Spiritus

Dalam Kondisi ‘Syaraf Kejepit’, Sa’ad bin Abi Waqqas Menaklukan Persia dalam Perang Qadisiyyah

Dipandanginya sekali lagi wajah seluruh pasukannya, ia meneriakkan “Allahu Akbar” empat kali dan memerintahkan tentaranya menyerbu dengan kalimat “Hayya ala barakatillah”. Maju, dengan berkah dari Allah.

Oleh   :  Watung Arif Budiman

JERNIH—Sampailah kita di sebuah kota kecil di lembah padang tandus yang sempit. Tiada tetumbuhan di sana. Tak ada ternak, atau kebun, atau sungai-sungai. Padang pasir yang luasnya tiada bertepi, telah mengasingkannya dari dunia sekitar. Kala siang hari, panasnya tak tertahankan.

Dan malam begitu senyap. Suku-suku manusia mengerumuninya bak buruan di tanah tak bertuan, mendatangi sumur mata airnya. Tak ada pemerintahan yang mengatur di sana. Tak ada agama yang membimbing manusia selain pemujaan pada batu-batu. Tak ada ilmu dan hikmah selain celotehan para pendakwah dan kecintaan masyarakat pada puisi-puisi yang anggun. Inilah Mekkah yang dihuni bangsa Arab.

Di kota ini hidup seorang muda, yang belumlah genap dua puluh usianya. Tubuhnya pendek dan gempal. Rambutnya tebal. Seperti singa muda, begitu orang-orang membandingkannya. Ia berasal dari keluarga kaya dan terhormat. Sangat cinta pada kedua orangtuanya, terutama ibunya. Ia menghabiskan banyak waktu untuk membuat panah dan berlatih keras seperti akan menghadapi pertempuran besar. Orang-orang mengenalinya sebagai anak muda yang cerdas dan penuh kesungguhan. Ia tak pernah puas dengan agama dan pandangan hidup orang-orang di sekitar, kepercayaan mereka yang melenceng, dan berbagai adat yang tak bisa diterimanya. Nama anak muda itu Sa’ad bin Abi Waqqas.

Suatu pagi di kala itu, Abu Bakar r.a. yang berhati ramah itu menghampiri dan berbicara kepadanya. Ia menjelaskan bahwa Muhammad bin Abdullah, anak dari sepupunya, yakni Aminah binti Wahab, telah memperoleh wahyu dan diutus dengan agama petunjuk dan kebenaran. Abu Bakar lalu membawanya kepada Muhammad di sebuah lembah di Mekkah. Saat itu siang menjelang sore, baru saja Rasulullah selesai shalat Ashar. Sa’ad menyambut dengan penuh suka cita ajakan pada kebenaran dan agama tauhid ini. Ia menjadi salah satu dari yang paling awal memeluk Islam.

Anggota pasukan panah di awal-awal penyebaran Islam

Rasulullah SAW tampak bahagia mendapati Sa’ad menjadi seorang Muslim. Beliau melihat tanda-tanda keistimewaan pada diri Sa’ad. Bahwa ia masih sangat muda, menandakan banyak hal besar akan terjadi padanya. Ia bagaikan pendaran bulan sabit yang tiada lama lagi akan berubah purnama. Barangkali akan banyak anak muda sepantarannya yang nanti bakal mengikuti jejaknya, begitu juga kerabat-kerabatnya yang lain. Hal ini dikarenakan Sa’ad bin Abi Waqqas sebenarnya adalah paman Nabi dari garis ibu yang berasal dari Bani Zuhrah, yakni suku asal Aminah, ibunda sang Nabi. Nabi sering menyebutnya “Sa’ad dari Zuhrah”, untuk membedakannya dengan beberapa orang lain yang juga bernama Sa’ad.

Nabi begitu senang mengetahui hubungan kekerabatannya dengan Sa’ad. Suatu kali Beliau duduk bersama para sahabatnya, dilihatnya Sa’ad datang menghampirinya: “Itu pamanku. Biarkan aku menyambut pamanku,” ujar Beliau.

