SCRIPTA MANENT: BELAJAR MUDAH PRAKTIK JURNALISTIK

Mencari buku yang dapat membimbing praktik jurnalistik dengan mudah, buku SCRIPTA MANENT: BELAJAR MUDAH PRAKTIK JURNALISTIK adalah buku yang Anda cari itu. Ditulis oleh praktisi jurnalistik, wartawan yang malang-melintang, Darmawan Sepriyossa, buku setebal 240 halaman ini ditulis dengan bahasa yang renyah dan mudah dipahami.
Praktik jurnalistik dari mulai perencanaan, pelaksanaan liputan dan wawancara, editing laporan, dipaparkan dalam buku terbitan SituSeni tahun 2024 ini.
Bagi sekolah yang dapat membeli melalui dana BOS, buku ini bisa dipesan lewat Siplah, pada link: https://siplah.blibli.com/merchant/product-detail/SSIT-0008-00019
Berikut adalah tuturan testimoni dari pakar bahasa, pakar dan praktisi jurnalistik.

Seperti bersepeda, jika ingin bisa mengendarainya kayuhlah sepeda itu. Begitu juga kalau ingin bisa menulis, tulislah yang patut ditulis. Semakin sering membuat tulisan dengan prosedur tertentu akan semakin baik hasilnya. Jadikan buku ini sebagai penyemangat menulis dan sebagai penguat kualitas karya tulis.
Ibnu Hamad, Profesor Ilmu Komunikasi FISIP UI.

Karena scripta manent, tulisan akan abadi, maka buku seperti yang ditulis wartawan senior Darmawan Sepriyossa ini semakin kita butuhkan. Agar tulisan yang akan abadi itu berkualitas baik dan layak dibaca dan dijadikan pelajaran oleh generasi mendatang. Saya rasa tidak berlebihan mengatakan bahwa buku ini adalah saripati yang dipetik dari pengalaman panjang dan berliku Sdr. Darmawan Sepriyossa dalam mengabdikan diri sebagai wartawan yang berjuang di garis depan. Karakter dan kepribadiannya adalah sisi lain yang kita temukan di buku ini.
Teguh Santosa, Ketua Umum JMSI. Mantan Wakil Presiden Confederation of ASEAN Journalists (CAJ).

“Bagi saya, Darmawan Sepriyossa bukan sekadar seorang jurnalis, lebih dari itu ia adalah pejuang yang menggunakan kata-katanya untuk mempengaruhi dan mengubah. Saya selalu menemukan kedalaman pemikiran dan keluhuran nilai yang dijunjung Darmawan dalam setiap karya jurnalistiknya. Buku ini mengupas bagaimana selama ini ia melakukannya. Praktis namun filosofis.” —Fahd Pahdepie, CEO Inilah.com.

Baru kali ini saya menemukan buku penulisan jurnalistik yang membongkar rahasia dapur kerangka acuan kerja (KAK) peliputan. Topik itu dan berbagai topik unik lain, seperti teknik wawancara dan bercerita, yang ada pada buku ini niscaya akan memperkaya wawasan wartawan, pegawai humas (PR), dan siapa pun yang berminat dengan tulisan jurnalistik.
Ivan Lanin, Direktur Narabahasa, Wikipediawan, dan Pencinta Bahasa Indonesia.
Bionarasi Penulis

