SolilokuiVeritas

Video Pejabat dan Tanggung Jawab Konten

Video menjadi media paling ampuh para pejabat untuk memebentuk citra. Hal apapun yang menguntungkan disulap jadi tema dan latar. Sampai mereka lupa bahwa prinsip-prinsip pembuatan konten mereka lupakan. Bahkan malah memunculkan kekuasaan baru.

JERNIH – Beberapa detik video bisa mengguncang opini publik lebih cepat daripada seribu kata berita. Begitulah dinamika komunikasi di era digital kini: cepat, visual, emosional — dan sering kali tak terduga.

Kasus yang melibatkan Dedi Mulyadi (KDM) dengan isu air mineral merek AQUA adalah contoh nyata bagaimana komunikasi massa berbasis video bisa meleset dari maksud semula dan berubah menjadi badai persepsi yang sulit dikendalikan.

Dedi Mulyadi bukan pejabat pertama yang memanfaatkan media sosial untuk berbicara langsung kepada masyarakat. Ia memahami bahwa video lebih efektif menjangkau publik ketimbang pidato formal atau siaran pers. Melalui konten video, ia bisa tampil lebih hangat, dekat, dan “manusiawi”.

Namun, kehangatan itu bisa berubah jadi panas ketika pesan kehilangan konteks. Dalam salah satu unggahan videonya, Dedi membahas kondisi air yang diproduksi AQUA — dalam konteks yang dianggap oleh sebagian penonton sebagai kritik atau tuduhan. Tanpa klarifikasi segera, narasi itu menyebar luas, memicu reaksi publik dan perusahaan terkait.

Dalam hitungan jam, media sosial penuh dengan interpretasi: ada yang mendukung, ada yang mengecam, dan sebagian besar — kebingungan.

Pejabat publik kini tak lagi bergantung pada media konvensional. Mereka bisa langsung berbicara ke jutaan orang lewat kamera ponsel — lebih cepat, lebih personal, lebih bebas.

Video memberi kesan kedekatan: pejabat tidak lagi berada di balik podium, tapi di tengah masyarakat. Namun, di balik kekuatan itu, ada risiko besar. Video tak sekadar merekam kata-kata, tetapi juga ekspresi, nada, dan gestur. Satu kalimat bisa diartikan macam-macam tergantung siapa yang menonton dan dalam konteks apa.

Di sinilah sering muncul framing problem — bagaimana pesan dikemas dan akhirnya ditafsirkan secara berbeda-beda oleh publik.

Dalam kasus Dedi Mulyadi, niatnya kemungkinan sederhana: mengingatkan publik tentang kualitas air dan tanggung jawab perusahaan besar terhadap lingkungan. Tapi begitu nama merek disebut, isu pun bergeser.

Fokus publik tak lagi pada air, melainkan pada dugaan “serangan” terhadap merek tertentu. Inilah yang disebut para ahli komunikasi sebagai “agenda setting” — media (atau dalam hal ini, pembuat konten) bisa mengarahkan perhatian publik ke satu topik, meski tidak bermaksud mengendalikan opini.

Namun di media sosial, batas antara “mengangkat isu” dan “membentuk persepsi” sangat tipis. Dalam dunia yang viral, konteks sering tertinggal jauh di belakang klik dan komentar.

Fenomena ini bisa dijelaskan melalui teori komunikasi massa klasik, terutama Agenda Setting dan Framing Theory. Agenda Setting (McCombs & Shaw, 1972) menjelaskan bahwa media tidak mengatakan kepada kita apa yang harus kita pikirkan, tetapi apa yang harus kita pikirkan tentang sesuatu. Dengan menyebut satu merek dalam narasinya, Dedi sebenarnya mengarahkan perhatian publik pada topik “air bermasalah”, meskipun niatnya mungkin hanya edukatif. Tapi begitu nama merek disebut, fokus publik berpindah dari “isu lingkungan” menjadi “tuduhan terhadap merek tertentu”.

Sementara Framing Theory (Entman, 1993) membantu kita memahami bagaimana cara mengemas pesan memengaruhi maknanya. Dalam video Dedi, ekspresi wajah, nada bicara, bahkan latar visual, semua ikut membentuk “bingkai makna”. Ketika bingkai itu terbuka untuk banyak tafsir, publik bebas mengisi celahnya — dan di situlah misinformasi lahir.

Di era media sosial, video bukan lagi sekadar alat komunikasi, melainkan bentuk kekuasaan baru. Video mengumpulkan orang-orang yang pro dan mendukung mati-matian, mereka yang kemudian kelak mudah dikendalikan lewat kekuasaan.

Seorang pejabat yang berbicara lewat video tidak hanya menyampaikan pesan, tetapi juga menciptakan realitas bagi jutaan penonton. Setiap detik gambar memiliki daya untuk memengaruhi persepsi publik, menyalakan emosi, atau menumbuhkan kepercayaan.

Namun, kekuatan itu datang dengan tanggung jawab besar. Sekali video diunggah, pesan tak lagi milik pengunggah. Ia menjadi milik publik — bebas ditafsirkan, dipotong, diunggah ulang, bahkan dipelintir. Dalam ruang digital, niat baik pun bisa berubah menjadi bumerang.

Ada beberapa prinsip yang seharusnya menjadi pegangan bagi pejabat publik dalam membuat konten komunikasi massa:

Check and Balance

Setiap informasi yang akan disampaikan perlu diverifikasi — terutama jika menyangkut data publik, kesehatan, atau merek dagang. Verifikasi bukan hanya tanggung jawab jurnalis, tetapi juga pejabat publik yang punya akses langsung ke masyarakat.

Sebuah konten seharusnya menghadirkan pihak yang memiliki kewenangan dan kompetensi. Sehingga tidak satu tafsir di sisi pejabat publik.

Transparansi Konteks

Jika pesan bersifat edukatif, sampaikan dengan konteks yang jelas: dari mana data diperoleh, siapa yang berwenang, dan apa tujuan pembahasan. Tanpa konteks, publik akan mengisi kekosongan dengan prasangka.

Seorang pejabat publik belum tentu paham semua hal. Oleh sebab itu, muatan ucapannya dapat menimbulkan multipemahaman yang bisa merugikan pihak lain.

Etika Visual dan Verbal

Video memiliki kekuatan emosional yang besar. Karena itu, ekspresi, intonasi, dan pemilihan kata harus hati-hati. Apa yang terlihat ringan bagi pembuatnya, bisa dianggap serius oleh penonton.

Klarifikasi Cepat dan Terbuka

Dalam ekosistem digital, waktu adalah segalanya. Klarifikasi yang datang terlambat sama dengan membiarkan rumor berkembang biak.

Ketika video para pejabat viral, narasi mulai bercabang. Ada yang menyebarkan potongan video tanpa konteks, ada pula yang membuat asumsi sendiri. Inilah gejala umum di era digital: misinformasi tak selalu muncul karena niat jahat, tapi karena kecepatan mengalahkan ketelitian.

Masalahnya, publik jarang punya waktu untuk memeriksa ulang. Begitu video tersebar, persepsi terbentuk — dan sulit diubah, meskipun klarifikasi sudah datang. Dalam dunia algoritmik, yang paling cepat bukan selalu yang paling benar.

Maka, tidak bisa video konten pejabat diunggah begitu saja tanpa prinsip-prinsip tertentu. Jika merugikan pihak lain, jangan heran bila kemudian berakhir di meja hijau.(*)

BACA JUGA: Menagih Konsistensi Dedi Mulyadi Mengubah Wajah Bank BJB

Back to top button