Setetes Embun: Menolak Kebenaran
Setiap orang Kristen dalam dirinya membawa status kenabian ini. Status ini menuntut kita untuk berpikir, berkata-kata, dan bertindak dalam kapasitas seorang nabi. Jika orang benar-benar hidup dalam realitas macam ini, maka menjadi orang Kristen sesungguhnya berarti keluar dari zona nyaman.
Penulis: P. Kimy Ndelo CSsR
JERNIH-Nabi Yehezkiel adalah nabi yang membawa kabar tidak menggembirakan bagi orang Israel pada masanya. Ketimbang melawan kekuasaan Babilonia, dan berakhir buruk, dia mengajak raja dan rakyat Israel untuk menyerahkan diri kepada bangsa penjajah. Mengapa demikian? Karena Allah ingin menghukum mereka atas dosa dan pelanggaran mereka. Mengakui bersalah dan menerima hukuman, akan jauh lebih sedikit penderitaannya ketimbang melawan.
Hal ini jelas ditolak, pertama-tama karena yang mewartakan berita buruk ini adalah Yehezkiel, seorang biasa-biasa saja dan bukan dari kalangan istana. Kedua, bangsa Israel tidak mau menerima hukuman dan masih berharap dibantu oleh Mesir untuk menghadapi Babilonia.
Penolakan ini kemudian membawa akibat tragis. Enam tahun setelah nubuat dan pesan Yehezkiel, tahun 587 bencana benar-benar terjadi. Kota Yerusalem dihancurkan, raja dihukum, dan bangsa Israel dibawa sebagai buangan ke Babilonia.
Atas dasar pengalaman semacam ini, maka penolakan atas pribadi dan atas pesan yang dibawa Yesus dalam injil hari ini, bukanlah hal yang mengejutkan. “Lalu mereka kecewa dan menolak Dia” (Mrk 6,3b).
Mengapa Yesus ditolak sebagai nabi? Pertama karena mereka tahu bahwa Yesus adalah anak seorang tukang kayu dan bekerja juga sebagai tukang kayu. Jelas Dia dianggap tidak mempunyai pendidikan khusus dalam hal Hukum Musa. Tidak mungkin seorang tukang kayu bisa menjadi Mesias politik yang membebaskan mereka dari penjajahan Romawi.
Kedua, karena Yesus dianggap bukan keturunan Daud. Ungkapan “anak Maria” jelas merupakan bentuk penghinaan karena seorang anak biasanya diidentikkan dengan garis turunan ayahnya. Mereka mengabaikan fakta lain bahwa Yesus adalah putera Yosef yang datang dari keturunan Daud.
Itulah sebabnya Yesus mengatakan “tidak ada nabi yang diterima di lingkungan keluarganya”. Pengetahuan akan latar belakang Yesus seringkali menjadi balok yang menutup mata orang akan realitas yang sesungguhnya tentang Yesus. Dengannya juga menolak kemungkinan bahwa Allah berkarya secara luar biasa pada diri Yesus.
Ketiga, karena tidak ada kriteria jelas bagaimana orang menjadi nabi atau tidak ada tempat yang mendidik orang menjadi nabi. Gerakan kenabian selalu merupakan gerakan spontan, tiba-tiba diilhami Roh Allah dan mulai berkata-kata dan bertindak sebagai nabi.
Menyangkut isi pewartaan, pesan-pesan kenabian tidak pernah enak didengar. Pada umumnya pesan-pesan itu berarti menguliti dan menggoncang perilaku hidup yang salah dan keliru. Pesan kenabian selalu berisi kritikan tajam bahkan ancaman penghukuman atas cara hidup yang tidak sesuai kehendak Allah. Sulit bagi orang-orang yang sudah merasa nyaman dengan hidupnya untuk mendengarkan hal ini. Pesan kenabian menjadi gangguan terhadap status quo.
Setiap orang kristen bisa berada pada dua sisi ini. Menjadi orang yang menolak kebenaran karena itu menyakitkan atau menjadi orang yang ditolak karena menyampaikan kebenaran. Tetapi panggilan dan perutusan setiap orang kristen adalah untuk menjadi nabi.
Artinya setiap orang Kristen dalam dirinya membawa status kenabian ini. Status ini menuntut kita untuk berpikir, berkata-kata, dan bertindak dalam kapasitas seorang nabi. Jika orang benar-benar hidup dalam realitas macam ini, maka menjadi orang Kristen sesungguhnya berarti keluar dari zona nyaman. Kekristenan berarti hidup selalu dalam tantangan dan penolakan. Tanpa tantangan kadang hidup menjadi datar-datar saja, tanpa gairah dan tanpa rasa.
**
Seorang uskup mewawancarai seorang seminaris tahun terakhir sebelum dia ditahbiskan sebagai diakon. Uskup bertanya kepadanya di mana dia ingin ditugaskan sebagai Diakon untuk pelatihan pastoral.
Seminaris itu berkata, dengan agak berani, “Iya Bapa Uskup, di mana saja saya siap kecuali Kanaan Baru!” “Mengapa tidak di sana,” tanya Uskup? “uskup tahu,” jawab seminaris itu, “itu adalah kampung halaman saya – dan kita semua tahu bahwa ‘seorang nabi akan dihormati dimana-mana kecuali di tempat asalnya.’”
Uskup menjawab, “Jangan khawatir frater! Tak seorang pun di kampung halamanmu akan bingung membedakanmu dengan seorang nabi. Mereka tahu mana nabi dan mana yang bukan nabi!”
(SETETES EMBUN, by P. Kimy Ndelo CSsR; ditulis di Bali “Meeting Para Superior Redemptorist Asia-Oceania”.)