Visi Spiritualitas
Dalam usaha transformasi diri dan kehidupan kolektif, kita harus bisa melihat kebenaran dan kenyataan dari sisi terdalam jiwa manusia, dengan memperkuat kapasitas intuitif–yang berkaitan dengan kemampuan nurani untuk mengakses sumber kesadaran dan intensi di kedalaman batin (nous).
Oleh : Yudi Latif
JERNIH– Saudaraku, untuk bisa keluar dari kelam krisis menuju jalan cahaya diperlukan penyingkapan kabut penghalang. Kita tak bisa menerobosnya hanya berbekal galib penglihatan dengan mengunduh kebiasaan pengalaman. Butuh mata spiritualitas yang dapat menembus tabir gelap.
Inti daya spiritualitas adalah kemampuan mengenali diri dan menyatukannya dengan yang Ilahi, insani dan alami, yang membersitkan intensi memenuhi panggilan moral purpose.
Mengenali jatidiri sangat esensial karena aspek paling mendalam dan diabaikan orang dalam melihat kebenaran dan kenyataan adalah kemampuan kita untuk mengakses “titik tak terlihat” dalam diri sebagai sumber kesadaran, perhatian dan kehendak.
Ibarat saat orang melihat lukisan. Banyak orang bisa memperhatikan produk (objek) lukisan. Orang bisa juga memperhatikan proses lukisan itu dibuat. Tapi, banyak orang tak dapat membayangkan saat seniman berdiri di depan kanvas putih sebagai sumber awal perhatian, kehendak dan imajinasi penciptaan.
Dalam usaha transformasi diri dan kehidupan kolektif, kita harus bisa melihat kebenaran dan kenyataan dari sisi terdalam jiwa manusia, dengan memperkuat kapasitas intuitif–yang berkaitan dengan kemampuan nurani untuk mengakses sumber kesadaran dan intensi di kedalaman batin (nous).
Pada tahap ini, kita tak dapat mengekspresikan pengalaman kita dalam kata-kata. Kita menyatu dengan diri dan semesta raya. Segala sesuatu seakan bergerak lambat. Kita merasakan kesunyian seraya hadir dan mengalir (flow) saat ini dalam sejatinya kedirian. Kita terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.
Dengan membiarkan kedirian mengalir dalam kekinian, kita bergerak dari aliran masa lalu dan terhubung dengan arus kehadiran kebaruan. Dengan demikian kita bisa mengaktifkan kemampuan generative listening, yang sanggup mendengar dan belajar memahami masa depan.
Dengan mengalami hal itu, kita bisa mengatasi kecemasan dan ketakutan seraya bersedia mengucapakan “selamat tinggal” terhadap kebiasaan dan pengetahuan masa lalu; dan “selamat datang” bagi pengetahuan, kebenaran, dan kesadaran baru. Inilah momen keterbukaan kehendak.
Dengan mengolah kecerdasan spiritual ini, kita bisa mendengar dan melihat hal-hal yang tak tampak di permukaan, sehingga dapat menggagas visi masa depan. [ ]