Abdul Shamad Al-Palimbani, Sufi Wong Kito yang Mengambil Jalan Tengah
Selama di Haramain, Abdul Shamad terlibat dalam komunitas Kawi (komunitas orang Indonesia di Arab), dan menjadi kawan seperguruan Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahab Bugis, Abdurrahman Al-Batawi, dan Daud Al-Fatani. Keterlibatannya dengan komunitas Jawi membuat tanggap terhadap perkembangan sosio-religius dan politik Nusantara.
JERNIH—Pada abad ke-17 dan 18, Palembang terkenal sebagai pusat maritim dan bandar yang banyak disinggahi para pedagang. Kejayaan kota ini sebagai jalur lalu lintas internasional saat itu diikuti dengan tingginya mobilitas anak negeri, termasuk dalam menuntut ilmu. Dalam perkembangan tasawuf, salah satu putra Palembang yang namanya sangat harum adalah Abdul Shamad Al-Palimbani.
Abdul Shamad adalah ulama Palembang paling menonjol, terutama karena karya-karyanya yang dikenal luas di Nusantara. Nama lengkapnya adalah Abdul Shamad bin Abdullah Al-Jawi Al-Palimbani. Dilahirkan pada 1704 M/1116 H di Palembang. Ayahnya seorang Sayyid, sedang ibunya seorang wanita Palembang asli. Sang ayah berasal dari Sana’a, Yaman, bernama Syekh Abdul Jalil bin Abdul Wahab, dan sering melakukan perjalanan ke India dan Jawa, sebelum menetap di Kedah, Malaysia.
Selanjutnya sang ayah ditunjuk menjadi Kadi kesultanan Kedah. Sekitar tahun 1700 dia pergi ke Palembang, menikah dengan wanita setempat dan kembali ke Kedah dengan putranya yang baru lahir, yang Abdul Shamad. Pendidikan awalnya dijalani di Madrasah di Kedah.
Meskipun Abdul Shamad banyak menghabiskan hidupnya di Haramain, dia tetap selalu mempunyai hubungan yang baik dengan Nusantara. Beliau meninggal pada tahun 1789 dalam usia 85 tahun setelah menyelesaikan karya yang terakhir dan paling masyhur, “Sayr al-Salikin”. Selama di Haramain, ia terlibat dalam komunitas Kawi (komunitas orang Indonesia di Arab), dan menjadi kawan seperguruan Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahab Bugis, Abdurrahman Al-Batawi, dan Daud Al-Fatani. Keterlibatannya dengan komunitas Jawi membuat tanggap terhadap perkembangan sosio-religius dan politik Nusantara.
Kelihatannya Abdul Shamad baru menghasilkan karya pada usia 60 tahun. Banyak bukunya yang berbicara tentang iman dan tasawuf. Dalam karya-karyanya ia tidak hanya menyebarkan ajaran neosufi, tapi juga mengimbau kaum Muslimin untuk melancarkan jihad melawan penjajahan orang Eropa.
Guru Abdul Shamad antara lain Muhammad Murad Al-Muradi, Muhammad bin Ahmad Al-Jauhari atau Al-Mishri, juga Athaillah. Abdul Shamad mempelajari ilmu-ilmu fiqh, hadits tafsir, syariah, kalam, dan tasawuf.
Kecenderungannya sangat kuat terhadap mistisisme. Dia mempelajari tasawuf terutama kepada Syekh Samman dan memperoleh ijazah tarikat Sammaniyah. Ia belajar kepada Syekh Samman selama lima tahun di Madinah. Selama belajar dia juga menjadi asistendan mengajar murid-murid Syekh Samman yang lain, terutama orang asli Arab.
Melalui Abdul Shamad, tarekat Sammaniyah menyebar ke seluruh Nusantara, terutama di daerah kelahirannya, Palembang. Karya tulis Abdul Shamad berjumlah delapan buah, empat berupa manuskrip, dan dua buah hanya diketahui namanya, dua buah diantaranya berbahasa Melayu, diantaranya “Ratib As-Shamad”, tentang Ratib dan Dzikir, lalu hidayat “As-Salikin fi Suluk Maslak al-Muttaqin” dan “Sair as-Salikin ila ibadat Rabb al-Amin.”
Sufisme jalan tengah
Dalam bukunya, “Hidayat as-Salikin”, disajikan ajaran-ajaran para sufi lain dari bermacam-macam sumber, termasuk ajaran Wahdatul Wujud dari Ibnu Arabi. Dari penyajiannya itu terlihat, ia mempunyai pandangan bahwa tasawuf Al-Ghazali dan tasawuf Ibnu Arabi merupakan dua aliran tasawuf yang saling melengkapi.
