Spiritus

Disalib, Dipecut, Dibakar Pun Tak Membuat Sahabat Ammar bin Yasir Meninggalkan Islam

Jasad Ammar bin Yassir kemudian dipangku Khalifah Ali, dibawa sebuah ke tempat untuk dishalatkan bersama kaum Muslimin. Ammar lalu dikuburkan, lengkap dengan pakaiannya yang berlumur darah.

JERNIH— Yasir bin Amir, meninggalkan tanah kelahirannya di Yaman guna mencari seorang saudaranya. Saat sampai di Mekkah, rupanya ia berkenan dan merasa betah tinggal di sana. Bermukimlah ia dan mengikat perjanjian persahabatan dengan Abu Hudzaifah ibnul Mughirah.

Abu Hudzaifah mengawinkannya dengan salah seorang sahayanya, Sumayyah binti Khayyath. Dari perkawinan itu, suami istri itu dikaruniai seorang putra bernama Ammar.

Jelaslah, Ammar datang dari keluarga budak. Namun demikian, keluarga ini penuh dengan kasih sayang dan rasa ketuhanan yang tinggi. Mereka termasuk orang-orang yang pertama memeluk Islam, atau Asshabiqunal awwalun.

Hampir semua Muslim generasi awal mengalami gangguan, bahkan siksaan. Keluarga Yasir yang miskin papa, termasuk dalam golongan kedua ini. Penyiksaan kepada mereka dilakukan oleh Bani Makhzum. Setiap hari Yasir, Sumayyah dan Ammar dibawa ke padang pasir Makkah yang panas, lalu didera dengan berbagai azab dan siksa.

Penderitaan dan pengalaman keluarga Ammar dalam soal penyiksaan, tampaknya berada di katagori puncak. Kita tahu, karena tegarnya Sumayyah—ibu Ammar, orang-orang Bani Makhzum sampai hati menusukkan tombak, membuat Sumayyah gugur, menjadi syahid pertama dalam sejarah Islam.

Rasulullah SAW selalu mengunjungi tempat-tempat yang diketahuinya sebagai arena penyiksaan bagi keluarga Yasir. Ketika itu tidak suatu apa pun yang dimilikinya untuk menolak bahaya dan mempertahankan diri.

Pada suatu hari, ketika Rasulullah SAW mengunjungi mereka, Ammar berkata, “Wahai Rasulullah, azab yang kami derita telah sampai ke puncak.” Rasulullah SAW berkata, “Sabarlah, wahai Abal Yaqdhan… Sabarlah wahai keluarga Yasir, tempat yang dijanjikan bagi kalian ialah surga!”

Siksaan yang diami Ammar dilukiskan para sahabat dalam beberapa riwayat. Berkata Amar bin Hakam, “Ammar itu disiksa sampai-sampai ia tak menyadari apa yang diucapkannya.”

Ammar bin Maimun melukiskan, “Orang-rang musyrik membakar Ammar bin Yasir dengan api. Maka Rasulullah SAW lewat di tempatnya, memegang kepalanya dengan tangan beliau, sambil bersabda, ‘Hai api, jadilah kamu sejuk dingin di tubuh Ammar, sebagaimana dulu kamu juga sejuk dingin di tubuh Ibrahim!”

Bagaimanapun juga, semua bencana itu tidaklah dapat menekan jiwa Ammar, walau telah menekan punggung dan menguras tenaganya. Ia baru merasa dirinya benar-benar celaka, ketika pada suatu hari tukang-tukang cambuk dan para penderanya menghabiskan segala daya upaya dalam melampiaskan kezaliman dan kekejiannya. Semenjak hukuman bakar dengan besi panas, disalib di atas pasir panas dengan ditindih batu yang terbakar matahari, sampai ditenggelamkan ke dalam air hingga sesak nafas dan mengelupas kulitnya yang penuh luka siksaan sebelumnya.

Pada hari itu, ketika Ammar berkali tak sadarkan diri, orang-orang Bani Makhzum  berkata kepadanya, “Pujalah olehmu tuhan-tuhan kami!”

Ammar pun mengikuti perintah mereka tanpa menyadari apa yang keluar dari bibirnya. Ketika siuman sebentar akibat dihentikannya siksaan, tiba-tiba ia sadar akan apa yang telah diucapkannya. Ammar pun seolah gusar dan hilanglah akal. Terbayang di matanya betapa besar kesalahan yang telah dilakukannya. Musyrik, dosa besar yang tak dapat ditebus dan diampuni.

Rasulullah SAW menemui sahabatnya itu, dan mendapatinya tengah menangis. Disapunya air mata itu dengan tangan beliau, seraya berkata, “Orang-orang kafir itu telah menyiksamu dan menenggelamkanmu ke dalam air sampai kamu mengucapkan begini dan begitu?”

“Benar, wahai Rasulullah,” ujar Ammar.

Rasulullah tersenyum berkata, “Jika mereka memaksaimu lagi, tidak apa, ucapkanlah seperti apa yang kamu katakan tadi!”

Lalu dibacakan Rasulullah kepadanya ayat mulia berikut ini: “Kecuali orang yang dipaksa, sedang hatinya tetap teguh dalam keimanan…” (QS An-Nahl: 106)

Kembalilah jiwa Ammar diliputi ketenangan. Ia tak lagi merasakan sakit. Jiwanya tenang. Ia menghadapi cobaan dan siksaan itu dengan ketabahan luar biasa, hingga pendera-penderanya merasa lelah dan lemah, bertekuk lutut di hadapan tembok keimanan yang begitu kokoh.