Meskipun Nabi bahagia Sa’ad memeluk Islam, tidak demikian halnya dengan keluarga Sa’ad yang lain, terutama sekali ibunya. Sa’ad bercerita: “Tatkala ibuku mendengar keislamanku, ia sangat marah. Ia mendatangiku dan berkata: “Hai, Sa’ad! Agama macam apa itu yang telah menjauhkanmu dari agama ibu bapakmu? Demi Tuhan, engkau keluar dari agama barumu itu atau aku tidak akan makan dan minum sampai aku mati. Biarlah engkau meratapi kematianku penuh sesal akibat perbuatanmu dan selamanya pula orang-orang akan mencelamu.”

“Jangan lakukan itu, Ibunda,” pintaku, “Karena aku tidak akan melepaskan agamaku demi apapun.”

Namun ibuku benar-benar menjalankan ancamannya. Berhari-hari ia tak makan dan minum. Ia menjadi kurus dan lemah. Dari jam ke jam, aku menawarinya makan atau minum, namun ditolaknya mentah-mentah. Ia bersikeras tak akan makan dan minum sampai mati, atau aku meninggalkan agamaku.

Lalu ujarku kepada ibuku,” Duhai Ibunda! Meski demikian kuat cintaku kepadamu, namun jauh lebih kuat cintaku kepada Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah, seandainya seribu nyawa engkau miliki, dan satu per satu melayang di hadapanku, tak akan kulepas agamaku demi apapun.’ Tatkala disaksikannya aku begitu teguh pada pendirianku, ia pun mengalah, lalu mulai makan dan minum.”

Lantaran hubungan Sa’ad dengan ibunya dan paksaan untuk keluar dari agama inilah, turun ayat Al-Qur’an:

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu.

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku lah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Q.S. Luqman [31]: 14-15)

Di masa-masa awal ini, Kaum Muslim sangat berhati-hati untuk tidak memancing emosi Kaum Quraisy. Mereka rela berjalan jauh secara berkelompok menuju ceruk-ceruk sempit di luar Mekkah di mana mereka bisa shalat berjamaah tanpa terlihat.

Namun demikian, sempat saja di suatu hari, para penyembah berhala menghampiri mereka saat sembahyang dan mencemooh dengan kasar. Tak terima hinaan itu, kelompok Muslim datang untuk menyerang balik kaum kafir. Sa’ad bin Abi Waqqas memukul salah seorang dari mereka dengan sebilah rahang unta dan melukainya. Inilah kali pertama darah tertumpah dalam pertentangan antara Kaum Muslim dengan kaum kafir — sebuah konflik yang di kemudian hari kian memanas dan menjadi batu ujian kesabaran dan keberanian Kaum Muslim.

Selepas kejadian itu, Nabi menyuruh para sahabatnya untuk bersabar dan menahan diri, sebagaimana wahyu yang turun kemudian: “Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik. Dan biarkanlah Aku (saja) yang bertindak terhadap orang-orang yang mendustakan itu, orang-orang yang mempunyai kemewahan dan beri tangguhlah mereka barang sebentar.” (Q.S. Al-Muzzammil [73]: 10-11)

* * *

Lebih sepuluh tahun kemudian, ketika telah diperbolehkan bagi Kaum Muslim untuk berperang, Sa’ad bin Abi Waqqas memainkan peran amat penting di setiap medan peperangan, baik itu di masa hidup Rasulullah maupun setelahnya. Ia bertempur di Perang Badar bersama adiknya, Umayr, yang menangis minta diizinkan berperang bersama pasukan Muslim lainnya meski usianya baru belasan awal. Dari peperangan, Sa’ad kembali ke Madinah tanpa Umayr tatkala adiknya itu menjadi salah satu dari empat belas Muslim yang mati syahid di medan pertempuran.

Pada Perang Uhud, Sa’ad terpilih sebagai salah satu pemanah terbaik bersama-sama dengan Zaid, Saib bin Utsman bin Mazh’un, dan beberapa pemanah lainnya. Sa’ad berada di antara mereka yang tetap bertahan melindungi Rasulullah tatkala banyak dari pasukan Muslim meninggalkan posisinya. Dalam menyemangati Sa’ad di medan pertempuran itu, Rasulullah berkata: “Irmi, Sa’ad. Fidaaka abi wa ummi.” Lepaskan anak panahmu, Sa’ad. Ayah ibuku tebusanmu.

Sa’ad berada di antara mereka yang tetap bertahan melindungi Rasulullah tatkala banyak dari pasukan Muslim meninggalkan posisinya. Rasulullah pernah berdoa untuknya: “Tuhanku, arahkan panahnya dan kabulkanlah doanya.”

