Tiga Tingkatan Puasa; Berada di Manakah Kita?
Puasa orang arif adalah puasa hati. Puasa dipahami sebagai sarana ubudiah, menjinakkan hati kepada Tuhan dan menjauhkan kelalaian. Tidak makan-minum, terkendali nafsu, tapi tidak meningkat rasa cinta dan takut pada Tuhan dipandang orang arif belum puasa. Puasa adalah madrasah penempaan jiwa, yang tadinya lalai jadi khusyuk dengan Tuhan.
Oleh : Jufran Helmi
JERNIH– Marhaban ya Ramadhan! Itulah salah satu ekspresi kegembiraan kita memasuki bulan Ramadhan. Kita yang memasuki, namun kita yang mengucapkan selamat datang kepadanya. Kita lakukan itu karena meniru Rasulullah Saw.
Beliau senantiasa gembira kedatangan bulan penuh berkah ini. Kita bisa memasukinya karena ia memang telah mendatangi kita. Allah mendatangkan Ramadhan kepada kita. Kita pun gembira. Kegembiraan itu insya Allah datang dari letupan iman di kalbu kita masing-masing.
Bagaimana kita tak gembira? Bahkan selayaknya kita malu. Coba bayangkan. Manusia semacam kita, yang mungkin tak layak menemui Allah Swt., namun pada bulan ini kita akan diperlakukan sebagai tamu, tamu yang sangat dirindui-Nya. Dia akan menjamu kita dengan berbagai hidangan. Dia menawarkan sejumlah pelayanan kepada kita. Subhanallah.
Seorang yang penuh dosa, durhaka, kerap terbirit-birit menjalankan perintah-Nya, selalu mencari justifikasi melanggar larangan-Nya, pada bulan ini dipandang sebagai tamu yang dimuliakan. Kalau ada yang tidak gembira, sungguh ia telah ke luar dari hidayah yang besar.
Saya kira yang tepat kita lakukan sekarang ialah sungguh-sungguh mempersiapkan diri menjadi tamu-Nya, sekuat tenaga beradab kepada-Nya, berperilaku selayaknya tamu kerhormatan. Janganlah kita mencemari kemuliaan bulan ini dengan masih menabur prasangka buruk pada Tuhan. Janganlah kita mengisi bulan ini dengan aktivitas yang tidak mendekatkan diri kepada Tuhan. Janganlah kita berbuat yang mengundang kebencian Tuhan, lebih-lebih kemurkaan-Nya. Na’uzubillah min zalik.
Menurut saya ada tiga tingkatan puasa: puasa orang awam, puasa orang saleh, dan puasa orang arif. Masing-masing tradisi memiliki dasar dan tujuannya sendiri-sendiri. Masing-masing memiliki pengikut yang juga tidak sedikit.
Puasa orang awam adalah puasa badan. Puasa dipahami sebagai menahan makan, minum, dan syahwat mulai dari terbit fajar sampai tenggelam matahari. Orang awam memandang kalau sudah lulus dari godaan makan, minum, dan syahwat selama waktu itu artinya sudah berpuasa. Sesuai tujuannya, hasil puasa ini ialah turun berat badan.
Puasa orang saleh adalah puasa nafsu. Puasa dipahami sebagai penyucian jiwa dari sifat tercela, seperti marah, dengki, cemburu, rakus, dan tamak. Mampu puasa lahiriah tanpa peningkatan pengendalian nafsu bagi orang saleh belum dipandang sebagai puasa. Itu sebabnya mereka terus berjuang menahan nafsu selama puasa.
Puasa orang arif adalah puasa hati. Puasa dipahami sebagai sarana ubudiah, menjinakkan hati kepada Tuhan dan menjauhkan kelalaian. Tidak makan-minum, terkendali nafsu, tapi tidak meningkat rasa cinta dan takut pada Tuhan dipandang orang arif belum puasa. Puasa adalah madrasah penempaan jiwa, yang tadinya lalai jadi khusyuk dengan Tuhan.
Baca Lagi: Dukung Kebebasan Aspirasi, Ketua Syarikat Islam Hamdan Zoelva Bantah Jadi Kontributor Aksi 114
Kira-kira di tingkat manakah puasa kita? Nabi Muhammad membagi tiga waktu Ramadhan: sepuluh hari pertama, sepuluh hari kedua, dan sepuluh hari ketiga. Sepuluh hari pertama adalah rahmat, sepuluh hari kedua adalah ampunan, dan sepuluh hari ketiga adalah pembebasan api neraka. Orang awam targetnya rahmat Allah.
Orang saleh targetnya ampunan Allah. Orang arif targetnya membebaskan manusia dari segala belenggu, kecuali Tuhan.
