
Jika Nabi Muhammad SAW dan para sahabat terkemuka hadir hari ini, boleh jadi beliau akan membuat kanal YouTube, akan berdakwah lewat podcast, akan mengirimkan surat seperti beliau menyurati Raja Heraklius—tapi kali ini lewat e-mail dan DM.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH– Kita hidup di zaman yang penuh paradoks. Teknologi informasi merajalela, tapi informasi benar justru kian langka. Data dan suara berserakan di segala arah, tapi hikmah dan adab kian tenggelam. Inilah zaman ketika hoaks bisa menjadi lebih dipercaya ketimbang fatwa, ketika ustaz Instagram lebih didengar daripada imam masjid.
Di titik inilah tema “Literasi Digital” yang diangkat dalam program Pendidikan Kader Ulama XIX MUI Kabupaten Bogor bukan sekadar materi pelatihan. Ia adalah seruan jihad akal. Panggilan ruhani bagi para pewaris Nabi untuk menyalakan obor di tengah rimba algoritma.
Literasi digital tidak sesempit kemampuan membuka browser dan memahami aplikasi. Literasi digital, dalam konteks dakwah, adalah kesanggupan membaca realitas digital dengan nalar Islam, menyaring kebenaran dari sampah informasi, dan memproklamasikan nilai-nilai langit dengan bahasa zaman.
Dan ini bukan main-main. Mari mulai dari sabda Nabi Muhammad SAW yang menjadi basis semua semangat perubahan sosial: “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangan. Jika tidak mampu, maka dengan lisan. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya. Dan itu selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Pertanyaannya kini: bagaimana mungkin kita disebut ulama jika kemungkaran berseliweran di linimasa tapi kita tak bergerak? Apakah hati kita benar-benar masih beriman jika kita memilih bungkam saat kebodohan disebar dalam format yang estetik, dalam suara yang menyentuh, tapi penuh kedustaan?
Ulama hari ini tak bisa cukup dengan kemampuan membaca kitab kuning. Mereka harus bisa membaca tren, membaca data, membaca emosi kolektif umat yang digiring oleh clickbait dan buzzer.
Jika Nabi Muhammad SAW dan para sahabat terkemuka hadir hari ini, boleh jadi beliau akan membuat kanal YouTube, akan berdakwah lewat podcast, akan mengirimkan surat seperti beliau menyurati Raja Heraklius—tapi kali ini lewat e-mail dan DM.
Mengapa? Sebab dalam Islam, berbicara bukan sekadar soal menyuarakan isi, tapi membangkitkan jiwa. Alm KH Jalaluddin Rakhmat menyebutnya sebagai qaulan baligha: perkataan yang indah dalam bentuk, jernih dalam makna, serta deep dalam pengaruh. Ia adalah komunikasi yang menggetarkan—seperti doa yang membelah langit, seperti bisikan kebenaran yang menembus sekat logika. Inilah bahasa para Nabi, bahasa yang tidak menyakiti, tapi juga tidak membiarkan. Kata-kata yang tak menggurui, tapi menyalakan pelita dalam batin yang gelap.
Dan hari ini, qaulan baligha menuntut kelahiran ulang dalam medium zaman. Ia harus lahir dalam format yang dipahami manusia era layar: suara yang menyentuh dalam video satu menit, narasi yang menggugah lewat utas yang terangkai cerdas, atau bahkan grafis sunyi yang menampar kesadaran. Di dunia di mana kebisingan merajalela, hanya qaulan baligha-lah yang bisa mengiris hening umat yang kehilangan arah. Maka berdakwah di era digital bukan sekadar kehadiran—melainkan kesanggupan menyampaikan kebenaran dengan cara yang tak hanya didengar, tapi dirasakan.
Dan itu bukan pengurangan kehormatan. Itu perluasan medan.
Dalam sejarah kenabian, kita mengenal Zakaria, seorang nabi yang bukan hanya resah karena belum memiliki anak biologis, tapi karena belum memiliki kader ideologis. Ia khawatir, selepas wafatnya, perjuangan akan terputus. Al-Qur’an mencatat doanya dengan amat getir: “Ya Tuhanku, tulangku telah lemah, kepalaku ditumbuhi uban… Dan aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku…” (QS Maryam: 4-5)
Bukankah keresahan itu kini terasa begitu relevan?
Lihatlah ke sekeliling: siapa yang akan mewarisi kerja besar dakwah jika para ulama senior hari ini hanya sibuk menjaga status, dan para muda hanya asyik berburu followers?
Bahkan Imam Syafi’i, dalam satu syairnya, mengingatkan kita: “Jika kau tidak menyibukkan dirimu dalam kebaikan, maka ia akan disibukkan oleh keburukan.”
Itulah sebabnya, bila kader ulama hari ini tidak disiapkan untuk menjadi pemain utama di medan digital, maka medan itu akan diisi oleh mereka yang tak punya adab, tak punya sanad, tak punya kemauan membela yang hak. Kita menyaksikan ini saban hari.
Seseorang pernah bercerita, ada seorang kyai sepuh di Jawa Timur yang kini aktif di TikTok. “Mengapa, Mbah?” tanya seorang santri. Sang kyai menjawab pendek, tapi memukul: “Karena santri-santri saya tidak lagi datang ke langgar, tapi ke layar.”
Jawaban itu mengandung hikmah besar: dakwah bukan soal mempertahankan bentuk, tapi soal menyelamatkan isi. Ulama yang enggan turun ke dunia digital karena menganggap itu ‘dunia rendahan’ sejatinya sedang meninggalkan umatnya yang sedang terjerembab.
