Transisi Energi, Bayang-bayang Kolonialisme Hijau dan Peran GREAT Institute

Dunia sedang bergerak menuju era energi bersih. Panel surya, turbin angin, kendaraan listrik, dan baterai litium kini menjadi ikon masa depan yang lebih hijau. Namun di balik semangat global melawan krisis iklim, muncul sebuah kegelisahan: apakah transisi energi benar-benar menghadirkan keadilan, atau justru membuka babak baru dari kolonialisme dalam wajah yang lebih lembut—kolonialisme hijau?
JERNIH – “Setiap kali dunia berbicara tentang menyelamatkan bumi, kita harus bertanya: bumi siapa yang sedang diselamatkan, dan atas biaya siapa?” ujar Vandana Shiva, aktivis lingkungan asal India. Kalimat itu menjadi pengingat tajam bahwa di balik narasi penyelamatan iklim, sering tersembunyi relasi kuasa yang tidak adil.
Indonesia, dengan kekayaan sumber daya alamnya—nikel, batubara, dan energi terbarukan—kini berdiri di panggung utama percaturan energi dunia. Negara ini menjadi pusat perhatian karena cadangan nikelnya mencapai sekitar 55 juta ton, atau hampir 42 persen dari total cadangan global.
Produksi nasional bahkan melampaui dua juta ton per tahun, menjadikan Indonesia penguasa lebih dari separuh pasar nikel dunia. Pemerintah menempatkan sektor ini sebagai tulang punggung hilirisasi industri dan sumber utama bagi transisi menuju energi hijau, terutama melalui pengembangan baterai kendaraan listrik (EV).
Namun di balik kebanggaan itu, muncul paradoks yang mengusik nurani: ketika Indonesia dipuji sebagai bagian dari solusi iklim global, apakah sebenarnya kita sedang menjadi pemasok murah bagi “industri hijau” negara maju?
Fenomena ini dikenal dengan istilah green colonialism atau kolonialisme hijau—konsep yang pertama kali berkembang di kalangan aktivis dan akademisi dari negara-negara Global South. Intinya, proyek-proyek yang mengatasnamakan energi bersih sering kali memperpanjang logika kolonial: eksploitasi sumber daya alam dan manusia di negara berkembang demi kepentingan kapital dan industri di negara maju.
Dalam perspektif Teori Ketergantungan yang diperkenalkan Andre Gunder Frank dan Theotonio Dos Santos, hubungan semacam ini bukan hal baru. Sejak lama, negara-negara di pinggiran ekonomi dunia telah dijadikan pemasok bahan mentah bagi pusat kapitalisme global. Bedanya, jika dulu yang dieksploitasi adalah minyak dan gas, kini komoditas yang diincar adalah nikel, litium, dan tembaga—semuanya atas nama “transisi energi”.

Paul Robbins dalam teori Ekologi Politik menegaskan bahwa isu lingkungan tidak pernah netral. Siapa yang menguasai sumber daya, siapa yang menentukan arah pembangunan, dan siapa yang memperoleh manfaat, semuanya adalah persoalan politik. Maka, transisi energi tanpa perubahan struktur kekuasaan hanya akan melahirkan bentuk baru dari kolonialisme, kali ini dengan warna “hijau”.
Arturo Escobar dalam karya pentingnya Encountering Development: The Making and Unmaking of the Third World (1995) bahkan menyebut bahwa sejak 1950-an, lembaga-lembaga internasional telah menciptakan kategori “negara berkembang” untuk membenarkan intervensi ekonomi dan sosial yang sejatinya memperpanjang kolonialisme dalam wajah baru. Dengan kata lain, narasi pembangunan berkelanjutan kerap dijadikan legitimasi bagi kepentingan kapitalisme global.
Nikel dan Wajah Baru Ekstraktivisme
Paradoks itu tampak jelas di lapangan. Dalam studi berjudul “Green but Extractive: Diplomasi Hilirisasi Nikel Indonesia dan Politik Eksklusi Sosial di Weda Bay”, dua peneliti dari Universitas Sriwijaya, Roy Setiawan dan Maudy Noor Fadlhia, mengungkap bahwa proyek-proyek nikel yang diklaim “ramah lingkungan” justru meninggalkan jejak deforestasi, pencemaran, dan konflik sosial. Masyarakat adat kehilangan lahan, nelayan kehilangan akses laut, dan para pekerja dihadapkan pada kondisi kerja eksploitatif—sementara keuntungan besar mengalir ke perusahaan multinasional dan investor asing.
