Catatan Menjelang Buka (27) : Dosa
Kata Rumi, tubuh manusia tidak lebih dari periuk dan ketel tempat segala bahan makanan diproses menjadi makanan siap santap, yaitu makanan dan minuman bagi yang kehausan dan kelaparan spiritual. Pada tingkat ini, kata Rumi, segala jenis makanan memiliki lidah untuk mengingat dan menyebut nama Tuhan. Maka bagaimana bisa hal tersebut tercapai di dalam periuk dan ketel dosa, yaitu saya?
Oleh : Acep Iwan Saidi*
JERNIH– Hari ke-27, air mineral di dalam gelas plastik yang disedot Matahari, anak bungsu saya, menyurut meskipun sangat perlahan. Selalu begitu pemandangan tiap sahur, juga sahur tadi pagi. Si kecil selalu saja punya alasan untuk tidak makan sahur, bahkan sekedar untuk minum. Padahal, shaumnya sendiri tidak pernah alfa.
Barangkali anak-anak memang selalu mempunyai misteri, semacam keajaiban yang dalam beberapa hal sering mencemaskan orang tua. Bagaimana ia bisa tetap segar sepanjang hari hanya dengan seteguk air yang dipaksakan dan sesuap nasi yang dikunyah dengan malas-malasan. Lewat 26 hari, kami (saya dan istri) tidak bisa melakukan apa pun pada ujungnya. Segala bujuk, tumpas. Sedikit ancaman, kandas. Hadiah, tidak bernas. Akhirnya kami pun hanya bisa berdoa dalam cemas: semoga Allah Ajja Wa Jalla melindungi. Kami tidak tega jika melihat dia lemas.
Dan hari ini pemandangan yang terus berulang itu membuat saya merenung. Saya menatap air minum dalam gelas Matahari yang perlahan menyurut itu. Dalam semiotika, gerak adalah penanda dari waktu yang sedang menunjukkan wujudnya. Dan air adalah sebuah material. Gerak air itu menyurut, kian sedikit. Artinya, waktu dan materialnya kian habis, dan menjadi nihil sama sekali. Jika begitu, dua-duanya, waktu dan air itu, fana. Keduanya rusak, dan lenyap.
Tapi, apakah berhenti sampai di situ? Faktanya, dengan zat tersebut Matahari bugar sepanjang hari. Itu berarti bahwa material dan waktu yang fana tidak lantas mati di dalam tubuh si bungsu. Alih-alih mati, ia bereinkarnasi menjadi energi. Seteguk air dan sesuap nasi mendapat tempat yang tepat di situ. Mereka bahagia. Menjadikan tubuh Matahari ceria. Dan dari situlah tampaknya diproduksi tenaga.
Saya menatap diri sendiri. Makan dan minum saya, jelas, lebih banyak dari Matahari. Betul bahwa tubuh saya lebih besar, volumenya pasti lebih tinggi. Tapi, secara kuantitatif asupan makanannya seimbang dengan volume tersebut. Sedangkan Matahari tidak demikian. Dan hal itulah yang membuat kami khawatir.
Lantas, kenapa saya tidak sebugar Matahari. Nyaris setiap hari saya harus melewati satu momen kelelahan, dalam berbagai varian: lapar, perih, ngantuk, dan lain-lain. Biasanya menjelang siang atau di ambang petang. Saya menatap lekat laki-laki kecil itu. Telaga. Ya. Saya menemukan matanya telaga. Ia melihat dunia tanpa prasangka. Air mineral yang bening itu tampaknya bertemu dengan hati yang juga bening. Saya membayangkan pertemuan itu pasti dahsyat: dua kebeningan yang melebur: antara yang fisik dan non fisik; bentuk dan isi; jasadi dan ruhani.
Sedangkan, pada diri saya, hal yang terjadi justeru sebaliknya. Alih-alih terbangun harmoni, yang terjadi adalah satu situasi yang “chaotic”. Makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh dengan pergerakan waktu yang tergesa-gesa itu sepertinya melakukan pemberontakan serius di dalam tubuh. Tidak ada perjumpaan. Mengapa?
Dipandu Annemarie Schimmel dalam “Akulah Angin Engkaulah Api”, saya mengetahui pesan Jalaluddin Rumi tentang segala hal di luar Tuhan. Menurut sufi masyhur itu, segala hal di luar Tuhan adalah “makan dan yang dimakan”. Dan Rumi berkisah tentang kacang polong yang harus melewati ujian di penggorengan agar bisa menjadi penghuni tubuh manusia, dengan harapan bisa menemukan martabat spiritual tertinggi di hadapan Tuhan. Demi Allah, saya telah mengecewakan kacang polong. Sebab itulah kemudian mereka berserikat dengan segala jenis makanan lain, dan juga darah, dan otot, dan tulang.
Bagaimana bisa mereka berbahagia berada di dalam periuk dan ketel dosa. Ya, lagi-lagi kata Rumi, tubuh manusia tidak lebih dari periuk dan ketel tempat segala bahan makanan diproses menjadi makanan siap santap, yaitu makanan dan minuman bagi yang kehausan dan kelaparan spiritual. Pada tingkat ini, kata Rumi, segala jenis makanan memiliki lidah untuk mengingat dan menyebut nama Tuhan. Maka bagaimana bisa hal tersebut tercapai di dalam periuk dan ketel dosa, yaitu saya?
Lihatlah, alih-alih membentuk tenaga sebagaimana terjadi pada si pemilik mata telaga, di dalam tubuhku seluruh energi yang ada bahkan tersedot, menjadi fondasi bagi arsitektur kemalasan, mengantuk, kelesuan, dan di sisi lain mendorong bagi munculnya khayalan duniawi yang menggoda.
Kembali mengutip Rumi, kali ini dalam “Fihi Ma Fihi”, di dalam tubuhku tidak ada Isa, yang eksis justeru adalah dosa. Tubuhku telah menjadi dosa. Maka adakah kalimat lain yang pantas diucapkan selain permohonan ampunan kepada Tuhan?
Tinggal dua hari. Seperti air mineral yang perlahan menipis pada gelas plastik yang disedot si bungsu, shaum kita sudah di penghujung. Obral pahala segera ditutup, belenggu setan segera akan kembali dibuka. Perhelatan akan berakhir tanpa janji tahun depan akan dilaksanakan kembali.
Kita hanya bisa berdoa. Semoga air mineral yang semakin surut di gelas plastik itu juga menjadi tanda lain, tanda yang diciptakan di atas Karunia Sang Maha Pengasih dan Penyayang, Allah Ajja Wajala, yakni tanda dari semakin surutnya dosa. Demi Allah, bukan puasa itu benar yang menghapus dosa, kita melainkan Ridha dan Karunia Allah semata. Selamat berbuka. Semoga bahagia. [ ]