Spiritus

Setetes Embun: Bukan Sekedar “Anak yang Hilang”

Setiap orang dapat jatuh dalam dosa pada suatu waktu, tetapi selanjutnya dia bisa bangkit bahkan hidup jauh lebih baik daripada sebelumnya. Hidup yang berlanjut selalu membuka kesempatan untuk kebaikan.

Penulis: P. Kimy Ndelo CSsR

JERNIH-Kisah tentang anak yang hilang, begitulah kita mengenal kisah yang diceritakan Yesus dalam Injil hari ini (Luk 15,11-32).  Kisah ini bisa disebut “cerita pendek terbesar sepanjang masa”.

Kisah ini mempunyai makna rohani yang dalam dan menyentuh setiap orang beriman untuk memahami Allah yang sesungguhnya. Ini berbicara tentang efek mendalam dari dosa, penghancuran diri dari kebencian dan kecemburuan, dan belas kasihan Allah yang tak terbatas.

Akan tetapi kisah ini sesungguhnya juga sangat manusiawi. Ini adalah kisah cinta, konflik, patah hati yang dalam, dan kegembiraan yang luar biasa.

Kisah ini terjadi pada keluarga Yahudi yang kaya. Dengan ketidakdewasaan seorang anak manja, si anak bungsu menuntut dengan kurang ajar dari ayahnya yang ramah, “Bapa, berikanlah kepadaku bagian harta milik kita yang menjadi hakku.” Anak ini menuntut warisan saat ayah masih hidup. Ini sama dengan memperlakukan ayah sebagai orang mati.

Di bawah hukum Yahudi, ketika seorang ayah membagi hartanya di antara dua putra, putra sulung harus menerima dua pertiga dan yang lebih muda sepertiga (Ulangan 21:17).

Permintaan ini sesungguhnya sudah menyakiti hati ayahnya. Lebih menyakitkan lagi ketika anak bungsu menjual bagian warisannya, lalu pergi ke “negeri yang jauh” dan menghambur-hamburkan semua uang di sana.

Warisan itu biasanya berupa tanah. Tanah itu suci bagi orang-orang Yahudi karena itu adalah Tanah Perjanjian yang diberikan kepada bangsa pilihan. Oleh karena itu, setiap bagian tanah dianggap suci, dan tidak ada orang Israel yang dapat menjual propertinya secara sah (Im 25,23, 1 Raj 21).

Yang disebut “keamanan sosial” terletak pada sikap anak laki-laki yang mengerjakan tanah warisan orangtuanya dan memelihara mereka sampai akhir hayat mereka.

Dengan menjual tanah berarti anak ini menjual “keamanan sosial” orangtuanya. Dari mana lagi dia bisa menghidupi mereka? Meninggalkan mereka berarti tidak bertanggungjawab terhadap hidup mati orangtua.

Perjalanan hidup foya-foya anak bungsu ini berakhir tragis. Dia menderita karena tak punya apa-apa lagi. Bahkan untuk sekedar makan dia harus berbagi makanan dengan babi yang najis atau tidak halal bagi orang Yahudi.

Ketika dia pulang kepada ayahnya, ayahnya berlari menjemput dia dan memeluknya. Ini bukan sekedar tanda kerinduan melainkan sebagai upaya melindungi anaknya. Mengapa? Karena menurut hukum Yahudi, anak yang durhaka pada orangtuanya harus dihukum mati dengan dilempari batu sampai mati. (Ul 21,8).

baca juga: Setetes Embun: Memikul Salib

Semua tindakan lain yang menyusul yakni memberikan jubah yang terbaik, memakaikan cincin pada jarinya, memakaikan sepatu dan memotong lembu jantan adalah upaya untuk mengangkat harkat dan martabatnya; dari status sebagai budak kepada status sebagai anak.

Kisah ini adalah cara terbaik untuk memahami arti DOSA dan PERTOBATAN. Dosa berarti melawan Allah dan merusak hubungan baik dengan-Nya. Pada saat yang sama juga berarti merusak hubungan dengan Gereja atau umat Allah.

Di sisi lain pertobatan berarti memulihkan kembali hubungan yang rusak tadi dan mengembalikan diri pada pangkuan Allah sebagai anak yang dikasihi. Disinilah kita mengenal bagaimana sesungguhnya sikap Allah terhadap orang berdosa.

Dalam sebuah kisah imajiner karya Denis McBride CSsR, “Apa Kata Mereka Tentang Yesus”, diceritakan tentang perjumpaan Yesus dengan perempuan dari Magdala, yang notabene adalah pelacur. Pada salah satu bagiannya ditulis kesaksian dari perempuan demikian:

Setetes Embun: Merendahkan Diri-Humility

“Kemudian aku membawa Yesus menelusuri reruntuhan jalan hidupku. Aku tak melewatkan sesuatu pun, tak menyembunyikan apa pun. Ia mendengarkan aku, tanpa mengomentari atau menyela. Ia memberi kesan bahwa setiap kata yang kuucapkan adalah anugerah dan bahwa ia mengerti kepedihan yang kutanggung dan kelegaan yang kurasakan sambil bercerita.

Ketika aku selesai, ia mendekati dan meraih tanganku lagi, menggenggamnya seakan mau meyakinkan apa yang akan dikatakannya. Ia mulai berdoa. Ia tak menyebut satu pun dosa-dosaku. Ia tak mengungkit kisah-kisah kebodohanku, melainkan menyingkirkannya dan menampilkan kebaikan yang ada dalam diriku.

Ia mengatakan kepadaku bahwa kesalahan yang kubuat bukanlah seluruh kisah hidupku, bahwa waktu tidaklah sekedar kelanjutan dari apa yang telah terjadi, melainkan lebih merupakan kesempatan untuk apa yang dapat terjadi”. (Hal 59).

Ya, setiap orang dapat jatuh dalam dosa pada suatu waktu, tetapi selanjutnya dia bisa bangkit bahkan hidup jauh lebih baik daripada sebelumnya. Hidup yang berlanjut selalu membuka kesempatan untuk kebaikan.

(SETETES EMBUN, by P. Kimy Ndelo CSsR; ditulis dari Casa San Alfonso, Via Merulana 31, Roma ITALIA).

Back to top button