Solilokui

Pesantren, Masa Depan Pendidikan Indonesia

Dalam menanamkan jiwa anti-penjajah, para kyai melarang para santri memakai dasi, pantalon, dan sebagainya. Sebab, itu menyerupai penjajah, menyerupai orang-orang Barat.  Jadi, uzlah dilakukan baik secara fisik ataupun secara spiritual.

Oleh  :  Dr. Adian Husaini* 

JERNIH—Pada Kamis, 22 Oktober 2020, sejumlah media online menurunkan judul berita: “Masa Depan Kejayaan Pendidikan Indonesia adalah Pesantren”. Suara Islam online menulis berita berjudul: “Ketum Dewan Da’wah: Masa Depan Kejayaan Pendidikan Indonesia adalah Pesantren.”  Sedangkan Republika online menulis judul berita: “DDII: Pesantren Masa Depan Pendidikan Nasional”.

Adian Hussaini

Berita-berita itu mengutip isi Pidato Perdana yang saya sampaikan Senin (21 Oktober 2020), sebagai Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (Dewan Da’wah). Saya menegaskan, bahwa pondok pesantren memiliki peran strategis menuju masa depan kejayaan pendidikan Indonesia. Untuk itu, konsep pesantren perlu dijadikan sistem pendidikan nasional.

“Masa depan kejayaan pendidikan kita ya pesantren. Karena itulah, tolong ubah pendidikan kita jadi konsep pesantren. ”  Pidato Perdana Ketua Umum Dewan Da’wah menyambut Hari Santri bertema “Menyongsong Kejayaan Pendidikan Kita”. Pidato itu disiarkan secara langsung melalui kanal-kanal Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia.

Siaran pidato Ketum Dewan Da’wah ini diikuti ribuan orang di Indonesia dan luar negeri. Mereka menyimak dari kanal medsos Dewan Da’wah, AdianhusainiTV, KalamTV, UmmatTV, Radio Dakta 107 FM, voa-Islam TV, dan lain-lain. Sebagian audiens itu mengikuti secara berjamaah. Misalnya dosen dan mahasiswa Akademi Da’wah Indonesia Bukittinggi Sumatera Barat, Kupang, dan Mahasiswa Attaqwa College Depok.

Memang, jauh sebelum masa kemerdekaan, tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara pernah menyinggung soal konsep pondok atau asrama yang merupakan ruh sistem pendidikan nasional. Pada Majalah Wasita edisi November 1928, Ki Hajar Dewantara menulis, “Sistem Pondok dan Asrama Itulah Sistem Nasional”. Ki Hajar mengatakan hakikat pesantren adalah terjadinya proses interaksi intensif antara kiai dan santri, sehingga terjadi proses pengajaran dan pendidikan.

“Mulai jaman dahulu hingga sekarang rakyat kita mempunyai rumah pengajaran yang juga menjadi rumah pendidikan, yaitu kalau sekarang disebut ‘pondok pesantren’. Kalau jaman dulu dinamakan ‘pawiyatan’ atau asrama. Sifat pesantren atau pondok dan asrama yaitu rumah kiai guru (Ki Hajar), yang dipakai buat pondokan santri-santri (cantrik-cantrik) dan buat rumah pengajaran juga. Di situ karena guru dan murid tiap hari, siang malam berkumpul jadi satu, maka pengajaran dengan sendiri selalu berhubungan dengan pendidikan,” demikian penjelasan Ki Hajar. 

***

Pandangan menarik tentang pesantren disampaikan oleh pendiri dan tokoh Dewan Da’wah,  Mohammad Natsir. Pesantren, menurut Pak Natsir, bukan hanya sekedar lembaga pendidikan, tetapi merupakan “Lembaga Perjuangan Nasional”, khususnya ketika menghadapi  Politik Etis Belanda pada abad ke-20.