Dari peristiwa ini, Ali bin Abi Thalib mengakui bahwa tak pernah ia mendengar Rasulullah menjanjikan tebusan semacam itu kepada siapapun kecuali kepada Sa’ad. Sa’ad juga dikenal sebagai sahabat pertama yang melepaskan anak panahnya dalam membela Islam. Rasulullah pernah berdoa untuknya: “Tuhanku, arahkan panahnya dan kabulkanlah doanya.”

Sa’ad adalah salah satu dari sahabat Rasulullah yang dianugerahi banyak harta. Sebagaimana ia dikenal karena keberaniannya, dikenal pula ia akan kedermawanannya. Suatu kali dalam peristiwa Haji Wada’ (haji perpisahan) bersama Nabi, ia sempat jatuh sakit. Tatkala Nabi datang menjenguknya, Sa’ad bertanya:

“Wahai Rasulullah, aku memiliki harta namun satu-satunya keturunanku hanyalah anak perempuanku. Apakah sebaiknya kuserahkan dua pertiga hartaku sebagai shadaqah?” “Tidak,” jawab Nabi. “Bagaimana kalau setengahnya?” tanya Sa’ad lagi dan sekali lagi Nabi menjawab ‘tidak’.

“Sepertiga?”

“Ya,” jawab Nabi. “Sepertiga itu banyak. Sebenarnya, meninggalkan keturunanmu berkecukupan itu lebih baik daripada membuat mereka hidup meminta dan bergantung pada orang lain. Apa saja yang engkau nafkahkan untuk mencari ridha Allah, pahala pulalah yang akan kau terima meskipun nafkah itu berupa sebutir makanan di mulut istrimu.”

Sa’ad bukan hanya menjadi ayah dari seorang anak saja. Ia dikarunia banyak anak di kemudian hari.

* * *

Sa’ad terutama dikenal sebagai panglima pasukan Muslim yang dikirim oleh Khalifah Umar r.a. untuk bertempur melawan Persia di Qadisiyyah. Kala itu, Umar bertekad mengakhiri kekuasaan Dinasti Sassaniyah yang telah menduduki wilayah itu selama berabad-abad.

Bertempur melawan tentara Persia yang berjumlah banyak lagi bersenjata lengkap adalah tugas yang amat sulit. Kekuatan terbaik mustilah dikerahkan. Umar lantas mengirim pesan ke setiap gubernur di seantero wilayah Islam untuk memobilisasi orang-orangnya yang memiliki senjata dan perlengkapan, yang bisa berpidato dan memiliki kemampuan-kemampuan lain yang diperlukan, untuk ikut mendukung pertempuran itu.

Para mujahidin dari berbagai wilayah pun berkumpul di Madinah. Umar lalu meminta pendapat tentang siapa yang pantas menjadi panglima pasukan yang besar ini. Umar tadinya bermaksud memimpin sendiri kekuatan tentaranya, namun Ali r.a. berpendapat bahwa Kaum Muslim di dalam negeri masih membutuhkannya dan tidaklah bijak bila ia berada di posisi yang membahayakan jiwanya. Maka Sa’ad lah yang pada akhirnya terpilih sebagai panglima pasukan besar itu.

Abdurrahman bin Auf berkata: “Pilihan yang tepat! Siapa lagi di sini yang seperti Sa’ad?” Umar lalu berdiri menghadap kepada para pasukan dan melepas keberangkatan mereka ke medan perang. Kepada panglimanya, Umar berpesan: “Wahai Sa’ad, janganlah sampai sebutan bahwa engkau paman Rasulullah dan sahabat Nabi melalaikanmu dari jalan Allah. Allah Yang Maha Besar tidak menghapus keburukan dengan keburukan yang lain, tapi Dia menghapusnya dengan kebaikan.”

“Sa’ad, tak ada penghubung antara Allah dengan hamba melainkan melalui ketaatannya. Dalam pandangan-Nya, seorang bangsawan dengan kawula biasa itu sama. Allah-lah Tuhannya, dan merekalah para hamba-Nya, sama-sama mencari kemulian melalui jalan takwa, dan mencari apa-apa yang ada di sisi-Nya melalui ketaatan kepada-Nya. Perhatikan bagaimana Rasulullah memperlakukan Kaum Muslim dahulu dan ikuti itu.”

Maka dengan itu, Umar menegaskan bahwa penaklukan tidaklah semata dilakukan demi penaklukan, dan peperangan bukan untuk kemahsyuran dan kepentingan pribadi.

