Spiritus

Catatan Menjelang Buka (23) : Bunyi

Jika puasa kita definisikan sebagai menahan lapar, dengan sendirinya puasa adalah menahan bunyi. Upaya menahan bunyi adalah ikhtiar untuk selalu berada di dalam sunyi. Walhasil, shaum adalah sunyi. Tepatnya, Sunyi (dalam S kapital). Shaum adalah sebuah jeda di antara kata ke kata, di antara bunyi ke bunyi.

Oleh  : Acep Iwan Saidi*

JERNIH–  Hari ke-23, menjelang magrib, apakah perutmu berbunyi? Jika perut sudah bunyi, itu tandanya kamu sudah sangat lapar. Dengan kata lain, bunyi perut maknanya lapar.

Acep Iwan Saidi

Begitulah memang sifat dan fungsi bunyi. Ia menciptakan sekaligus membedakan makna. Dalam linguistik struktural, Ferdinand de Saussure  bahkan mengatakan bahwa bahasa tidak lain adalah citra akustik, imaji bunyi.

Pertanyaannya, kapan bunyi itu hadir? Apakah ia Ada (being) begitu saja? Apakah ia muncul sendiri? Tidak. Bunyi hadir karena ada pasangannya, yaitu sunyi. Dengan kata lain, bunyi diniscayakan oleh sunyi. Tapi, bunyi tidak meniscayakan sunyi. Sunyi akan tetap ada meskipun tidak ada bunyi. Mengapa? Sebab sunyi itu substansi, sedangkan bunyi adalah bentuk. Dalam semiotika, sunyi adalah referen dari bunyi.

Suara sendok, garpu, dan piring yang berada saat kita berbuka puasa sebentar lagi atau ketika sahur esok hari, tentu itu adalah bunyi. Lantas, apa rujukan dari bunyi-bunyian yang timbul dari aktivitas berbuka dan sahur tadi?  Ia adalah sunyi, yakni sesuatu yang tidak terindera oleh pendengaran fisik. Ia berdiam dalam relung, yakni iman. Hanya mereka yang beriman yang ikhlas mengubah jam biologis, yakni mendorong waktu makan siang ke petang dan menarik makan pagi ke dini hari. Shaum memang ada pada tataran keislaman (rukun Islam), tapi pelaksanaan ibadah ini, tentu saja, berdasar pada keyakinan Adanya Allah. Jadi, barangsiapa tidak shaum (tanpa alasan yang menggugurkan kewajibannya), ia bukan hanya tidak berislam, tetapi sekaligus tidak beriman. Islam dan iman tidak bisa dipisahkan.

Lantas, shaum sendiri, bunyi atau sunyi? Di awal sudah disebut bahwa perut lapar lumrah berbunyi. Kelumrahan ini bahkan bisa dibilang telah define, telah menjadi mitos. Saat kamu minta makan karena merasa sudah sangat lapar, kamu bilang, “perutku sudah keroncongan”. Diksi “keroncongan” tidak hanya berhenti pada makna denotatif “kosong” (perut telah kosong), melainkan mengirim pesan konotatif: keroncong sebagai sebuah genre musik, jenis bunyi yang tersusun dalam irama.

Jadi, “perut keroncongan” adalah perut yang bernyanyi atau yang berbunyi sebagai tanda sudah lapar. Pada saat mengatakannya bisa jadi perutmu  tidak sedang berbunyi.  Tapi, itu tidak penting. Sebab bunyi yang riil tersebut telah pindah ke dalam bahasa, ke dalam ungkapan tadi. Itulah yang disebut Roland Barthes sebagai mitos. Mitos, kata pakar semiotika (semiologi) ini adalah sebuah model pengucapan.

Karena perut lapar adalah bunyi sedemikian, menahan lapar otomatis adalah upaya untuk menahan bunyi. Jika puasa kamu definisikan sebagai menahan lapar, dengan sendirinya puasa adalah menahan bunyi. Upaya menahan bunyi adalah ikhtiar untuk selalu berada di dalam sunyi. Walhasil, shaum adalah sunyi. Tepatnya, Sunyi (dalam S kapital). Shaum adalah sebuah jeda di antara kata ke kata, di antara bunyi ke bunyi.

Coba kamu ucapkan kalimat ini: “Aku akan mencuri”. Tiga kata ini tidak bisa diucapkan sekaligus, bukan. Di antara “aku” , “akan”, dan “mencuri” ada spasi yang mengantarai, ada jeda, ada sunyi. Itulah shaum. Shaum menahan kamu sejenak untuk berpikir dan berefleksi sehingga kamu memutuskan tindakan berikutnya. Dalam konteks frase di atas mestinya shaum menahan kamu untuk tindakan mencuri.

Apakah saat ini kamu sedang berada di dalam Sunyi sedemikian? Sebab Sunyi meniscayakan bunyi, di dalam Sunyi sejatinya kita mendengar bunyi. Dalam sepuluh hari terakhir,  Insha Allah Sunyi itu kian mengental sebab kita juga punya  tambahan alat untuk mengentalkannya, yaitu itiqaf.

Maka masuklah ke dalam masjid, hela dirimu hingga batas terjauh Sunyi. Kian jauh masuk ke ruang Sunyi niscaya kamu akan semakin mendengar bunyi yang datang dari tempat-tempat tersembunyi sekalipun dalam sejarahmu.

Dalam sejarah itu bisa dipastikan kita akan bertemu dengan dosa. Dosa yang berbunyi dalam Sunyi sejatinya akan mendorong kita berdoa meminta ampunan-Nya. Dosa yang berubah menjadi Doa. Jika sudah begitu, kamu tinggal menunggu malaikat bertamu ke kharibaanmu dalam lailatur qadar. Aamiiin ya Allah ya rabbal alamiin. Selamat berbuka. [ ]

*Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD–ITB

Back to top button