Tujuh Anak Muda Pendobrak Tradisi
Kemampuan komunikasi merupakan syarat mutlak bagi kader-kader pemimpin umat di masa mendatang. Menurut rektor STID Mohammad Natsir, Dr. Dwi Budiman Assiroji menjelaskan, bahwa STID Mohammad Natsir bukan sekadar lembaga pendidikan tapi juga kaderisasi dai berbasis iman, taqwa, dan akhlak mulia.
Oleh : Dr. Adian Husaini
JERNIH– Inilah tujuh anak muda pemberani, pendobrak tradisi. Saya menyebut “pemberani”, karena mereka berani memilih jalan hidup yang tidak biasa.
Mereka berpikir dan memilih jalan “sukses” yang berbeda dengan banyak anak muda lainnya. Mereka adalah: “Azzam Habibullah, Fatih Madini, Faris Ranadi, Muhammad Fadlan Adzim, Faiz Rasyidi, Jafar Achmad, dan Izzet Akbar Ramadhanie.”
Pada 24 Februari 2021 lalu, tujuh anak negeri Indonesia itu mulai menjalani program MASTAMA (Masa Taaruf Mahasiswa) kelas Jurnalistik Profesional — Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohammad Natsir, di Kampus Utama, Jalan Kramat Raya 45, Jakarta Pusat.
Ini sekadar informasi tentang tujuh anak muda pemberani itu. Azzam Habibullah (19 tahun) adalah putra pasangan pendidik di Sumatra Utara. Ibunya seorang dosen dan konsultan pendidikan. Ayahnya seorang insiyur Teknik elektro yang juga aktif dalam dunia pendidikan. Ia telah menulis empat buku. Ia pernah terpilih untuk mempresentasikan makalahnya di Amerika Serikat, Austria, dan Turki.
Tahun 2021 ini, Azzam terpilih sebagai salah satu dari “Sembilan Remaja Pembaharu Ashoka Young Changemaker 2021.” Menurut siaran pers panitia seleksi program ini, anak-anak muda itu dipilih dengan kriteria kemampuannya dalam: “Menawarkan Solusi Kreatif bagi Masalah Sosial dan Lingkungan Hidup”.
Azzam telah menulis empat judul buku. Buku terakhirnya berjudul: “Hikmah Sejarah untuk Indonesia Berkah” (Depok: YPI at-Taqwa, 2020). Kini sehari-hari, Azzam sedang menyelesaikan skripsinya di Pesantren Tinggi At-Taqwa (at-Taqwa College) Depok. Ia pun telah dipercaya mengajar sejarah, menjadi imam shalat jamaah dan khatib Jumat. (Lebih jauh, lihat: https://azzamhabibullah.net).
Fatih Madini (18 tahun), putra Ibu Megawati M.Pd–pimpinan Pesantren at-Taqwa Depok — juga sedang menulis skripsi di at-Taqwa College. Pada usia 16 tahun, di bawah bimbingan Dr Muhammad Ardiansyah dan Dr. Alwi Alatas, ia telah menerbitkan bukunya berjudul: “Mewujudkan Insan dan Peradaban Mulia” (Depok: YPI at-Taqwa, 2018).
Oleh Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud, buku pertama Fatih Madini itu pernah diberi kesempatan untuk dipresentasikan secara singkat dalam acara “Saturday Night Lecture di Center for Advaced Studies on Islam, Science and Civilization” — Universiti Teknologi Malaysia (CASIS-UTM) Kuala Lumpur.
Tahun 2020, buku keduanya terbit dengan judul: “Reformasi Pemikiran Pendidikan Kita” (Depok: YPI at-Taqwa, 2020). Pernah menjadi pelatih taekwondo dan silat, sehari-hari, Fatih Madini juga mengajar materi adab ilmu dan bahasa Arab kepada para santri.
Saat masih menjadi santri PRISTAC (Pesantren for the Study of Islamic Thought and Civilization), Fatih Madini dan Faris Ranadi pernah mempresentasikan makalahnya di International Islamic University Malaysia (2018). Makalah Fatih Madini berjudul: “Abdul Samad Al-Falimbani’s Concept As The Solution of Muslim Internal Problem.”
Faris Ranadi (18 tahun) adalah putra Ir. Kusnai, seorang insinyur teknologi industri dari IPB. Faris memiliki kemampuan menulis dan berbahasa Inggris yang baik. Ia pernah menerbitkan novelnya yang berjudul “The Rosemary”. (https://attaqwa.id/2020/05/04/mahasiswa-at-taqwa-college-terbitkan-novel/). Kumpulan tulisannya telah diterbitkan dalam sebuah buku berjudul “Pemikiran Islam dan Tantangannya di Era Globalisasi”.