Maka berangkatlah pasukan berkekuatan 30.000 orang itu. Di antaranya terdapat 99 tentara Badar; tiga ratus lebih adalah mereka yang mengambil sumpah Bai’at Ar-Ridhwan di Hudaybiyyah; sementara tiga ratus lainnya adalah pasukan yang ikut bersama Rasulullah bertempur dalam pembebasan Mekkah. Terdapat pula tujuh ratus orang yang bapaknya merupakan para sahabat Rasulullah. Juga turut serta ribuan kaum perempuan yang membantu dan menjadi perawat dalam peperangan ini.

Pasukan Muslim lalu berkemah di wilayah Qadisiyyah dekat Hira. Di depan mereka, orang-orang Persia telah menghimpun kekuatan 120.000 serdadu di bawah komando panglimanya yang paling brilian: Rustam.

Umar memerintahkan Sa’ad untuk dari waktu ke waktu mengirim pesan kepadanya mengenai kondisi dan pergerakan terakhir pasukan Muslim, serta informasi penempatan tentara musuh. Tatkala Sa’ad mengabarkan kepada Umar tentang formasi kekuatan Persia yang tak terduga sebelumnya, Umar membalas:”Jangan terusik oleh apa yang kau dengar tentang mereka atau tentang senjata dan perlengkapan yang mereka kerahkan untuk mengalahkanmu di medan perang. Mintalah pertolongan kepada Allah dan bergantunglah kepada-Nya. Kirimlah orang-orang yang tangguh dan berwawasan kepada Khosrau (sebutan raja agung Persia) dan ajaklah ia kepada agama Allah… Laporkan kepadaku perkembangannya setiap hari.”

Sa’ad sadar betul situasi perang yang kian mengancam dan ia pun tak lepas terhubung dengan komando tertinggi militer di Madinah. Meski seorang panglima, ia paham arti musyawarah.

Sa’ad melakukan apa yang Umar perintahkan kepadanya. Dikirimnyalah delegasi Muslim menemui Yazdegerd, lalu selanjutnya menemui Rustam, mengajak mereka memeluk Islam, atau membayar jizyah yang akan menjamin perlindungan terhadap mereka, atau sebaliknya: memilih berperang.

Delegasi pertama yang diwakili Nu’man bin Muqarrin menjadi bahan cemoohan Yazdegerd, sang penguasa Persia. Sa’ad lantas mengirimkan delegasinya yang lain kepada Rustam, panglima militer tentara Persia. Delegasi kedua ini dipimpin oleh Rabi’ bin Amir yang berjalan sambil menenteng tombak di tangannya menjurus langsung menuju ke kemah di mana Rustam berada.

Tatkala bertemu, Rustam mengatakan kepadanya: “Rabi’! Apa yang kau inginkan dari kami? Jika harta yang kau minta, kami akan berikan kepadamu. Kami akan siapkan makanan sampai kau kenyang. Pakaian pun kami akan beri. Kami akan jadikan engkau kaya dan bahagia. Lihatlah, Rabi’! Apa yang kau lihat di singgasanaku ini? Pastilah kau rasakan tanda-tanda kekayaan dan kemewahan, permadani yang tebal ini, tirai yang indah itu, kain-kain yang bersulamkan emas, lembaran-lembaran sutra… Tidakkah kau ingin kami limpahkan sebagian milik kami ini kepadamu?”

Dengan pameran kemewahan dan kemegahan itu, Rustam hendak membuat takjub delegasi ini sehingga terlena dari maksud kedatangannya. Dengan tanpa bergeming, Rabi’ memandang dan mendengarkannya. Lalu ujarnya: “Dengar, wahai Panglima! Tuhan pastilah telah memilih kami untuk mengantarkan sebagian makhluk-Nya dari penyembahan berhala kepada Tauhid, dari sempitnya penjara keduniawian kepada bentangan luas tiada bertepi, dan dari tirani sang penguasa kepada Islam yang adil.”

“Siapapun yang menerimanya, kami akan sambut dengan suka cita. Dan siapapun yang menentang, kami akan perangi sampai janji Allah terbukti.”

“Apa janji Allah kepadamu?” tanya Rustam.

“Surga firdaus atas kesyahidan kami, dan kemuliaan bagi yang hidup.”