Rasulullah telah mencontohkan sejumlah program yang layak kita hidupkan di bulan mulia ini. Pertama puasa itu sendiri. Ramadhan adalah bulan puasa. Puasa itu wajib. Tapi, puasa Ramadhan lebih dari kewajiban, yaitu program perbaikan diri yang sangat bertuah, program pengendalian nafsu sesungguhnya. Secara lahiriah kita diminta menahan makan, minum, dan seks di siang hari, namun secara batiniah puasa menawarkan pengendalian nafsu yang rendah, liar, dan hewaniah menuju nafsu yang tinggi, jinak, manusiawi. Puasa membawa pelakunya meninggalkan kehewanan menuju kemanusiaan yang bermartabat. Indah bukan?
Program kedua ialah menyempurnakan shalat. Shalat wajib yang mungkin biasa dilakukan sendiri-sendiri dan telat, sekarang dipicu dilakukan berjamaah tepat waktu. Berjamaah shalat tidak harus menunggu 40 orang. Dua orang sudah cukup. Lebih bagus lagi dilakukan di masjid. Dengan demikian manfaatnya utuh secara dimensi ritual dan sosial.
Shalat wajib dapat kita lengkapi shalat rawatib. Yang tak boleh kita lalaikan sudah barang tentu shalat tarawih, sebab kita hanya diberi peluang setahun sekali mengerjakannya. Tak dapat berjamaah, tarawih dapat dilakukan sendiri. Kita cukup-cukupkan pula tahajudnya sebelum sahur. Shalat tahajud lengkap dengan wiridnya tentu tak boleh dilewatkan. Bangun untuk sahur jangan hanya digunakan untuk makan, minum, dan chatting.
Program ketiga adalah mengkhatamkan baca Al-Qur’an. Karena kesibukan, banyak dari kita tidak sempat mengkhatamkan Al-Qur’an di luar Ramadhan. Al-Qur’an tidaklah tebal. Imam Syafi’i bisa khatam Al-Qur’an 60 kali selama Ramadhan. Artinya beliau khatam Al-Qur’an 2 kali sehari. Saya sendiri lebih sering tidak khatam sekalipun selama Ramadhan. Ini sungguh keterlaluan. Jangan ditiru. Saya harus meniru kawan-kawan yang selalu khatam Al-Qur’an di bulan Ramadhan atau bahkan setiap bulan.
Sebenarnya, kalaulah mau menyisihkan waktu membaca dua lembar (empat halaman) setiap habis shalat fardhu, berarti kita menuntaskan 10 lembar (20 halaman) sehari semalam. Satu juz Al-Qur’an itu 10 lembar. Artinya dengan cara itu kita bisa membaca satu juz. Kalau bisa kita lakukan istikhamah selama 30 hari, kita pasti khatam Al-Quran selama bulan Ramadhan.
Selain baca Al-Qur’an, mengulang-ulang hapalan sudah barang tentu tak boleh dilewatkan. Mungkin banyak di antara kita pernah direzekikan hapal ayat-ayat favorit, mampu hapal beberapa juz, atau bahkan 30 juz. Karena kesibukan sehari-hari, hapalan itu bisa hilang begitu saja. Padahal rasanya setengah mati mencoba mengingat lagi. Akibatnya ayat yang dibaca setiap shalat selalu sama, itu-itu saja. Nah, kawan, mari kita sama-sama mengulangi kembali hapalan Al-Qur’an di bulan mulia ini. Insyaalah yang sudah hilang akan datang kembali. Siapa tahu di bulan ini kita dapat tambahkan lagi hapalan walaupun beberapa ayat.
Ramadhan secara khusus disebut Rasulullah sebagai “Syahrul Qur’an.” Artinya, kita tak cukup kalau hanya membaca Al-Qur’an. Kita juga diminta menelaah isinya. Program ini sebaiknya dilakukan dengan bantuan guru. Tak semua orang mampu memahami isi Al-Qur’an secara rinci. Lebih-lebih lagi tak semua orang mampu mengintegrasikan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi dengan bantuan disiplin ilmu lain seperti nahwu, sharaf, dan balaghah. Program ini bisa kita lakukan dengan membaca buku tentang Islam atau mendengarkan banyak kajian.
Apa lagi ya? Oh ya, Ramadhan adalah bulan sedekah. Nyok bareng-bareng kita bersedekah setiap hari. Jangan biarkan satu hari pun berlalu tanpa infak dan sedekah. Yang masih punya utang zakat mal, bulan Ramadhan adalah pelunasannya. Zakat mal memang tak mesti dibayar sekali setahun. Kalau ada peluang, boleh dibayar secara bulanan atau dicicil. Bahkan ada yang menjadikan zakat mal sebagai tabung takwa. Walaupun dicicil, manfaatkan Ramadhan sebagai bulan pelunasannya, sehingga di bulan ini kita tunaikan kewajiban zakat setahun.
Selamat menunaikan semua program itu. Mari saling mendoakan semoga pelaksanaan program Ramadhan kali ini lebih baik dari tahun lalu. Marhaban ya Ramadhan. Mohon maaf lahir dan batin. [ ]
*Tulisan ini merupakan buah karya peserta program pelatihan menulis Salman Moving Class yang dikelola Yayasan Salman Mahir Cerdas.