POTPOURRI

Syaqiq dari Balkh dan Nasihat Buat Sultan Harun Al Rasyid

“Engkau adalah air mancur dan anak buahmu adalah alirannya. Apabila air mancur itu bening maka ia tidak akan tercemar karena kekeruhan aliran-alirannya. Apabila air mancur itu keruh, apakah mungkin aliran-alirannya akan bening?”

JERNIH—Abu Ali Syaqiq bin Ibrahim Al-Azdi dari Balkh adalah ulama sufi berwawasan luas. Awalnya ia mencari nafkah sebagai pedagang, tetapi kemudian memfokuskan diri mengikuti jalan zuhud. Ia menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan mati syahid dalam sebuah pertempuran suci pada 194 H (810 M).

Hatim Al-Asham, sesama ulama sufi, mengisahkan cerita tentang Syaqiq ini. Bersama Syaqiq  aku ikut berjuang dalam sebuah pertempuran suci. Suatu hari terjadi pertempuran yang begitu sengit. Prajurit-prajurit dari kedua pihak bentrok dan yang terlihat hanya ujung-ujung tombak, sementara anak panah mencurah bagai hujan dari angkasa.

“Hatim!” panggil Syaqiq. “Bagaimana Engkau menikmati semua ini? Barangkali Engkau menganggap pertempuran ini sama seperti tadi malam, ketika Engkau berada di peraduan bersama istrimu.”

“Sama sekali tidak,” jawabku.

“Dengan nama Allah, mengapa tidak?” tanya Syaqiq. “Itulah yang kurasakan saat ini. Aku merasa seperti itu sekarang ini.”

Saat malam tiba, Syaqiq terbaring dan menyelimuti tubuhnya dengan jubah. Ia pun terlelap. Sedemikian sempurna kepasrahannya kepada Allah, sampai-sampai meskipun terkurung oleh pasukan musuh yang demikian banyak. Ia masih dapat tertidur pulas.

Suatu hari Syaqiq sedang memberikan ceramah ketika mendengar berita bahwa pasukan kafir telah berada di gerbang kota. Syaqiq segera keluar dan mengobrak-abrik pasukan musuh, kemudian kembali. Seorang murid menaruh seikat bunga di dekat sajadahnya, Syaqiq memungut bunga-bunga itu kemudian menghidunya (menciumnya).

Melihat perbuatan Syaqiq, seseorang yang tak tahu kejadian tadi berseru. “Pasukan musuh sudah berada di gerbang kota, tetapi imam kaum Muslim masih menciumi bunga!”

“Si Munafik hanya melihat bunga-bunga yang kuhidu, tetapi tak melihat betapa orang-orang kafir sudah kuobrak-abrik,” kata Syaqiq.

                                                **

Syaqiq melakukan perjalanan ke Mekkah untuk menjalankan ibadah haji. Begitu tiba di Baghdad, Sultan Harun Al Rasyid memanggilnya.

“Apakah Engkau Syaqiq Sang Pertapa?” tanya Khalifah Harun, ketika Syaqiq dibawa menghadapnya.

“Aku Syaqiq,” jawab  Syaqiq,” Tetapi bukan Sang Pertapa.”

“Berilah aku nasihat,” kata Harun.

“Kalau begitu, dengarkanlah,” kata Syaqiq. “Allah Maha Besar memberimu kedudukan Abu Bakar yang setia dan Dia menghendaki kesetiaan yang sama darimu. Allah memberimu kedudukan Umar yang dapat membedakan kebenaran dari kepalsuan. Dia menghendaki Engkau pun dapat membedakannya. Allah memberimu kedudukan Utsman yang memperoleh Dua Cahaya kesederhanaan dan kemuliaan, dan Dia menghendaki agar Engkau pun bersikap demikian. Allah memberimu keddudukan Ali yang diberkahi-Nya dengan kebijaksanaan dan sikap adil, Dia menghendaki agar Engkau pun bersikap bijaksana dan adil.”

“Lanjutkan,” seru Harun. Puluhan abad kemudian seorang kandidat presiden menggunakan kata itu sebagai tagline kampanyenya.

“Allah memiliki tempat yang dinamai Neraka,” kata Syaqiq. “Dia menunjukmu sebagai penjaga pintunya, dan mempersenjataimu dengan tiga hal—kekayaan, pedang dan cambuk. Allah memerintahkan:”Dengan kekayaan, pedang dan cambuk ini usirlah umat manusia dari Neraka. Jika ada yang datang mengharapkan bantuanmu, janganlah Engkau bersikap kikir. Jika ada yang menentang perintah Allah, ajari ia dengan cambuk ini. Jika ada yang membunuh sesamanya, tuntutlah pembalasan yang adil dengan pedang ini! Jika Engkau tidak melaksanakan perintah Allah, maka Engkau akan menjadi pemimpin orang-orang yang akan masuk ke Neraka.”

“Lanjutkan!” kata Harun mengulang.

“Engkau adalah air mancur dan anak buahmu adalah alirannya. Apabila air mancur itu bening maka ia tidak akan tercemar karena kekeruhan aliran-alirannya. Apabila air mancur itu keruh, apakah mungkin aliran-alirannya akan bening?”

“Lanjutkan,” kata Harun lagi.

“Andai saja Engkau hampir mati kehausan di tengah gurun,” kata Syaqiq melanjutkan, “Dan pada saat itu seseorang menawarkan seteguk air, berapa harga yang berani Engkau bayar untuk air itu?”

“Berapa pun yang dimintanya,” jawab Harun.

“Dan seandainya ia hanya mau menjual air itu seharga separuh kerajaanmu?”   

“Aku akan memberikannya,” jawab Harun.

“Kemudian seandainya air yang Engkau minum itu tidak dapat keluar dari tubuhmu sehingga Engkau terancam mati,” lanjut Syaqiq,” setelah itu datang seseorang yang menawarkan bantuannya kepadamu. “Akan kusembuhkan Engkau tetapi serahkan separuh dari kerajaanmu kepadaku”, apa yang akan Engkau lakukan?”

“Aku akan menerima tawaran itu,” jawab Harun.

“Jadi, mengapa Engkau membanggakan diri dengan sebuah kerajaan yang harganya hanya seteguk air yang Engkau minum lantas Engkau keluarkan kembali?”

Harun menangis dan melepas Syaqiq dengan segala kehormatannya. [dsy]

Dari “Tadzkiratul Auliya” dari Fariduddin Aththar , Penerbit Zaman, 2018

Back to top button