Sekilas wajar bila orang memandang Darmawan Sepriyossa seorang ‘kutu loncat’, atau bahkan seorang ‘quitter’, orang yang gampang menyerah. Karier kewartawanannya dipenuhi banyak kantor. Mulai dari Republika (1996), Majalah Panji (1997), Majalah TEMPO (1998-2005), Suara Karya (2005-2006), kembali lagi ke Republika (2006), Alif TV (2013), Inilah.com (2014), Sportourism.id dan Gardanasional.id (2015-2018), Jernih.co (2019-2022), sebelum kembali bergabung dengan Inilah.com saat situs berita tersebut reborn. Belum lagi kalau aktivitas paralelnya dihitung juga. Misalnya, pada kurun 2007-2009, ia juga menulis laporan pendek untuk topik sosial-keamanan di Radio Australia (ABC) seksi Indonesia.
Itu di luar “jalan yang benar” sebagai pekerja di Bappenas (1996-1997), yang ia tinggalkan, meski sesuai dengan jalur pendidikannya saat kuliah, yakni Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran (UNPAD).
Tentang ‘kutu loncat’ dan ‘quitter’ pun itu, tampaknya ia tak ambil pusing untuk memikirkan alasan pembelaan. Darmawan hanya bersyukur hal itu membuatnya punya banyak jaringan pertemanan, selain jadi lebih tahu karakter perusahaan.
Pujian pertama atas tulisan Darmawan datang dari guru kelas V-nya di SDN Inpres Lapangsari, Kadipaten–Majalengka, alm Pak Idris Ardi Suwardi, di tahun ajaran 1981/82. Gurunya itu membaca karangannya dalam ujian Catur Wulan III. Darmawan yang saat itu memilih judul pilihan “Cita-citaku” menceritakan keinginannya menjadi penerbang (pilot) di saat dewasa. Tapi ceritanya diakhiri dengan tragis, saat pesawat yang ia kemudikan melintas wilayah Afghanistan tertembak roket, entah dari pasukan Mujahidin atau dari gerombolan tentara Uni Sovyet yang saat itu menjajah Afghanistan. Untunglah, sesaat sebelum Malakal Maut menarik nyawa dari kerongkongannya, datang pertolongan, yakni dengan terbangunnya Darmawan dari mimpinya.
Tetapi kegemaran menulis dan mengirimnya ke media massa diawali dengan tulisan yang ia kirim ke koran mingguan Islam, “Tabloid Salam”, yang memuat dan membayarkan honor untuknya. Juga ketika penulis-penyair Diah Hadaning (almh) mengiriminya surat, memuji sebuah cerpen yang diikirim Darmawan untuk mingguan Swadesi, di desk budaya yang dijaga almarhumah. “Cerpen Ananda memiliki kemiripan gaya dengan cerpenis besar Gerson Poyk,” tulis Diah Hadaning, yang selalu ia ingat. Sayang surat tersebut hilang di saat-saat Darmawan bekerja sebagai petugas cleaning service di Gedung Palaguna-Nusantara, Bandung, 1989-1990. Kedua tulisan itu dibuat dan dimuat saat Darmawan duduk di bangku SMA.
Saat kuliah, giliran Darmawan yang memuji dan berterima kasih kepada kemampuannya menulis. Dengan banyak menulis, saat kuliah itu ia bisa membantu keluarga membayar uang kuliah—Rp 60 ribu per semester ketika satu artikel dibayar Pikiran Rakyat Rp 75 ribu. Apalagi bila dimuat di koran-koran nasional. Pada era awal 1990-an itu, Harian Kompas sudah membayar satu artikel sekitar Rp 450 ribu. Dari menulis pula, anak yang lahir di kampung Cibasale, Majalengka, itu bahkan bisa membeli kendaraan roda dua dan roda empat saat kuliah.
Untuk mengasah kepedulian dan sensivitasnya sebagai penulis, Darmawan muda banyak melibatkan diri dalam aktivisme kemahasiswaan. Selain pernah menjadi ketua Senat Mahasiswa FE UNPAD sekaligus ketua Presidium Senat Mahasiswa UNPAD 1994-95, Darmawan bergabung dalam banyak aktivitas kemahasiswaan ekstra kampus saat itu, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bandung, Komite Pergerakan Mahasiswa untuk Rakyat Indonesia (KPMURI), Pemuda dan Mahasiswa Islam Bandung (PMIB).
