Spiritus

Tubuh dan Mulut Al- Harits Al-Muhasibi Tidak Menerima Barang Syubhat

Tetapi  ketika Harits al-Muhasibi hendak mengambilnya, tangannya mengejang tak dapat digerakkan. Sempat ia memasukkan sesuap makanan ke dalam mulutnya, tetapi tidak bisa ditelannya walau bagaimanapun ia paksakan.

JERNIH—Seperti ditulis sebelumnya tentang pengaruh besar Al-Muhasibi kepada Al-Ghazali, pemikiran sufi besar ini memang memiliki kadar intelektualitas dan penghayatan rohani yang tinggi.

Beliau menuangkan analisis dan penilaian kritisnya itu dalam sebuah kitab, “Al- Washaya”. Kitab tersebut pada dasarnya merupakan kumpulan beberapa kitab yang ditulis al-Muhasibi. Beberapa di antaranya yang telah berhasil ditahkik dan diterbitkan adalah “Bud’u Man Anaba Ilallah”, sebuah kitab yang dipublikasikan seorang orientalis Jerman, Halmout Reiter.

Al-Washaya juga memuat kitab tentang tata cara shalat (fahm as-shalat). Selain itu, dalam kitab at-Tawahhum, al-Muhasibi secara spesifik menyampaikan nasihat-nasihat, khususnya menyinggung ihwal kondisi di alam barzah dan akhirat, kelak. Antara lain tentang sakitnya kematian, kondisi kiamat yang mengerikan, siksa bagi orang kafir, serta syafaat dan balasan surga bagi hamba-Nya.

Kumpulan beberapa kitab karya al-Muhasibi itulah yang oleh seorang muhakik diberi judul “al-Washaya”, lantaran kitab itu tak hanya memuat rentetan khutbah atau nasihat kering yang acap kali disampaikan para ulama semasanya. Lebih dari itu, al-Washaya dan hampir keseluruhan kitab karya al-Muhasibi ditulis sebagai hasil kontemplasi dan pengalaman olah spiritual yang mendalam.

Ketajaman penanya tak cuma menyentuh sisi penempaan jiwa, tetapi juga kental bahasan syariat melalui perspektif ilmu fikih. Hampir tiap kitab yang pernah ditulisnya merupakan dokumentasi hasil percakapannya dengan beberapa tokoh. Ada yang berupa jawaban atas pertanyaan, ada pula analisis pribadi untuk menjawab suatu permasalahan. Sisi inilah yang menjadikan “al-Washaya” unggul dibandingkan dengan karya yang pernah ada serta yang ditulis di masa berikutnya.

Beberapa anekdot seputar Al-Harits Al-Muhasibi

Warisan 30 ribu dinar

Diceritakan bahwa Harits al-Muhasibi menerima warisan sebesar tiga puluh ribu dinar dari ayahnya.

“Serahkan uang itu kepada negara,” kata Muhasibi.

“Mengapa?” orang-orang bertanya.

“Menurut sebuah hadits shahih,” jawab Muhasibi. “Nabi SAW pernah berkata bahwa orang-orang Qadariah adalah orang-orang magi (sebutan untuk tokoh agama Majusi) di dalam masyarakat kita. Ayahku adalah seorang Qadariyah. Nabi pun pernah berkata bahwa seorang Muslim tidak boleh menerima warisan dari seorang  magi. Bukankah ayahku seorang magi dan bukan seorang Muslim?”

Tangan yang tak bisa meraih makanan syubhat

Perlindungan Allah sangat besar kepadanya. Apabila al-Muhasibi hendak meraih makanan yang diragukan kehalalannya, urat di belakang jari-jari tangannya akan mengejang dan jari-jarinya tidak dapat digerakkan seperti yang dikehendakinya. Bila hal seperti ini terjadi, tahulah ia bahwa makanan itu diperoleh dengan tidak wajar.

Junaid meriwayatkan : “Pada suatu hari, Harits mengunjungiku, tampaknya ia sedang lapar. “Akan kuambilkan makanan untukmu, Paman,”kataku.

“Baik sekali, terima kasih,” jawab Harits al-Muhasibi.

Aku pun pergi ke gudang mencari makanan. Kudapatkan sisa-sisa makanan yang diantarkan kepada kami dari suatu perayaan perkawinan untuk makan malam. Kuambil makanan itu dan kusuguhkan kepada Harits al-Muhasibi.

Tetapi  ketika Harits al-Muhasibi hendak mengambilnya, tangannya mengejang tak dapat digerakkan. Sempat ia memasukkan sesuap makanan ke dalam mulutnya, tetapi tidak bisa ditelannya walau bagaimanapun ia paksakan.

Untuk beberapa lama dikunyah-kunyahnya makanan itu, kemudian ia pun berdiri, pergi ke luar, meludahkannya di serambi, dan permisi pulang.

Di kemudian hari aku tanyakan kepada Harits al-Muhasibi, apakah sebenarnya yang telah terjadi. Harits al-Muhasibi menjawab, “Waktu itu aku memang merasa sangat lapar, dan ingin menyenangkan hatimu. Namun Allah memberi isyarat khusus kepadaku sehingga makanan yang diragukan kehalalannya tidak dapat kutelan, sedang jari-jariku tidak mau menyentuhnya. Aku telah berusaha sedapat-dapatnya menelan makanan itu, tetapi percuma. Dari manakah engkau memperoleh makanan itu?”

“Dari seorang kerabat,” jawabku.

Kemudian aku berkata,” Tetapi sekarang maukah Engkau datang ke rumahku?” “Baiklah,” jawab Harits al-Muhasibi. Aku pun pulang bersamanya.

Di rumah kukeluarkan sekerat roti kering dan kami pun segera memakannya. Harits al-Muhasibi kemudian berkata,“Makanan yang seperti inilah yang harus disuguhkan kepada para guru sufi.” [  ]

Sumber : “Tadzkiratul Auliya”, karya Fariduddin Attar

Back to top button