Setelah Rasulullah SAW ke Madinah, secepatnya masyarakat Islam menyempurnakan barisan. Di tengah-tengah masyarakat Islam yang beriman itu Ammar mendapatkan kedudukan yang tinggi. Rasulullah amat sayang kepadanya, dan beliau sering membanggakan keimanan dan ketakwaan Ammar kepada para sahabat.

Rasulullah bersabda, “Diri Ammar dipenuhi keimanan sampai ke tulang punggungnya!”

Sewaktu terjadi selisih paham antara Khalid bin Walid dengan Ammar, Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang memusuhi Ammar, maka ia akan dimusuhi Allah. Dan siapa yang membenci Ammar, maka ia akan dibenci Allah!”

Maka tak ada pilihan bagi Khalid bin Walid, pahlawan Islam itu, selain segera mendatangi Ammar untuk mengakui kekhilafannya, meminta maaf.

Jika Rasulullah SAW telah menyatakan kesayangannya terhadap seorang Muslim demikian rupa, pastilah keimanan orang itu, kecintaan dan jasanya terhadap Islam, kebesaran jiwa dan ketulusan hati serta keluhuran budinya telah mencapai batas dan puncak kesempurnaan.

Demikian halnya Ammar, berkat nikmat dan petunjuk-Nya, Allah telah memberikan kepada Ammar ganjaran setimpal, dan menilai takaran kebaikannya secara penuh. Hingga disebabkan tingkatan petunjuk dan keyakinan yang telah dicapainya, maka Rasulullah menyatakan kesucian imannya dan mengangkat dirinya sebagai contoh teladan bagi para sahabat.

Beliau bersabda, “Contoh dan ikutilah setelah kematianku nanti, Abu Bakar dan Umar. Dan ambillah pula hidayah yang dipakai Ammar untuk jadi bimbingan!”

Ketika Rasulullah dan kaum Muslimin membangun masjid di Madinah, beliau turut serta mengangkat batu dan melakukan pekerjaan yang paling sukar. Di tengah-tengah khalayak ramai yang sedang hilir mudik itu, terlihatlah Ammar bin Yasir sedang mengangkat batu besar.

Rasulullah juga melihat Ammar, dan langsung mendekatinya. Setelah berhampiran, maka beliau mengipaskan debu yang menutupi kepala Ammar dengan tangannya. kemudian bersabda di hadapan semua shahabatnya, “Malangnya Ibnu Sumayyah, ia dibunuh oleh golongan pendurhaka!”

Kata-kata itu diulangi oleh Rasulullah sekali lagi… kebetulan bertepatan dengan ambruknya dinding di atas tempat Ammar bekerja, hingga sebagian kawannya menyangka bahwa ia tewas yang menyebabkan Rasulullah meratapi kematiannya itu.

Para sahabat terkejut dan menjadi ribut karenanya, tetapi dengan nada menenangkan dan penuh kepastian, Rasulullah menjelaskan, “Tidak, Ammar tidak apa-apa. Hanya nanti ia akan dibunuh oleh golongan pendurhaka!”

Ammar mendengarkan ramalan itu dan meyakini kebenaran pandangan yang disingkapkan Rasulullah. Tetapi ia tidak merasa gentar, karena semenjak menganut Islam ia telah dicalonkan untuk menghadapi maut dan mati syahid di setiap detik, baik siang maupun malam.

Ammar selalu terjun bersama Rasulullah dalam tiap perjuangan dan peperangan bersenjata, baik di Badar, Uhud, Khandaq, dan Tabuk. Tatkala Rasulullah telah wafat, perjuangan Ammar tidaklah berhenti. Ia terus berjuang dan berjihad menegakkan agama Allah.

Ketika terjadi pertentangan antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah, Ammar berdiri di samping menantu Rasulullah tersebut. Bukan karena fanatik atau berpihak, tetapi karena tunduk kepada kebenaran dan teguh memegang janji! Ali adalah khalifah kaum Muslimin, dan berhak menerima baiat sebagai pemimpin umat.

Ketika meletus Perang Shiffin yang mengerikan itu, Ammar ikut bersamanya. Padahal saat itu usianya telah mencapai 93 tahun. Orang-orang dari pihak Muawiyah mencoba sekuat daya untuk menghindari Ammar, agar pedang mereka tidak menyebabkan kematiannya hingga menjadi manusia “golongan pendurhaka”.

Tetapi akhirnya mereka tak mampu menahan geram karena keperwiraan Ammar yang membuat pasukan Muawiyah kocar-kacir. Sepasukan panah mengintainya dari kejauhan, melontarkan sekian banyak anak panah yang menembus tubuh Ammar. Gugurlah Ammar, menyusul sang ibu yang sejak awal menjadi syahid. Jelaslah kini sabda Rasulullah tentang para pendurhaka itu. Mereka tidak lain dari golongan Muawiyah!

Jasad Ammar bin Yassir kemudian dipangku Khalifah Ali, dibawa sebuah ke tempat untuk dishalatkan bersama kaum Muslimin. Ammar lalu dimakamkan lengkap dengan pakaiannya yang berlumur darah.

Para sahabat kemudian berkumpul dan saling berbincang. Salah seorang berkata, “Apakah kau masih ingat waktu sore hari itu di Madinah, ketika kita sedang duduk-duduk bersama Rasulullah SAW dan tiba-tiba wajahnya berseri-seri lalu bersabda, “Surga telah merindukan Ammar?”

“Benar,” jawab yang lain.

“Waktu itu juga disebutnya nama-nama lain, di antaranya Ali, Salman dan Bilal…” kata seseorang, menimpali. [ ]

Back to top button