SolilokuiVeritas

Undang-undang Perampasan Aset: Antara Keadilan Kolektif dan Keadilan Individual

Hannah Arendt, dalam “Eichmann in Jerusalem”, menyebut banalitas kejahatan: bagaimana kejahatan besar bisa terasa wajar karena dilakukan dalam rutinitas. Seorang birokrat menandatangani dokumen, seorang pejabat menyalurkan dana, seorang istri membelanjakan hasil korupsi untuk perhiasan. Tak ada darah di tangan mereka, tapi ada luka di tubuh republik. Di sini, simpati kepada keluarga bisa menjadi semacam “banalitas belas kasih.” Kita melihat istri yang kehilangan rumah, anak yang kehilangan sekolah, lalu melupakan jutaan anak lain yang tak pernah mendapat sekolah karena uang negara dicuri.

Oleh     : Radhar Tribaskoro

JERNIH– Prabowo Subianto pernah berkata: “Enak aja udah nyolong gak mau kembalikan aset, gue tarik ajalah itu.” Kalimat yang tegas, lugas, dan tanpa kompromi. Tapi di sisi lain, ia juga menambahkan: jangan sampai perampasan aset itu memiskinkan anak dan istri koruptor, bila harta itu diperoleh sebelum tindak pidana, atau tak terkait dengan hasil kejahatan.

Dua pernyataan itu seperti dua ujung mata pisau: yang satu menyayat kerak rakus para pencuri uang negara, yang lain mengingatkan kita pada wajah-wajah tak berdosa yang tiba-tiba ikut terbakar dalam api penghukuman.

Korupsi di Indonesia bukan sekadar angka kerugian negara, melainkan tragedi publik. Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), misalnya, di mana triliunan rupiah dana talangan bank raib tanpa jelas pengembaliannya. Negara, demi “menyelamatkan sistem keuangan,” justru menanggung beban. Puluhan tahun berlalu, rakyat masih membayar bunga utang yang lahir dari skandal itu. Di kasus lain seperti Jiwasraya, nasabah kecil kehilangan tabungan masa depan. Korupsi di Kementerian Sosial menelan anggaran bantuan sosial yang mestinya untuk orang miskin di masa pandemi.

Dalam setiap kasus itu, pertanyaan Prabowo menggema: apakah adil bila anak-anak para koruptor ikut menderita karena aset keluarga mereka dirampas? Tapi jawabannya berlapis. Karena seringkali keluarga bukanlah korban, melainkan turut menikmati.

Hannah Arendt, dalam “Eichmann in Jerusalem”, menyebut banalitas kejahatan: bagaimana kejahatan besar bisa terasa wajar karena dilakukan dalam rutinitas. Seorang birokrat menandatangani dokumen, seorang pejabat menyalurkan dana, seorang istri membelanjakan hasil korupsi untuk perhiasan. Tak ada darah di tangan mereka, tapi ada luka di tubuh republik.

Di sini, simpati kepada keluarga bisa menjadi semacam “banalitas belas kasih.” Kita melihat istri yang kehilangan rumah, anak yang kehilangan sekolah, lalu melupakan jutaan anak lain yang tak pernah mendapat sekolah karena uang negara dicuri.

Prabowo mungkin ingin menegakkan prinsip bahwa tanggung jawab bersifat individual. Kant menegaskan: hukum moral berlaku hanya pada individu yang memiliki kehendak bebas. Anak tidak bisa dihukum karena dosa ayahnya. Dari sisi ini, ia benar.

Tapi Indonesia Corruption Watch (ICW) mengingatkan: dalam banyak kasus, keluarga bukanlah pihak yang “tak tahu apa-apa.” Mereka justru enabler. Anak pejabat menjadi pemilikg perusahaan cangkang. Istri pejabat tiba-tiba jadi komisaris. Rumah mewah, apartemen, mobil sport, dan rekening di luar negeri—semuanya jarang tak diketahui oleh keluarga.

Maka problemnya bukan sekadar: apakah keluarga bersalah atau tidak? Tetapi: apakah kita berani menyelidiki keterlibatan keluarga sejauh itu?