Fenomena ini kini disebut sebagai ekstraktivisme hijau—yakni, praktik eksploitasi yang dibungkus jargon keberlanjutan. Pemerintah memang mendorong hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah, dan hasilnya cukup signifikan. Menurut data 2024, pengolahan nikel menjadi bahan baku baterai bisa meningkatkan nilai ekonomi hingga 67 kali lipat dibanding menjual bijih mentah. Namun di sisi lain, impor bijih dari Filipina masih terjadi karena belum semua perusahaan mampu memenuhi kebutuhan produksi domestik. Ini menunjukkan bahwa hilirisasi kita masih berada dalam fase transisi yang belum kokoh.
Selain itu, ekspansi pertambangan juga memunculkan dampak ekologis yang serius. Pada 2025, pemerintah bahkan mencabut sejumlah izin tambang di kawasan sensitif seperti Raja Ampat setelah terbukti melanggar ketentuan lingkungan. Langkah itu mendapat apresiasi publik, namun juga menunjukkan betapa rapuhnya tata kelola sektor ini.
Kedaulatan Energi sebagai Jalan Keluar
Menghadang kolonialisme hijau berarti memperjuangkan kedaulatan energi—bukan sekadar mengganti bahan bakar fosil dengan energi baru terbarukan, tetapi mengubah struktur ekonomi dan politik yang timpang.
Kedaulatan energi harus dimulai dengan memastikan kontrol nasional atas sumber daya strategis. Hilirisasi nikel, litium, dan tembaga perlu diarahkan untuk membangun rantai nilai di dalam negeri, dari eksplorasi hingga produksi teknologi tinggi. Di sisi lain, partisipasi masyarakat lokal tidak boleh diabaikan. Prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) wajib diterapkan agar komunitas terdampak menjadi subjek yang didengar, bukan korban pembangunan.
Aspek lain yang krusial adalah transparansi pembiayaan. Gelombang investasi hijau dari luar negeri, seperti proyek pabrik baterai LG senilai 1,7 miliar dolar AS dan kerja sama Indonesia–China dalam pabrik litium berskala besar, harus disertai jaminan transfer teknologi dan manfaat ekonomi yang nyata bagi rakyat Indonesia. Tanpa itu, investasi hijau hanya akan menjadi bentuk ketergantungan baru.
Peran Think Tank dan Kekuatan Pengetahuan
Di tengah dinamika ini, lembaga pemikir (think tank) berperan penting sebagai jembatan antara pengetahuan ilmiah, kepentingan publik, dan arah kebijakan negara. Salah satu yang menonjol adalah GREAT Institute, sebuah lembaga yang didirikan pada tahun 2025 dengan fokus pada riset kebijakan energi, teknologi maju, dan geopolitik sumber daya.
Dalam berbagai forum dan penelitian, GREAT Institute menekankan pentingnya kemandirian energi nasional. Salah satu rekomendasinya adalah pembentukan Direktorat Jenderal Ketenaganukliran dan pelibatan PT Industri Nuklir Indonesia (INUKI) dalam pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Menurut Ketua Dewan Direktur GREAT Institute, Dr. Syahganda Nainggolan, “Kalau kita terus takut pada masa lalu, kita akan kehilangan masa depan.”
Pernyataan tersebut menggambarkan visi baru yang berani: bahwa kedaulatan energi tidak hanya tentang mengelola sumber daya alam, tetapi juga menguasai teknologi dan strategi geopolitik. Dengan riset yang berbasis data dan kepentingan nasional, GREAT Institute berupaya memastikan agar arah transisi energi Indonesia tidak terseret dalam pusaran kolonialisme hijau yang baru.
Transisi atau Transformasi?
Pada akhirnya, transisi energi adalah keniscayaan, tetapi keadilan energi adalah pilihan politik. Seperti diingatkan oleh aktivis Nigeria, Nnimmo Bassey, “Energi bersih tidak akan berarti apa-apa jika dibangun di atas ketidakadilan.”
Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadikan transisi ini bukan sekadar perubahan sumber daya, melainkan transformasi menuju kemandirian dan peradaban baru. Namun peluang itu hanya bisa terwujud jika arah kebijakan didasarkan pada keadilan sosial, partisipasi rakyat, dan penguasaan teknologi yang mandiri. Tanpa itu, warna hijau yang kita banggakan bisa jadi hanya topeng bagi penjajahan lama yang berganti rupa.
Masa depan energi Indonesia tidak boleh berhenti di slogan “berkelanjutan.” Ia harus menjadi proyek peradaban yang memerdekakan, menyejahterakan, dan menegakkan martabat bangsa di tengah dunia yang terus berubah.(*)
BACA JUGA: GREAT Institute Menyerap Pemikiran Utkarsh Saxena Membuka Cakrawala Baru Peradilan Indonesia






