Spiritus

Setetes Embun: Menghakimi

Alasan mengapa Yesus melarang orang menghakimi orang lain adalah karena tidak ada satupun dari pribadi yang bebas dari kesalahan. Sebaik-baiknya seseorang pasti ada keburukan di dalam dirinya. Dan sejelek-jeleknya seseorang pasti ada kebaikan di dalam dirinya.

Penulis: P. Kimy Ndelo CSsR

JERNIH-Seorang Uskup pada masa lalu berlayar dengan sebuah kapal laut ke negeri seberang. Kebetulan di kapal itu dia mendapat kamar berdua dengan seorang pria lain. Kuatir dengan cincin emas dan barang bernilai lainnya dia pergi ke kapten kapal dan meminta tolong menitipkan hartanya kepada kapten kapal.

Katanya: “Saya minta tolong menitipkan barang-barang berharga saya ke kapten. Saya curiga dan kurang percaya dengan teman kamar saya.”

Kapten kapal itu dengan tersenyum menjawab: “Tidak apa-apa Bapak Uskup, dengan senang hati saya akan menjaganya. Teman satu kamar Uskup juga menitipkan barang-barang berharganya dengan alasan yang sama”.

**

Curiga dan menghakimi orang lain adalah kebiasaan umum manusia. Itulah sebabnya Yesus dalam Injil hari ini mengatakan:

“Mengapakah engkau melihat selumbar di dalam mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu sendiri tidak engkau ketahui?” (Luk 6,41)

Alasan mengapa Yesus melarang orang menghakimi orang lain adalah karena tidak ada satupun dari pribadi yang bebas dari kesalahan. Sebaik-baiknya seseorang pasti ada keburukan di dalam dirinya. Dan sejelek-jeleknya seseorang pasti ada kebaikan di dalam dirinya.

Ini tidak berarti Yesus ingin memelihara kejahatan atau sikap tidak bermoral. Yesus juga tidak bermaksud melarang orang melawan kejahatan kalau memang nyata-nyata ada. Juga tidak berarti tiap orang bebas menyatakan apa yang menurutnya baik sambil menutup mata terhadap pandangan orang banyak.

Ide dasar Yesus berangkat dari salah satu ajaran Hukum Emas, yakni agar kita memperlakukan orang lain sama seperti kita ingin diperlakukan. Atau bahasa negatifnya: jangan berbuat kepada orang lain apa yang kita tidak ingin orang lain buat kepada kita.

Menghakimi orang lain bukan soal urusan duniawi semata karena pada akhirnya kita akan dihakimi pada hari akhir nanti oleh Tuhan sendiri. Cara kita menghakimi akan dipakai oleh Tuhan untuk menghakimi kita.

Cara memperlakukan orang lain dengan cara Tuhan mengandung unsur kemurahan hati, belas kasih dan pengampunan. Menghakimi berarti melakukan sesuatu yang bertentangan dengan ketiga sikap dasar ini.

Andaikata dalam memperlakukan orang, kita salah, – berbuat baik pada orang yang kita kira baik tetapi ternyata jahat-, biarlah itu menjadi urusan Tuhan untuk menegur atau membalasnya. Itulah keterbatasan manusiawi kita karena hanya Tuhan yang bisa melihat keseluruhan, baik kulit maupun isinya.

*

Orang yang selalu mengeluh tentang orang lain saat mereka tidak ada, enggan melakukannya secara langsung. Seorang Pastor, dengan memanfaatkan kenyataan ini, merancang cara yang efektif untuk menangani kritik semacam itu. Ia menyediakan sebuah buku khusus yang diberi judul, “Keluhan Umat Terhadap Satu Sama Lain.”

Ketika salah satu umat bercerita tentang kesalahan rekannya, Pastor itu berkata, “Mari, ini buku pengaduan saya. Saya akan menuliskan apa yang Anda katakan, dan Anda dapat menandatangani nama Anda di sana. Saat saya melihat orang itu, saya akan membicarakan masalah ini dengannya.”

Buku besar itu dibuka, tetapi seketika itu juga pengkritik itu sadar akan kesalahannya dan mulai menahan diri. Dia lalu berkata “Oh, tidak, saya tidak bisa menandatangani hal seperti itu!”

Dalam 40 tahun, buku itu dibuka ribuan kali, namun tidak pernah ada catatan yang dibuat. Orang berani bicara tentang keburukan orang lain biasanya di belakang. Maka benarlah ungkapan yang mengatakan:

“Satu-satunya alasan mengapa orang bicara di belakang seseorang tentang orang itu adalah karena dia ada di belakang. Atau mungkin juga “terbelakang”.

(SETETES EMBUN, by P. Kimy Ndelo CSsR; ditulis di Biara Santo Alfonsus-Konventu Redemptoris, Weetebula Sumba tanpa Wa).

Back to top button