Dalam buku “Pesan Perjuangan Seorang Bapak: Percakapan Antar Generasi”, Pak Natsir mengakui kecerdikan para ulama dalam menghadapi politik penjajahan, dengan menggunakan “Strategi Uzlah”. Strategi yang dijalankan para ulama adalah melakukan uzlah (pengasingan diri), melakukan hijrah mental; tidak melawan secara fisik. Dalam Uzlah, para ulama dan santri meninggalkan kota-kota besarsupaya jangan pemuda-pemuda ini terpengaruh oleh upaya-upaya penjajah. Di tempat-tempat seperti pinggiran kota, gunung, atau pantai, di situlah para ulama membuka pesantren-pesantren.

Menurut Pak Natsir: “Dari apa yang saya kemukakan tadi, jelas terlihat bahwa pesantren adalah lembaga yang dikembangkan dalam rangka perjuangan bangsa Indonesia. Dengan demikian, pesantren bukan saja merupakan lembaga pendidikan, tetapi mempunyai peran yang penting dalam perjuangan nasional”.

Dalam menanamkan jiwa anti-penjajah, para kyai melarang para santri memakai dasi, pantalon, dan sebagainya. Sebab, itu menyerupai penjajah, menyerupai orang-orang Barat.  Jadi, uzlah dilakukan baik secara fisik ataupun secara spiritual.

“Pesantren-pesantren ini mempunyai alam pemikiran sendiri, alam perasaan sendiri, yang berbeda dengan apa yang ada di kota-kota yang dipengaruhi oleh politik asosiasi Belanda. Mungkin kalau kita memandang larangan pakaian itu dari segih fikih dan dalam konteks sekarang, kita akan tersenyum. Tapi sebagai media perjuangan, dan dalam konteks penjajahan waktu itu, cara yang dipakai para ulama kita dengan uzlah-nya ini merupakan pemikiran yang amat cerdik, kalau kita katakan “briliant”,” kata Pak Natsir.

Jadi, model pendidikan pesantren terbukti mampu melahirkan generasi gemilang, yakni generasi 1945 yang berhasil mewujudkan dan mempertahankan kemerdekaan RI. Ada enam ciri utama pesantren: (a) adanya keteladanan kyai dan guru-guru  (b) ada pendalaman ilmu-ilmu agama (tafaqquh fid-din), (c) ada penanaman adab atau akhlak mulia  (d) ada penanaman jiwa dakwah (e) ada penanaman jiwa mandiri  (f) pemahaman terhadap tantangan pemikiran kontemporer.

Nama pesantren memang produk Indonesia. Tetapi, sebagai sistem pendidikan Islam yang ideal, pesantren telah diterapkan langsung oleh Rasulullah saw. Beliau berhasil melahirkan satu generasi gemilang, yakni generasi sahabat Nabi. Model pendidikan ini terus diterapkan sepanjang sejarah Islam.

Jika bangsa Indonesia, dan khususnya umat Islam,  bertekad menjadi bangsa hebat, maka terapkanlah sistem “pendidikan pesantren”. Tidak ada salahnya jika nanti akan muncul: Pesantren Universitas  Indonesia, Pesantren Universitas  IPB, Pesantren Universitas Gajah Mada, Pesantren ITB, dan sebagainya. 

Di pesantren-pesantren itu, para rektor dan dosen berinteraksi secara intensif dalam kehidupan sehari-hari. Rektor menjadi kyai yang patut diteladani ilmu, ibadah, dan akhlaknya. Begitu juga para dosen lainnya. Para sivitas akademika berlomba-lomba mendekatkan diri kepada Allah, dengan aktivitas ibadah dan keilmuan.

InsyaAllah, dengan cara itu, tidak ada lagi lulusan kampus-kampus nasional tersebut yang durhaka kepada Allah SWT, yang korupsi, yang menzalimi rakyat, yang menjadi pemerkosa kelas dunia, atau yang menjadi pembunuh sadis dengan memotong-motong korbannya. 

Jadi, memang Pesantren adalah masa depan pendidikan ideal di Indonesia. Saya yakin dan sudah membuktikan! Wallahu A’lam bish-shawab.–

Cikampek, 22 Oktober 2020). [  ]

*Ketua Umum DDII, Pembina pesantren. Bisa ditemui pada (www.adianhusaini.id)

Back to top button