Rustam tentu saja tak tergerak meladeni pembicaraan orang yang dalam pandangannya tampak seperti kaum barbar tak beradab dari wilayah jajahan mereka yang telah mereka taklukkan selama berabad-abad.

Delegasi Muslim ini pun kembali melapor kepada panglimanya. Pada titik ini, jelas bahwa perang tak lagi bisa dihindari. Mata Sa’ad basah oleh air mata. Ia berharap perang bisa ditunda beberapa waktu atau berlangsung lebih awal, karena terlebih-lebih pada hari ini sakitnya bertambah parah dan ia tak mampu bergerak banyak. Ia menderita sciatica (saraf terjepit) yang membuatnya bahkan tak bisa duduk tegak lantaran sakitnya itu.

Sa’ad tahu bahwa ini akan menjadi perang yang amat berdarah, dahsyat dan pedih. Sedetik pula lah terlintas di pikirannya, duhai seandainya… tapi tidak! Rasulullah telah melarang seorang Muslim untuk mengucapkan “seandainya.” Mengucapkan “seandainya” menunjukkan lemahnya tekad dan kemauan. Berandai-andai dan mengharapkan situasi yang berbeda dari apa yang sudah terjadi bukanlah sifat seorang Mukmin sejati.

Karenanya, meski dalam keadaan lemah, Sa’ad berdiri menemui pasukannya. Ia memulai pidatonya dengan sebuah ayat Al-Qur’an:

“Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Kitab Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai oleh hamba-hamba-Ku yang saleh.” (Q.S. Al-Anbiyaa’ [21]: 105)

Selepas itu, Sa’ad melakukan shalat Dzuhur bersama-sama pasukannya. Dipandanginya sekali lagi wajah seluruh pasukannya, ia meneriakkan “Allahu Akbar” empat kali dan memerintahkan tentaranya menyerbu dengan kalimat “Hayya ala barakatillah“. Maju, dengan berkah dari Allah. Seraya berdiri di depan tendanya, Sa’ad mengatur dan memicu semangat pasukannya dengan teriakan “Allahu Akbar” (Allah Maha Besar) dan “La haula wa la quwwata illa billah.” (Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah semata).

Empat hari lamanya perang berkecamuk. Pasukan Muslim tampak telah menunjukkan keberanian dan kemampuannya. Namun sepasukan gajah Persia berganti membuat malapetaka bagi barisan Muslim. Pertempuran yang dahsyat ini berakhir tatkala beberapa tentara Muslim yang tangguh menyerbu ke arah panglima Persia. Sebuah badai tiba-tiba muncul dan menerbangkan tirai tenda Rustam ke sungai. Tatkala hendak melarikan diri, ia pun tertangkap dan terbunuh. Kebingungan, karena tiadanya panglima yang memimpin, merasuki serdadu-serdadu Persia dan mereka pun berlarian tak tentu arah.

Perang Qadisiyyah adalah salah satu perang yang paling menentukan dalam sejarah dunia. Perang ini mengubah nasib Dinasti Sassaniyah di Persia sebagaimana Perang Yarmuk mengubah nasib Dinasti Byzantium di Timur.

Dua tahun setelah Qadisiyyah, Sa’ad melanjutkan penyerbuannya dengan menduduki ibukota Sassaniyah. Saat itu, ia telah sembuh dari sakitnya. Pendudukan Ctesiphon (Tisfun) terjadi setelah langkah brilian menyeberangi Sungai Tigris tatkala pasang tinggi. Sa’ad pun kemudian termaktub di peta-peta sejarah sebagai Pahlawan Qadisiyyah dan Penakluk Ctesiphon.

Ia hidup sampai usia hampir delapan puluh. Ia banyak diberkahi dengan kekuasaan dan harta, namun tatkala ajal mendekati di tahun 54 H, ia meminta anak laki-lakinya untuk membukakan sebuah kotak tempat ia menyimpan sehelai jubah berkain wol: “Kafani aku dengan ini. Dengan kain inilah aku menghadapi kaum musyrik di Perang Badar dahulu dan saat itu betapa inginnya aku menemui Tuhanku Yang Maha Agung.”

(Diterjemahkan dari buku “Companions of Prophet” v. 1, karya Abdul Wahid Hamid). 

Link asli: https://www.qudusiyah.org/id/blog/2016/07/13/kisah-sahabat-saad-bin-abi-waqqas/

Back to top button