Setetes Embun: Dermawan
Menjadi orang kaya itu tidak salah. Masalahnya adalah apa yang terjadi pada kita dengan kekayaan yang kita miliki? Kekayaan bisa membuat orang hilang rasa ketergantungannya pada Tuhan. Kekayaan menuntun orang pada pengakuan akan diri sendiri secara berlebihan sehingga membutakan matanya pada kebutuhan orang lain.
by P. Kimy Ndelo, CSsR
JERNIH-Menurut World Giving Index 2021, Indonesia dinyatakan sebagai negara paling dermawan di dunia. Laporan World Giving Index (WGI) yang dirilis Senin (14/6) oleh CAF (Charities Aid Foundation) menempatkan Indonesia di peringkat pertama dengan skor dari 69%, naik dari dari skor 59% di indeks tahunan terakhir yang diterbitkan pada tahun 2018. Pada saat itu, Indonesia juga menempati peringkat pertama dalam WGI.
The World Giving Index (WGI) adalah laporan tahunan yang diterbitkan oleh Charities Aid Foundation, menggunakan data yang dikumpulkan oleh Gallup, dan memeringkat lebih dari 140 negara di dunia berdasarkan seberapa dermawan mereka dalam menyumbang. Salahsatu pendorong sikap dan semangat murah hati ini adalah kuatnya pengaruh agama dan tradisi lokal di Indonesia.
Kisah tentang Lazarus dan orang kaya dalam Injil hari ini (Luk 16,19-31), sebetulnya dimaksudkan Yesus dengan tujuan untuk mengoreksi paham salah dalam agama Yahudi seperti diajarkan para Saduki atau ahli agama.
Kesalahan pertama; kekayaan material dalam hidup adalah berkat atau hadiah Tuhan karena hidup moral yang baik. Sementara kemiskinan adalah hukuman Tuhan karena dosa. Karena itu tidak ada alasan untuk menolong orang miskin dan sakit karena mereka sudah dihukum oleh Tuhan.
Kesalahan kedua; karena kemakmuran adalah tanda berkat Allah maka cara berterterimakasih untuk itu adalah dengan bergaya hidup mewah; dengan pakaian dan perhiasan, makan minum dan berpesta pora. Tentu setelah memberikan apa yang menjadi bagian Tuhan.
Kesalahan ketiga; orang Saduki juga menolak adanya hidup sesudah kematian, menolak adanya pembalasan dalam hidup kelak atas perilaku dan sikap kita selama hidup di dunia.
Dengan menceritakan kisah ini Yesus ingin memutarbalikkan pikiran dan paham salah seperti ini, sehingga dalam diri setiap orang yang hidupnya beruntung ada keinginan dan desakan dari dalam untuk berbagi dengan mereka yang miskin dan hidup susah.
baca juga: Setetes Embun: Beriman Secara Cerdas
Jelas orang kaya ini tidak mengusir atau menyakiti Lazarus secara terang-terangan. Dosanya terletak pada ketidak-peduliannya terhadap keberadaan dan nasib Lazarus di dekatnya. Dosanya adalah bahwa dia tidak memperlakukan Lazarus sebagai manusia sebagaimana dirinya, sebagai saudara yang patut diberi, walau hanya sepiring makanan.
Menjadi orang kaya itu tidak salah. Masalahnya adalah apa yang terjadi pada kita dengan kekayaan yang kita miliki? Kekayaan bisa membuat orang hilang rasa ketergantungannya pada Tuhan. Kekayaan menuntun orang pada pengakuan akan diri sendiri secara berlebihan sehingga membutakan matanya pada kebutuhan orang lain.
Cinta diri yang berlebihan adalah suatu bentuk kemerosotan moral. Pemujaan diri sendiri sebagai sebuah cita-cita bahkan sebagai tujuan hidup, bukan hanya menuntun orang pada dosa. Ini adalah dosa itu sendiri.
baca juga: Setetes Embun: Bukan Sekedar “Anak yang Hilang”
Gereja paroki sudah tua dan sangat membutuhkan perbaikan. Pastor mengadakan pertemuan khusus di dalam Gereja untuk mengumpulkan dana. Dalam pertemuan itu Pastor menjelaskan perlunya dana darurat untuk plafon, atap dan tiang penyangga serta bagian lain yang sudah keropos. Dia mengajak umat untuk ikut berkontribusi.
Setelah jeda singkat, Tuan Murphy, orang terkaya di paroki, menawarkan diri untuk memberikan 500 ribu rupiah. Saat dia duduk, selembar plafon jatuh dari langit-langit di atas kepalanya. Dia melompat dan terlihat sangat terkejut lalu mengoreksi sumbangannya: “Saya bermaksud mengatakan 5 juta rupiah.” Umat semua berdiri diam dan terpana. Kemudian satu suara berteriak: “Ya Tuhan, hantam lagi dia dengan balok!”
Bangsa Indonesia termasuk paling dermawan sedunia. Apakah aku termasuk di dalamnya?
(Setetes Embun, by P. Kimy Ndelo, CSsR; ditulis di Casa San Alfonso, Via Merulana 31, Roma-ITALIA).