Muhammad Fadlan adalah putra Nurbowo (alm.), seorang wartawan pejuang. Nurbowo juga menjabat ketua Asosiasi Relawan Mandiri Himpunan Alumni IPB. Fadlan memiliki bakat menulis seperti ayahnya. Sehari-hari, disamping mengerjakan skripsinya di at-Taqwa College, Fadlan telah dipercaya mengajar Tahsin dan Tahfidz al-Quran di Pesantren at-Taqwa Depok.
Faiz Rasyidi adalah putra seorang guru mengaji al-Quran. Di samping masih belajar di at-Taqwa College Depok, ia telah dipercaya melatih silat dan mengajar Kitab Arab-Melayu kepada para santri. Sebab, sejak kelas 5 di SD at-Taqwa, ia telah mulai belajar banyak kitab Arab Melayu, seperti “Adabul Insan”, “Risalah Dua Ilmu”, “Gurindam Dua Belas”, dan sebagainya.
Izzet Akbar Ramadhanie adalah putra dari KH Syamsul Bahri, ketua Majelis Fatwa Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII). Ia pernah kuliah ilmu komputer di Perbanas Institute Jakarta, selama lima semester. Izzet juga telah berwirausaha secara mandiri. Pernah bekerja di Telkom selama enam bulan. Kini, Izzet dengan bimbingan ayahnya, memilih untuk kuliah di kelas Jurnalistik Profesional, Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Mohammad Natsir.
Anak muda ketujuh adalah Jafar Achmad, putra dari Dr. Achmad Annuri, seorang ulama al-Quran yang juga ketua Bidang Pengembangan Studi al-Quran di DDII. Pendidikan tingkat SMP- SMA-nya ditempuh di Ma’had Tahfidz Bina Madani. Ia telah menyelesaikan hafalan al-Quran 30 juz. Jafar lalu mengambil kursus Bahasa Arab selama setahun di Turki, Bahasa Inggris selama enam bulan di Pare, dan juga Bahasa Turki dan bahasa Korea.
***
Itulah profil singkat tujuh anak muda mahasiswa baru STID Mohammad Natsir. Kelas Jurnalistik Profesional STID Mohammad Natsir dirancang oleh pimpinan DDII dan STID Mohammad Natsir untuk membentuk kader pejuang yang memiliki profesionalitas dalam kehidupan. Program pendidikan ini sangat serius, dan tidak gratis. Mahasiswa harus membayar SPP Rp 1.250.000 per bulan. Jika tidak mampu, boleh mengajukan keringanan.
Di samping mengikuti kuliah regular sesuai kurikulum program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, kelas ini langsung dibimbing oleh sejumlah tokoh nasional dan wartawan profesional. Komunikasi adalah salah satu keahlian yang sangat diperlukan untuk berkiprah di era disrupsi, di samping critical thinking, creativity, and collaboration.
Kemampuan komunikasi merupakan syarat mutlak bagi kader-kader pemimpin umat di masa mendatang. Menurut rektor STID Mohammad Natsir, Dr. Dwi Budiman Assiroji menjelaskan, bahwa STID Mohammad Natsir bukan sekadar lembaga pendidikan tapi juga kaderisasi dai berbasis iman, taqwa, dan akhlak mulia.
Dalam perspektif pendidikan, STID Mohammad Natsir sejatinya telah memenuhi kriteria “Universitas yang sebenarnya” dalam Islam. Sebab, di sinilah mahasiswa dididik menjadi manusia sempurna (al-insan al-kulliy). Mereka dididik menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, dan berguna bagi sesama.
Dalam acara penutupan Rakornas DDII, 28 Februari lalu, kepada seluruh jajaran pengurus DDII se-Indonesia, saya tekankan, bahwa STID Mohammad Natsir adalah salah satu kampus terbaik. Para pimpinan dan pengurus DDII tidak perlu ragu-ragu untuk menjadikan kampus STID Mohammad Natsir sebagai tujuan utama kuliah bagi anak-anak mereka.
Kini, zaman telah berubah! Kita memasuki era disrupsi. Model pembelajaran online tak terhindarkan lagi. Informasi dan ilmu pengetahuan melimpah ruah di dunia internet. Di era seperti ini, yang utama dicari adalah kampus yang mengutamakan pembentukan kepribadian yang unggul, berdasar iman, taqwa, dan akhlak mulia. Jangan sampai kita terlambat sadar!
Semoga Allah SWT meridhai dan menolong kita semua. Aamiin. [ ]