Lihatlah betapa banyak anak muda kita yang mempelajari Islam pertama kali dari video 30 detik, dari narasi potongan yang sering kali menyesatkan. Bukankah itu cukup membuat darah kita mendidih?
Lantas, mengapa kita hanya diam?
Kita harus ingat, Islam lahir dengan perintah “Iqra’!”—bacalah! Wahyu pertama bukan perintah untuk rukuk, bukan perintah untuk perang, tapi perintah untuk melek. Perintah untuk memahami. Perintah untuk membaca realitas dan mengubahnya.
Dan menariknya, semangat membaca dan memahami bukan hanya milik Islam. Dalam tradisi Kristiani, kebijaksanaan adalah ruh dari iman. Dalam Amsal Sulaiman tertulis, “Biarlah orang bijak mendengar dan menambah ilmu, dan orang yang berpengertian memperoleh kepandaian.” (Amsal 1:5). Di ayat lain: “Hikmat adalah hal yang paling utama. Oleh sebab itu perolehlah hikmat, dan dengan segala yang kau peroleh, perolehlah pengertian.” (Amsal 4:7).
Di sini, membaca bukan sekadar proses mengenali huruf, melainkan jalan menuju hidup yang benar dan berakal. Demikian pula dalam tradisi Yahudi, kata pertama Taurat adalah bereshit—“Pada mulanya.” Sebuah awal yang menuntut pencarian, penelaahan, dan kesetiaan pada makna. Bahkan dalam ajaran Buddha, jalan menuju pencerahan dimulai dengan pandangan benar—samma ditthi—yang hanya mungkin dicapai jika batin diasah dengan perenungan dan bacaan yang jujur.
Maka jangan heran bila dalam dunia Islam klasik, ulama adalah tokoh sentral peradaban: mereka bukan hanya ahli agama, tapi ahli astronomi, kedokteran, filsafat, dan politik. Mereka membaca langit dan bumi. Hari ini, ulama tidak cukup hanya membaca kitab, tapi ia juga harus piawai membaca algoritma YouTube, menyelami big data, memahami logika viralitas dan SEO.
Jika tidak, mereka hanya akan jadi penghias seremoni, bukan penentu arah zaman. Dan itu, Ikhwan fillah, adalah pengkhianatan terhadap amanat kenabian.
Mari kita bawa ke realitas Indonesia: lebih dari 60 persen penduduk dewasa mengandalkan media sosial sebagai sumber utama informasi. Tapi mayoritas dari mereka tidak punya kecakapan memverifikasi.
Inilah saat ketika kebodohan bukan hanya terjadi, tapi disponsori. Ketika kezaliman bukan hanya dilakukan, tapi di-like, di-share, dan dijadikan konten.
Jika kita membiarkan ini, kita sedang mencetak generasi Islam yang punya hafalan, tapi tak punya kesadaran; punya akses internet, tapi tak punya integritas.
Tapi jika kita bergerak, kita bisa mengubah arah. Sebab sejarah selalu berpihak pada mereka yang bertindak. Sayyid Quthb menyatakan: “Kata-kata kita akan mati bila tidak kita hidupkan dengan keberanian.” Dan para ulama adalah pewaris para nabi—bukan sekadar dalam ilmu, tapi dalam keberanian.
Bayangkan seorang anak kecil yang terperosok ke dalam lumpur. Ia menangis, tangannya menengadah. Orang-orang dewasa lewat, tapi hanya menonton. Ada yang berkata, “Kasihan.” Ada yang berfoto. Tapi tak ada yang mengangkat.
Itulah kondisi umat hari ini. Mereka jatuh ke lumpur kebingungan, lumpur disinformasi, lumpur gaya hidup palsu. Mereka menangis dalam diam. Tapi para ulama justru berjalan cepat melewati mereka, sibuk dengan seminar, sibuk dengan seremoni.
Kader ulama hari ini harus memutus siklus itu. Jangan warisi kebisuan. Jangan warisi kepasifan.
Di tengah semua ini, kita butuh lebih dari sekadar semangat. Kita butuh strategi. Kita butuh keberanian untuk tampil beda. Kita butuh kerendahan hati untuk belajar dari zaman tanpa kehilangan integritas.
Mahatma Gandhi pernah berkata, “Be the change you wish to see in the world.” Tapi dalam konteks dakwah digital, kita harus lebih jauh: “Be the voice that lights the noise. Jadilah suara yang menerangi kebisingan.” Kita semua tahu, dalam sejarah peradaban, kemenangan bukan milik yang banyak, tapi milik yang benar dan bersungguh-sungguh.
Tugas kader ulama hari ini adalah menjadi mata air di tengah kekeringan akal sehat. Menjadi obor di tengah kabut informasi. Menjadi garda depan di dunia digital yang tak lagi bisa dibendung dengan khutbah semata.
Maka bangkitlah. Bukan hanya karena kita ingin tampil. Tapi karena dunia membutuhkan kita. Karena umat tak boleh dibiarkan tenggelam dalam kekacauan.
Jadilah bagian dari mereka yang menghidupkan zaman, bukan yang hanya mengenang masa lalu. Jadilah pelurus kabar palsu. Jadilah penggugah ghirah. Jadilah pembela adab.
Karena jika bukan kita, siapa lagi? Dan jika bukan sekarang, kapan lagi? []
*Pemantik diskusi pada “Pendidikan Kader Ulama XIX”–MUI Kabupaten Bogor, 26 Juli 2025