Seperti diketahui, bahwa tasawuf Al-Ghazali memusatkan perhatian pada upaya pencapaian ma’rifat, mengenal Allah secara langsung tanpa hijab, melalui penyucian hati dan penghayatan akidah menurut ajaran syariat Islam. Sedangkan tasawuf Ibnu Arabi memusatkan perhatian pada pembahasan metafisika ketuhanan yang bertumpu pada ide dasar bahwa wujud hakiki hanya satu, yaitu Allah, dan alam semesta yang serba ganda bukanlah wujud hakiki, melainkan bayang-bayang-Nya.
Saling melengkapi di atas lebih kurang mengandung arti bahwa, untuk mencapai ma’rifat, orang perlu mengamalkan tasawuf Al-Ghazali, sedang Allah yang dikenal dalam ma’rifat itu tidak lain dari Allah seperti paham Wahdatul Wujud Ibnu Arabi (Manunggaling Kawula-Gusti), bersatunya Makhluk dan Khalik.
Dalam konsep Abdul Shamad yang memadukan kedua konsep tasawuf tersebut, terlihat betapa ia berusaha mengambil jalan tengah untuk dua hal yang oleh para sufi sering dianggap tidak bisa disandingkan. Sikap moderat ini merupakan bukti betapa Abdul Shamad lebih mengedepankan toleransi yang bermula dari ketinggian akhlaknya.
Dalam bukunya, ia juga menyajikan ajaran-ajaran Tarikat Khalwatiyah Sammaniyah, yang menempatkan guru tarekat bukan saja sebagai pembimbing kerohanian, tetapi bahkan sebagai perantara yang harus dilalui muridnya yang ingin mengenal Tuhan secara langsung. Tarikat Sammaniyah merupakan ajaran berbagai tarekat yang diracik oleh Syekh Amman dengan memadukan teknik-teknik zikir, bacaan-bacaan lain dan ajaran mistis.
Ratib Samman
Di kalangan masyarakat Tarikat Sammaniyah sangat dikenal ritus pembacaan Ratib Samman. Ratib tersebut sangat populer di nusantara, termasuk di daerah perkotaan, seperti Bekasi, Jakarta, Depok, dan Bogor. Biasanya mereka melakukan pembacaan Ratib selama enam hingga tujuh jam.
Meski ritus ini harus dipimpin oleh salik, murid tarikat yang telah mendapat baiat, orang yang ikut dalam pembacaan ini bisa saja berasal dari luar anggota tarikat. Mereka membuat sebuah lingkaran yang mengelilingi pemimpin dan para pengikutnya, menyanyikan zikir serta mempertunjukkan berbagai sikap tubuh dan gerakan dengan cara seperti yang ditunjukkan pemimpinnya.
Praktik zikir dalam Tarikat Sammaniyah terdiri dari “Dzikir Nafi Itsbat”, “Dzikir Ismal Jalalah”, “Dzikir Ism al Isyarah”, dan dzikir khusus. Zikir Nafi Itsbat dilakukan dengan membaca La ilah Illa Allah. Kata La ilaha bermakna nafi atau meniadakan. Sementara kata iIla Allah bermakna itsbat atau penegasan, yang merupakan satu-satunya yang abadi.
Dzikir Nafi Itsbat biasanya diberikan kepada murid yang berada pada tingkat permulaan. Biasanya mereka latihan berzikir nafi Itsbat sebanyak 100 kali setiap hari. Namun bisa ditambah 300 kali setiap hari apabila tingkat atau maqamnya sudah lebih tinggi.
Zikir Ism al Jalalah, dengan membaca Allah, Allah. Zikir ini biasanya diajarkan kepada murid yang telah mencapai tingkat khusus, dan dibaca 40, 100, atau 300 kali sehari.
Zikir Ism al Isyarah diberikan kepada murid yang telah mencapai tingkat tinggi atau yang sudah menjadi menjadi mursyid. Jumlah zikirnya antara 100 hingga 700 kali setiap hari.
Zikir khusus hanya diberikan kepada murid yang telah menjadi mursyid dan telah mencapai maqam tertinggi karena ma’rifatullah. Tarikat Sammaniyah mempunyai aturan atau tata cara berzikir dan lafadz yang khas. Sebelum berzikir, ada lima adab yang harus dilakukan, yaitu bertobat dari segala dosa, berwudu atau mandi jika junub, diam, tidak berbicara, kecuali berzikir, berdoa kepada Allah SWT, dan ketika masuk ke dalam zikir dibimbing oleh mursyidnya. [ ]