Pada 1995, saat Forum Dialog Indonesia (FDI) menerbitkan bunga rampai pemikiran “Membangun Kemandirian Indonesia” (Gramedia), satu artikel Darmawan, “Nasib Publik di Sebuah Republik” menjadi salah satu tulisan di dalamnya. Hanya ada dua tulisan mahasiswa di sana, tulisan Darmawan dan tulisan Fadli Zon. Sebuah tulisan masa mahasiswanya juga pernah diminta masuk menjadi bagian dari bunga rampai tulisan yang disusun almarhum HB Yassin, “Kontroversi Al Qur’an Berwajah Puisi” terbitan Grafiti Pers 1996. Ia juga membantu buku karya Sinansari Ecip, “Soeharto: 1998”, tentang kejatuhan pemimpin Orde Baru tersebut.
Dalam soal tulis menulis Darmawan merasa sangat berutang budi kepada beberapa mentor yang sempat mengarahkannya; antara lain Farid Gaban (di Republika dan Majalah TEMPO), alm. Syu’bah Asa (di Majalah Panji), alm. Yusril Jalinus, Goenawan Muhammad dan alm. Amarzan Loebis (TEMPO). Goenawan tak pernah mengarahkannya langsung, meski termasuk yang pertama kali membimbing secara tak langsung melalui Catatan Pinggir, yang dibaca Darmawan sejak kelas 5 SD, hampir setiap pekan, dengan beragam cara.
Saat Pak Syu’bah kembali mengampu pelatihan menulis di TEMPO, awal 2000, sastrawan cum ahli tafsir itu sempat berseloroh, bahwa sepanjang sejarah Majalah TEMPO, hanya Darmawan yang pernah—karena kemudian dihapus— ditulis di masthead dengan didahului huruf “H” untuk menunjukkan pernah berhaji.
Mulai 2010 Darmawan aktif kembali menulis buku, ditandai terbitnya “Rock-N-Roll Mom” (Mizan, 2010), “Maher Zain” (Mizan), “Siami” (tidak jadi terbit), serta “Lodaya: Cinta Pemuda Harimau” (Bintang Permata Publishing, 2013). Tulisan Darmawan juga pernah diminta untuk masuk pada bunga rampai “Hatta Bercerita: Cerita Tentang Keberanian”, yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, 2013. Selama kurun waktu itu hingga 2023, banyak buku yang ditulis Darmawan dalam posisinya sebagai ghost writer. Namun begitu, ada pula karya-karya yang ditulis atas namanya sendiri, yakni antara lain, “Malik” (tentang masa muda HAMKA), dan “Ukur”, tentang kepahlawanan Dipati Ukur.
Di waktu-waktu luangnya, Darmawan juga seringkali diminta mengampu pelatihan-pelatihan penulisan. Beberapa lembaga yang per-nah melibatkannya dalam pelatihan, antara lain, Forum DKM se-Solo, BEM FEB Unpad, HMI Cabang Bandung, BEM Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, UIN Jakarta, Kementerian PAN-RB, Bank Indonesia, PATTIRO (Pusat Telaah dan Informasi Regional)-Setjen Parlemen Timor Leste, dsb, selain mengampu pelatihan internal di Inilah.com.
Sempat mempertanggungjawabkan perbuatannya menerbitkan Tabloid Obor Rakyat yang dianggap menghina Jokowi, pada Januari 2019 Darmawan menghirup kembali udara kebebasan. Pengalaman hidup di balik jeruji itu senantiasa dikenangnya dengan penuh syukur. Selain kecilnya proporsi jurnalis yang sempat mendekam di penjara, kehidupan di balik terali besi itu pun banyak menyadarkan Darmawan akan makna hidup, hubungan antarsesama manusia, serta hubungan manusia dengan Tuhan, yang didapatnya secara langsung, bukan hanya cerita orang dan dari bacaan.
Seperti ditulisnya di penutup belakang buku Lodaya (2013), ia sempat ingin menyelesaikan “2030”, novel futuristik yang mulai ditulis-nya sejak 2010 tentang kehancuran Indonesia. Namun buku itu urung ia rampungkan dengan alasan tidak tega. [doddy ahmad fauji]