Solilokui

Urgensi Tawadhu Dalam Dakwah

Ketawadhuan dalam dakwah hendaknya bermula dari karakter sang dai yang mengakui ketidak sempurnaan dan ragam kekurangan dalam berislam. Bahwa Islam itu dalam keyakinan kita sempurna. Tapi manusia yang berusaha mengikutinya, termasuk mereka yang di jalan dakwah ini–para dai–jauh dari kesempurnaan.

Oleh  :  Imam Shamsi Ali*

JERNIH–Seringkali kata tawadhu dimaknai dengan ketidakinginan tampil atau menampakkan diri dan karya dalam kebaikan. Padahal tampaknya atau tampilnya seseorang dalam kebaikan dan karya tidaklah selalu bermakna keangkuhan. Tidak juga selalu bermakna dan dimaknai sebagai riya (show off).

Shamsi Ali

Dalam kebaikan dan karya dua kata sensitif (angkuh dan riya) itu perlu diselami, dihayati, dan disikapi secara jeli dalam penghakiman. Jika tidak, kemungkinan besar kita akan terjatuh ke dalam perilaku keangkuhan (dan riya). Atau sebaliknya terperangkap dalam “penghakiman negatif” terhadap orang lain yang justru sedang membangun kebaikan dan karya.

Karakter terbalik dari angkuh dan riya adalah tawadhu dan ikhlas. Keduanya adalah dua karakter manusia yang bernilai tinggi (valuable) dan mulia (noble). Walau memang sering menjadi tipuan yang tidak disadari dalam kehidupan manusia. Masalahnya ada pada “perasaan”. Orang yang merasa paling tawadhu justru itu sudah merupakan keangkuhan. Atau seseorang merasa ikhlas justru bisa jadi bagian dari riya.

Masalahnya memang perasaan manusia itu sering menipu. Merasa tawadhu, merasa ikhlas, merasa pintar, merasa hebat, merasa mampu, merasa kuat, dan berbagai perasaan telah banyak menipu manusia. Dan karenanya Sesungguhnya yang terbaik dalam menyikapi semua itu adalah biarkanlah Dia Yang Ahkamul Hakimin (Allah) menghakimi. Karena Dia lebih tahu tentang diri kita dari kita sendiri.

Tawadhu dalam dakwah

Salah satu hal yang menuntut sikap dan karakter tawadhu (pastinya ikhlas) adalah kerja-kerja dakwah yang kita lakukan. Hal itu penting karena secara prinsip Dakwah itu adalah ajakan kepada nilai (ilaa sabiili Allah). Dan tawadhu adalah salah satu nilai terpenting dalam hidup manusia. Sehingga ajakan kepada nilai mulia (dakwah) tapi tidak bernilai mulia (berkarakter) adalah self paradox (kontras pada dirinya).

Ketawadhuan dalam dakwah hendaknya bermula dari karakter sang dai yang mengakui ketidak sempurnaan dan ragam kekurangan dalam berislam. Bahwa Islam itu dalam keyakinan kita sempurna. Tapi manusia yang berusaha mengikutinya, termasuk mereka yang di jalan dakwah ini–para dai–jauh dari kesempurnaan.

Kesadaran akan kekurangan kita dalam berislam itu menjadi motivasi untuk kita bermujahadah lagi dalam menambah kualitas keislaman itu. Yang dengannya akan menjadi jalan untuk meningkatnya kualitas dakwah. Karena memang kualitas dakwah itu ada pada keteladanan dalam berislam itu sendiri.

Sebaliknya bahaya dan malapetaka terbesar dalam dakwah ada pada karakter dai yang angkuh. Merasa sempurna, merasa mampu, merasa superman. Mungkin ini pulalah salah satu makna ketika Rasulullah SAW justru diperintah meminta istigfar di akhir hayatnya. Setelah kesuksesan dakwah beliau justru diperintah meminta ampun (lihat Surah An-Nasr).

Tawadhu dalam dakwah juga ada pada bagaimana melihat obyek dakwah itu sendiri. Bahwa siapa pun dan bagaimana pun keadaannya semua orang memiliki sisi kebaikan dalam dirinya. Bahwa pada manusia itu ada jati diri yang paling mendasar yang tidak akan berubah. Itulah fitrah manusia.

Maka dai yang tawadhu akan melihat semua orang dengan pandangan positif. Tidak menghakimi siapa pun karena apa pun dan bagaimana pun keadaannya. Tentu hal ini juga berarti bahwa dai yang tawadhu akan selalu memandang obyek dakwah dengan mata positif.

Ada sebuah pepatah terkenal yang mengatakan: “nahnu du’aatun, lasna qudhootun” (kita adalah du’at dan bukan qadhi atau hakim).

Ketawadhuan pada sisi ini (memandang obyek dakwah dengan mata positif) Sesungguhnya menjadi peringatan kepada Rasulullah SAW berkali-kali dalam Al-Quran. Satu contoh di antaranya ketika Allah berfiman: “Sesungguhnya engkau tidak mampu memberikan hidayah kepada siapa yang engkau cintai. Tapi Allah memberikan hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki”.

Ayat ini dan banyak lagi ayat lain Al-Quran menggambarkan bahwa konsep hidayah dalam dakwah itu ada di tangan Allah. Ini sekaligus bermakna bahwa kemungkinan untuk seseorang mendapat hidayah itu selalu ada.

Maka di satu sisi seorang dai akan positif dalam melihat obyek dakwah (orang yang didakwahi). Di sisi lain pandangan ini akan menjadikannya optimistik dalam menjalankan amanah dakwahnya.

Ketawadhuan (pandangan positif) kepada obyek Dakwah juga menyadarkan kita bahwa Dakwah itu tidak pernah, dan pastinya dilarang agama, untuk memaksakan Dakwah kepada orang lain. “Tiada pemaksaan dalam agama” (Al-Baqarah 256) adalah ayat yang sangat masyhur.

Pada akhirnya poin yang ingin saya sampaikan adalah biarkanlah perjuangan dakwah itu mengalir bagaikan air sejuk. Mengalir secara alami tanpa perasaan hebat (angkuh atau riya). Tapi juga mengalir sesuai ajaran dan ridho Allah. Dijalankan dengan mata positif, baik kepada obyek dakwah, terlebih lagi kepada “hidayah” yang memang ketentuannya ada di tangan Pencipta hamba-hambaNya.

Semoga Allah menjaga hati kita, dan menjaga kita selalu di jalanNya. Aamiin. [  ]

NYC, 28 September 2021

* Presiden Nusantara Foundation

Back to top button