, mantan panglima TNI yang berulang kali menyerukan kewaspadaan terhadap gejala otoritarianisme sipil; Mayjen (Purn) Soenarko, yang menegaskan bahwa tentara sejati tidak tunduk pada penguasa tetapi pada nurani; Letjen (Purn) Yayat Sudrajat, yang tanpa takut tampil membela hak rakyat; serta Brigjen (Purn) Poernomo, yang mengingatkan pentingnya keseimbangan antara kekuasaan dan etika—semuanya adalah saksi hidup bahwa patriotisme tidak berhenti di masa pensiun.
Tak bisa dilupakan pula Mayjen Kunto Arief Wibowo, perwira aktif yang didemosi karena memperjuangkan pemilu yang jujur dan adil. Tindakannya adalah bentuk keberanian moral di tengah kultur birokratis yang kaku. Darah keberanian itu tampaknya mengalir dari ayahnya, Jenderal (Purn) Try Sutrisno, mantan wakil presiden RI yang terkenal dengan kesederhanaannya, tetapi tak segan memimpin para jenderal untuk menuntut demokrasi yang sejati. Try Sutrisno tidak hanya mengajarkan disiplin, tetapi juga integritas—sesuatu yang makin langka di kalangan elite sipil.
Selain mereka, ada pula nama-nama seperti Letjen (Alm.) Syarwan Hamid, Mayjen (Purn) Robby Win Kadir, Kol (Purn) Sugeng Waras,, yang aktif dalam forum-forum kebangsaan. Mereka hadir di tengah protes mahasiswa, buruh, dan emak-emak bukan untuk menunggangi, melainkan menopang moralitas perjuangan rakyat.
Forum Para Pejuang Konstitusi
Menjelang akhir kekuasaan Jokowi, berbagai forum yang dipimpin oleh para purnawirawan TNI menyerukan pemakzulan terhadap Wakil Presiden terpilih, Gibran Rakabuming Raka—simbol matinya etika publik dan ambruknya marwah konstitusi. Langkah itu bukan perlawanan terhadap negara, melainkan pengabdian kepada cita-cita republik. Mereka mempertaruhkan nama, kehormatan, bahkan rasa aman demi membela kebenaran.
Mereka tahu: bila militer diam saat rakyat ditindas, maka sumpah prajurit kehilangan maknanya.
Kini, dengan terpilihnya Jenderal (Purn) Prabowo Subianto sebagai Presiden Republik Indonesia, sejarah membuka peluang baru. Dunia boleh curiga, tetapi bangsa ini punya kesempatan membuktikan bahwa militer bisa menjadi pelindung demokrasi—bukan ancamannya. Prabowo memikul beban sejarah untuk membalikkan narasi lama: bahwa kekuatan berseragam identik dengan otoritarianisme. Ia dapat menunjukkan bahwa disiplin militer dan semangat demokrasi bukan dua hal yang saling meniadakan, melainkan bisa saling memperkuat.
Jika Prabowo memilih jalan ini, maka pemerintahannya dapat menjadi tonggak bagi rekonsiliasi sipil-militer yang sehat: bukan subordinasi, melainkan kemitraan moral dalam menjaga republik. Di tengah kerapuhan partai politik dan keroposnya lembaga hukum, TNI dapat menjadi jangkar moral—bukan untuk memerintah, tetapi untuk memastikan negara tetap berpegang pada kebenaran.
Pelajaran dari Dunia
Sejarah dunia menunjukkan bahwa militer bukan selalu musuh demokrasi. Dalam beberapa peristiwa besar, justru merekalah yang memulihkannya.
Di Portugal, Revolusi Anyelir 1974 dipimpin oleh perwira muda yang menggulingkan rezim otoriter dan menyerahkan kekuasaan kepada rakyat. Mereka menolak menjadi alat tirani dan mengakhiri perang kolonial dengan damai. Portugal kini menjadi salah satu demokrasi paling stabil di Eropa.
Indonesia sendiri pernah menempuh jalan serupa pada Reformasi 1998. Sejumlah perwira menolak menembaki mahasiswa dan memilih berpihak pada rakyat. Dari keputusan moral itulah demokrasi lahir kembali.
Hal serupa terjadi di Tunisia tahun 2011, ketika Jenderal Rachid Ammar menolak perintah presiden untuk menembaki demonstran. Militer menolak berkuasa, menyerahkan mandat kepada sipil, dan negeri itu menjadi satu-satunya negara Arab yang berhasil menegakkan demokrasi pasca Arab Spring.
Ketiga contoh itu memperlihatkan satu hal: demokrasi bisa lahir kembali bila militer mendahulukan nurani di atas perintah.
Dikotomi yang Tidak Lagi Relevan
Kini sudah tak relevan lagi menilai keberpihakan terhadap demokrasi berdasarkan dikotomi “sipil versus militer”. Yang relevan adalah keberanian untuk berpihak pada kebenaran. Dalam konteks ini, banyak tokoh militer telah menunjukkan bahwa moralitas tidak mengenal seragam. Mereka menunjukkan bahwa demokrasi dapat dijaga oleh siapa pun yang berani berkata “tidak” kepada kekuasaan yang melanggar batas.
Dalam teori politik, demokrasi hanya bisa hidup jika memiliki mekanisme koreksi diri. Ketika lembaga-lembaga sipil gagal menjalankan fungsi itu, koreksi sering datang dari luar struktur—dari suara nurani. Dan di antara suara nurani itu, kini terdengar gema langkah para prajurit yang menolak tunduk pada ketidakadilan.
Penutup: Tentara yang Menjaga Hati Rakyat
TNI lahir dari rakyat, berjuang untuk rakyat, dan seharusnya kembali kepada rakyat. Di tengah kebisingan politik dan korupsi moral, TNI bisa menjadi benteng terakhir nilai-nilai republik. Para prajurit yang dahulu berjuang dengan senjata kini berjuang dengan suara—menegakkan kebenaran dan keadilan.
Mereka tidak perlu merebut kekuasaan untuk menjadi pahlawan. Cukup dengan berdiri di sisi rakyat ketika kebenaran diinjak-injak, mereka telah melanjutkan tradisi panjang para pejuang bangsa—dari Jenderal Sudirman hingga Try Sutrisno, dari Gatot Nurmantyo hingga Kunto Arief Wibowo.
Karena pada akhirnya, demokrasi tidak akan diselamatkan oleh prosedur, tetapi oleh orang-orang yang berani menjaga hati nurani bangsa. [ ]
Cimahi, 18 Oktober 2025