Spiritus

Setetes Embun: Bersyukur

Rasa syukur pada dasarnya adalah sesuatu yang alamiah pada orang-orang yang rendah hati. Mereka memiliki keyakinan bahwa mereka tidak sepatutnya mendapatkan hal tertentu dalam hidup mereka. Bahwa apa yang mereka dapatkan murni karena kebaikan dan kemurahan hati Allah. Bagi orang-orang macam ini, betapapun pedih dan sulitnya hidup, mereka selalu menemukan alasan untuk bersyukur.

Penulis: P. Kimy Ndelo CSsR

JERNIH-Pastor John Kavanaugh, SJ, pernah menulis sebuah kisah demikian: “Mungkin orang yang paling bersyukur yang pernah saya dengar adalah seorang wanita tua di rumah sakit dalam perawatan yang lama. Dia memiliki semacam penyakit penurunan kesadaran dan kekuatan fisik hanya dalam waktu beberapa bulan.

Seorang siswa saya secara kebetulan bertemu dengannya pada sebuah kunjungan. Siswa itu terus tertarik untuk mengunjunginya seolah-olah ada sesuatu yang menarik dia seperti magnet. Dan itu berupa kekuatan aneh yang dimiliki wanita tersebut yakni kegembiraannya.

Meskipun dia tidak bisa lagi menggerakkan tangan dan kakinya, dia tetap berkata, “Saya sangat senang dan bersyukur kepada Tuhan karena saya masih bisa menggerakkan leher saya.”

Ketika dia tidak bisa lagi menggerakkan lehernya, dia berkata, “Saya sangat senang dan bersyukur karena saya masih bisa mendengar dan melihat.” Ketika siswa muda itu akhirnya bertanya kepada wanita tua itu apa yang akan terjadi jika dia kehilangan indra pendengaran dan penglihatannya, wanita lembut itu berkata, “Saya akan tetap bersyukur karena Anda datang mengunjungi saya”.

“Seorang dari mereka, ketika melihat bahwa ia telah sembuh, kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring, lalu tersungkur di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya.” (Luk 17,15-16)

Kisah Injil hari ini menggambarkan dengan sangat jelas tentang penyembuhan 10 orang kusta oleh Yesus. Satu diantaranya adalah seorang Samaria, yang sering dianggap heretik atau orang-orang sesat oleh orang Yahudi. Hanya dia yang kembali untuk bersyukur dan berterimakasih.

Sembilan orang lainnya adalah orang Yahudi yang mungkin beranggapan bahwa kesembuhan mereka adalah hak mereka, apa pun caranya. Mereka tidak merasa perlu datang berterimakasih kepada Yesus walau sudah disembuhkan dengan cara ajaib. Mereka memegang prinsip bahwa mereka adalah orang-orang pilihan yang sepatutnya mendapakan hak istimewa dari Tuhan.

Dari kisah ini juga kita mengetahui bahwa iman dan penyembuhan adalah dua hal yang tak terpisahkan. Dan bahwa kasih Allah bisa terjadi pada siapa saja tanpa memandang latar belakang mereka. Kasih Allah selalu bersifat universal.

baca juga: Setetes Embun: Kualitas Keimanan

Kisah tentang penyembuhan Naaman, seorang perwira militer Syria, yang dianggap kafir membuktikan hal ini. Dia kembali kepada nabi Elisha dan mengucap syukur atas penyembuhan ajaib yang diterimanya. (2 Raj 5,15).

Bersyukur atau gratitude adalah satu-satunya yang diharapkan Allah dari setiap orang yang menerima kebaikan-Nya.

Rasa syukur pada dasarnya adalah sesuatu yang alamiah pada orang-orang yang rendah hati. Mereka memiliki keyakinan bahwa mereka tidak sepatutnya mendapatkan hal tertentu dalam hidup mereka. Bahwa apa yang mereka dapatkan murni karena kebaikan dan kemurahan hati Allah. Bagi orang-orang macam ini, betapapun pedih dan sulitnya hidup, mereka selalu menemukan alasan untuk bersyukur.

Itulah sebabnya bagi orang Katolik, Ekaristi adalah doa agung dan pusat ibadah karena intinya adalah syukur dan terimakasih. Mengikuti Ekaristi setiap hari berarti mengucap syukur setiap hari. Dalam setiap Ekaristi kita bertumbuh dalam rasa syukur yang terus menerus kepada Tuhan. Doa Syukur Agung diawali dengan kata-kata, “Marilah bersyukur kepada Tuhan”. Dalam konsekrasi dikatakan, “Yesus mengambil roti dan mengucap syukur”.

baca juga: Setetes Embun: Dermawan

Seorang mistik Kristen bernama Meister Eckhard pernah berkata bahwa seandainya hanya satu doa yang bisa kita ucapkan sepanjang hidup kita, maka “syukur dan terimakasih sudah cukup”. Artinya jika kita tidak mampu berdoa lain, syukur dan terimakasih sudah bisa mewakili semua doa lainnya.

Seorang petani beriman dari kampung datang ke kota dan makan di sebuah restoran. Sebelum makan dia berdoa dengan penuh kesadaran. Seorang pria di meja lain melihatnya dan mau mengolok dia. “Hei, apakah semua orang di tempatmu melakukan hal ini sebelum makan?”. Petani itu dengan tenang menjawab: “Tentu saja tidak. Babi-babi di tempat kami tidak berdoa”.

(SETETES EMBUN, by P. Kimy Ndelo CSsR; ditulis Casa San Alfonso,Via Merulana 31, Roma-ITALIA).

Back to top button