John Rawls memberi instrumenh imajiner: veil of ignorance—bayangkan kita tak tahu akan lahir sebagai anak koruptor atau anak rakyat miskin korban korupsi. Dari posisi itu, mana yang lebih adil? Menyelamatkan harta anak koruptor, atau memulihkan keadilan bagi jutaan anak miskin?

Di bawah tirai ketidaktahuan itu, jawabannya jelas: negara harus membela kolektif. Karena risiko terbesar dari korupsi bukanlah penderitaan anak seorang koruptor, melainkan penderitaan kolektif anak-anak bangsa yang kehilangan masa depan.

Kita bisa lihat pada kasus Nazaruddin. Istrinya, Neneng Sri Wahyuni, ikut menjadi tersangka. Atau kasus Setya Novanto, di mana keluarganya memiliki perusahaan yang ikut menikmati proyek E-KTP. Di kasus Bansos Juliari Batubara, barang bukti mengalir dalam bentuk uang tunai, barang mewah, hingga kendaraan yang tak mungkin tidak disentuh oleh keluarga.

Dalam semua itu, keluarga sulit disebut “tak tahu.” Simpati yang salah alamat justru membuka ruang moral hazard. Korupsi bisa menjadi “warisan keluarga”: pejabat mencuri, lalu cepat-cepat mengalihkan aset ke nama anak atau istri. Begitu perampasan aset dimulai, mereka tinggal berkata: “ini bukan hasil korupsi, ini harta keluarga.”

Cicero pernah menulis: salus populi suprema lex esto—keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Artinya, bila harus memilih antara melindungi individu atau kolektif, negara wajib memihak kolektif. Aristoteles pun membedakan: keadilan korektif menuntut agar segala kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan dipulihkan kepada korban. Dan korban korupsi bukanlah segelintir orang, melainkan seluruh bangsa.

Karena itu, RUU Perampasan Aset seharusnya berfungsi sebagai instrumen keadilan korektif. Aset apa pun yang terbukti hasil korupsi harus dikembalikan. Bukan sekadar menghukum pelaku, melainkan memulihkan keseimbangan yang dirusak.

Kesulitan terbesar di Indonesia justru bukan pada konsep, melainkan pada pelaksanaan. Koruptor besar kerap lolos karena hukum lebih pandai menyasar ikan kecil. Ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih kuat, kita sempat melihat sedikit harapan. Tapi belakangan, dengan revisi UU KPK dan pelemahan sistem, kita kembali ke titik di mana belas kasih lebih sering diberikan kepada pelaku ketimbang kepada rakyat yang kehilangan.

Prabowo berdiri di persimpangan itu. Ia bisa menekankan simpati kepada keluarga, atau menegakkan keadilan bagi rakyat. Pilihannya akan menentukan wajah demokrasi dan keadilan hukum di masa pemerintahannya.

Bung Hatta, bapak bangsa yang bersih dari noda korupsi, pernah berkata: “Korupsi adalah musuh utama negara. Ia bukan saja merugikan keuangan negara, tapi juga merusak moral bangsa.” Hatta menegaskan bahwa korupsi bukan soal individu, melainkan penyakit kolektif yang menggerogoti republik.

Gus Dur pun pernah mengingatkan dengan nada khasnya: “Korupsi itu bukan hanya soal hukum, tapi soal keadilan. Kalau uang negara dicuri, yang miskin makin miskin, yang kaya makin kaya.” Dalam pandangan Gus Dur, memaafkan koruptor atau membiarkan hartanya terselamatkan sama saja dengan menutup mata terhadap ketidakadilan yang ditanggung jutaan rakyat kecil.

Simpati adalah sikap manusiawi. Tapi negara bukanlah panti belas kasih. Negara adalah institusi keadilan.

Anak-anak mungkin tidak menanggung dosa ayahnya. Tapi anak-anak bangsa seluruhnya menanggung derita dari uang sekolah, obat, dan beras yang dicuri.

Di akhir, kita tahu: membela kolektif jauh lebih utama daripada berbelas kasih pada individu. Karena masa depan republik tidak dibangun di atas simpati pada keluarga koruptor, tetapi di atas keadilan bagi rakyat yang telah lama diperas dan dikhianati. [ ]

Check Also
Close
Back to top button