Umar II, Saat Serigala tak Lagi Menerkam Domba
Memang demikian. Umar bin Abdul Aziz wafat akibat diracun oleh seorang saudaranya yang merasa sakit hati. Tersingkir dari berbagai proyek negara, akibat gerakan anti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang diberlakukan Umar.
Oleh : H. Usep Romli HM
Hampir semua buku riwayat hidup Umar bin Abdul Aziz, raja Dinasti Bani Umayyah (717-720 M), selalu menyisipkan kisah tentang gerombolan serigala, hidup damai dengan kelompok kambing, domba dan hewan ternak lain. Saat itu, kedua hewan bermusuhan itu dapat berdampingan mencari makan di padang-padang rumput.Tak ada kambing dan domba diterkam serigala.Tak ada binatang buas membunuh hewan peliharaan.
Konon, kondisi itu merupakan berkah kepemimpinan Umar bn Abdul Aziz yang tegas berwibawa. Adil dan bijaksana. Jauh dari menjaga citra, sekedar membual belaka. Sebagai pemimpin tertinggi negara dan pemerintahan, Umar benar-benar selalu paling depan dalam menegakkan hukum. Menegakkan hak, memberantas kemunkaran. Tanpa pandang bulu. Tidak tebang pilih. Tak peduli dirinya sendiri, keluarga, sanak saudara. Pokoknya setiap pencoleng, penyeleweng, disikat habis.
Ia memegang teguh sabda Rasulullah Saw : “Innana ahlakullohul ladzina min qoblikum annahum idza saroqo fihimusy syarifu tarokuhu, wa idza saroqo fihimudl dloifu aqomu alaihil haddu”. Sesungguhnya kehancuran umat sebelum kamu, karena jika kelompok elit melanggar hukum tak pernah ditindak apa-apa, sedangkan jika orang kecil yang melanggar, hukum diterapkan setegas-tegasnya (hadits sahih riwayat Imam Bukhari).
Ketika menerima amanah sebagai kepala negara, Umar bin Abdul Aziz mengucapkan “innalillahi wa inna ilaihi roji’un”. Kalimat yang biasa dibacakan jika mendapat kematian. Umar menganggap jabatan adalah musibah amat berat. Setara kematian.
Maka dalam menjalankan pemerintah, Umar menampilkan sosok pemimpin “Mujahid fi sabilillah”. Amat konsekuen dan konsisten. Tidak pernah membeda-bedakan perlakuan berdasarkan kepentingan pribadi, kroni, golongan, atau partai.
Dampak positif yang nyata terasa adalah kedamaian dan ketenteraman. Sehingga serigala juga ikut merasa malu untuk memangsa kambing dan domba, karena pemimpin dan pemerintahan negara sudah memberi contoh baik. Akur, saling hormat menghormati, harga menghargai, secara tulus ikhlas. Tak pernah ada pengkhianatan satu sama lain. Tak pernah ada saling lempar kesalahan, saling cari kambing hitam.
Semua bertanggung jawab atas perbuatan masing-masing. Tak perlu mengatakan “tidak tahu”, atau “lupa” terhadap suatu masalah yang menjadi beban garapannya. Umar dan bawahannya, memegang teguh prinsip “ bekerja samalah kalian dalam kebajikan dan takwa” yang diperintahkan Allah SWT, serta menjauhi laranganNya “dan janganlah kalian bersekongkol dalam dosa dan permusuhan” (Q.s.al Maidah : 2).
Suatu hari, seorang penggembala menyaksikan seekor serigala menerkam seekor domba. Ia spontan mengucapkan “innalillahi wa inna ilaihi raji’un” sambil memberitahukan kawan-kawannya, bahwa Umar bin Abdul Aziz telah meninggal dunia. Berarti kewaspadaan menjaga ternak gembalaan harus ditingkatkan, kalau-kalau pengganti Umar kelak “berwatak” serigala. Hanya kuat dan kuasa saja, tanpa disertai rasa kasih sayang terhadap mahluk yang lemah.
Memang demikian. Umar bin Abdul Aziz wafat akibat diracun oleh seorang saudaranya yang merasa sakit hati. Tersingkir dari berbagai proyek negara, akibat gerakan anti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang diberlakukan Umar. Begitu Umar melepaskan nyawa, begitu pula serigala kembali ke fitrah hewaniahnya. Bahkan diikuti oleh sebagian manusia berahlak KKN, yang kembali ke panggung kekuasaan. Memanfaatkan peluang yang dibuka lebar-lebar oleh pengganti-pengganti Umar, hingga Dinasti Umayyah runtuh tahun 750, setelah berjaya sejak tahun 661.
Sejak masa itu,tak ada lagi penguasa yang berpontensi seperti Umar. Mungkin ada yang sedikit mirip. Namun segera tenggelam di telan gelombang zaman dan dekadensi moral. Pemimpin negara dan pemerintahan hanya simbol adminsitrasi saja. Tidak menjadi spirit jiwa bagi rakyat, bangsa dan negara yang dipimpinnya. Hanya karena simbol belaka, maka kenyataan yang berlaku adalah kekuasaan yang timpang.
Kekayaan melindas kemiskinan. Kebusukan merebak di mana-mana. Persekongkolan jahat sudah menjadi kebiasan. Dusta, tipu, ingkat janji, sudah menjadi pekerjaan sehari-hari. Pembunuhan merajalela.Bukan hanya antara hewan pemakan menjagal hewan makanan. Melainkan antara sesama manusia.
Bahkan sesama tetangga, sesama saudara sedarah seagama, saling aniaya saling mencabut nyawa. Di mana saja. Di sebarang tempat. Termasuk di rumah sakit yang menurut konvensi internasional, merupakan tempat steril dari kekejaman. Tapi sekarang, pasien atau penjenguk di RS, masih juga dapat menjadi bulan-bulanan penjahat, mulai dari pencurian hingga pembunuhan, sebagaimana sering diberitakan akhir-akhir ini.
Tanah, air, gunung, jembatan, kendaraan, ikut juga ke arena permusuhan. Menelan korban jiwa manusia entah dengan cara bagaimana. Seolah-olah ingin mempertegas keangkaraan nafsu para elit bangsa dan negara yang terus-menerus saling mendiskreditkan dengan berbagai kasus. Atau saling bersembunyi di balik selembar ilalang. Disaksikan telanjang oleh semua orang, yang dianggap bodoh dan mudah dibodohi, ditipu dengan kiat-kiat jitu secara menyebalkan.
Mungkin karena dalam menerima kekuasaan, berbeda jauh dengan Umar, yang menolak keras, dan ketika terpaksa, mengucapkan “istirja” ibarat orang menderita kematian. Sekarang, kekuasaan dicari. Tak usah lagi dipaksa. Tak mustahil memaksa, melalui taktik tipu daya dan rekayasa. Jika sudah berhasil, bukan “eling lan waspada”. Malah pesta-pora merayakan keterkabulan cita-cita.
Sosok Umar bin Abdul Aziz, mungkin sudah tidak lagi diidolakan. Dianggap kadaluwarsa dan mengada-ada. Khayalan maya. Apalagi jika sampai meredam syahwat serigala untuk tidak menerkam domba. Yang berlaku sekarang, adalah menjadi serigala untuk memperoleh sebanyak-banyak domba, bagaimanapun caranya. [ ]
Sumber :”Abqariyah Umar bin Abdul Aziz” Dr. Mustafa Mahmud (1980)