Setetes Embun: Di Puncak Gunung
Kita menjadi anak yang juga dikasihi jika kita mampu berjalan bersama Yesus sampai ke puncak berikutnya, yakni Golgota.
JERNIH-John A. Redhead, Jr. bercerita tentang ayah dan anak yang memiliki hubungan yang sangat baik. Di antara banyak saat-saat indah mereka bersama, satu yang menonjol di atas yang lainnya adalah ketika mereka mendaki gunung tertentu di mana mereka tampaknya mencapai puncak persahabatan yang indah.
Setelah mereka kembali ke rumah, tibalah suatu hari ketika segalanya tampak tidak berjalan mulus. Sang ayah menegur putranya, dan putranya membalas dengan tajam. Satu jam kemudian, suasana kembali tenang. “Ayah,” kata anak laki-laki itu, “setiap kali mulai seperti itu lagi, mari salah satu dari kita mengatakan ‘Di Puncak Gunung.’” Jadi, kata magis ini disepakati.
Dalam beberapa minggu terjadi kesalahpahaman lagi. Anak muda lari ke kamarnya sambil menangis. Setelah beberapa saat, sang ayah memutuskan untuk naik dan melihat putranya. Dia masih marah sampai dia melihat secarik kertas ditempelkan di pintu. Anak laki-laki itu menulis tiga kata dengan huruf besar: “Di Puncak Gunung”. Simbol itu cukup ampuh untuk memulihkan hubungan ayah dan anak.
*
Bacaan Injil hari ini berkisah tentang transfigurasi Yesus di puncak gunung (Mat 17,1-9). Lokasi transfigurasi mungkin adalah Gunung Hermon di Galilea Utara, dekat Kaisarea Filipi, tempat Yesus berkemah selama seminggu sebelum Transfigurasi. Gunung setinggi 2804 meter itu sunyi sepi.
Transfigurasi terjadi pada akhir musim panas, tepat sebelum Hari Raya Tabernakel. Oleh karena itu, tradisi Ortodoks merayakan Transfigurasi kira-kira pada tahun ketika itu benar-benar terjadi untuk menghubungkannya dengan Pesta Tabernakel Perjanjian Lama. Tradisi Barat merayakan Transfigurasi dua kali, pertama pada awal Prapaskah dengan catatan Injil ini dan kedua pada 6 Agustus dengan liturgi Hari Raya Transfigurasi.
Saat berdoa di atas gunung, Yesus berubah rupa menjadi sosok yang bersinar, penuh dengan kemuliaan Surgawi. Ini mengingatkan kita pada Musa dan Elia yang juga pernah mengalami Tuhan dalam segala kemuliaan-Nya.
Kehadiran mereka dalam kisah Transfigurasi menekankan kesinambungan Yesus dengan Hukum Taurat (diwakili oleh Musa) dan dengan para nabi (diwakili oleh Elia) dalam sejarah keselamatan. Seperti bangsa Israel yang merupakan bangsa pilihan Allah, maka para murid Yesus pun kelak menjadi orang-orang pilihan Allah juga.
Kita tidak pernah tahu apa yang dibicarakan antara ketiga tokoh utama sejarah keselamatan ini. Tapi mengingat dekatnya saat-saat penderitaan Yesus, peristiwa transfigurasi bermakna sebagai sebuah persiapan batin Yesus menghadapi peristiwa yang paling menentukan dalam hidupnya dan hidup para murid-Nya. Musa dan Elia datang untuk memberi dukungan moril dan memastikan bahwa Yesus siap menerima tragedi di depan mata.
Tujuan lainnya adalah untuk menyadarkan para murid akan kemuliaan ilahi Yesus, sehingga mereka dapat membuang ambisi duniawi mereka tentang Yesus sebagai Mesias politik yang memimpin kepada perang dan kemenangan. Hal ini ternyata dari suara yang terdengar; “Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia” (Mat 17,5). Dengan ini pula para murid menjadi kuat dalam harapan dan iman ketika kelak mereka menghadapi cobaan dan salib.
Pengalaman transfigurasi lalu menjadi ajakan juga bagi setiap murid untuk naik ke gunung dan melihat Yesus yang mulia, ke arah mana perjalanan hidup kita. Ini terutama ketika salib hidup menjadi berat, tantangan ke depan makin sulit, ketika kita dikuasai ambisi-ambisi duniawi, terutama ketika berada dalam penderitaan. Kita menjadi anak yang juga dikasihi jika kita mampu berjalan bersama Yesus sampai ke puncak berikutnya, yakni Golgota.
SETETES EMBUN, by P. Kimy Ndelo CSsR; ditulis di Biara Novena Maria Bunda Selalu Menolong (MBSM), Kalembu Ngaa Bongga (KNB), Weetebula Sumba, Indonesia Selatan).