5 PUISI HERMIN

IBUMU BUKAN SALMON
Nak, Ibumu bukan salmon
Yang rela berjuang menempuh beribu kilometer nadi kehidupan sarat rintangan
Yang pulang ke sungai asal untuk menjemput kematian demi merawat kehidupan
Ibu ingin menyertaimu lebih lama
Melihatmu mengenakan toga, bekerja, berkeluarga, melanggengkan generasi yang saleh-saleha
Terpenting dari itu, ibumu bertahan hidup agar bisa terus menjadi pengemis di gerbang Arasy, melekatkan rida-Nya di setiap sel darahmu
Cirebon, 7 April 2025, 21.25 WIB
***
CATATAN REDAKSIONAL
IBU, BUKAN SALMON, TAPI SELALU PULANG
oleh IRZI Risfandi
Puisi Hermin yang berjudul “Ibumu Bukan Salmon” adalah semacam tamparan manis yang datang dari seorang ibu generasi X kepada generasi Z atau milenial—tapi bukan untuk menggurui, melainkan untuk menghangatkan hati, menyodorkan cinta, dan menyelipkan doa dalam format yang lowkey mewah. Judulnya langsung mencuri perhatian dengan metafora tak biasa: salmon. Si ikan tangguh yang pulang menentang arus demi menetas dan mati. Tapi Hermin, ibu dalam puisi ini, menyatakan dengan tegas bahwa dirinya bukan salmon. Bukan karena ia tak kuat, tapi karena ia memilih cara cinta yang lebih panjang umur dan lebih everyday, lebih dekat dengan kenyataan dapur, doa, dan derai peluh perempuan Indonesia sehari-hari.
Sebagai seorang perempuan kelahiran Cirebon tahun 1973 yang menyelesaikan pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dari S-1 hingga S-2, Hermin bukanlah nama baru di dunia sastra sunyi. Ia bukan sosok viral di TikTok atau trending di X (Twitter dulu), tapi puisinya—diam-diam—menyusup ke ruang paling sunyi dalam diri kita. Ia adalah penulis yang matang secara emosional dan spiritual. Kita bisa membayangkan Hermin menulis puisi ini bukan di kafe estetik atau saat healing ke Bali, melainkan dari sebuah ruang tenang—mungkin setelah mencuci piring atau menidurkan cucu. Inilah puisi yang lahir dari napas panjang kehidupan, bukan dari letupan instan.
Puisi ini centil dalam caranya sendiri. Kalimat “Ibumu bukan salmon” terdengar seperti punchline dari ibu-ibu cerdas yang relate tapi juga sastrawi. Ia membuka puisi dengan metafora hewan yang biasanya muncul di Discovery Channel atau diet orang-orang urban, tapi kemudian menggesernya ke konteks yang sangat lokal dan penuh kehangatan: seorang ibu yang ingin melihat anaknya tumbuh, menikah, dan memiliki anak-anak yang saleh-salehah. Tidak ada kata-kata besar seperti “revolusi” atau “kontestasi wacana.” Tapi ada cinta yang tak habis-habis, tersirat dalam kalimat: “melekatkan rida-Nya di setiap sel darahmu.” Ini bukan puisi ‘wah’ yang bikin kita mikir keras. Ini puisi yang bikin kita diem sebentar, lalu nyari HP, dan japri ibu: “Ma, sayang.”
Namun, Hermin tidak sedang bermain manis-manis semata. Ia menggoda pembaca dengan struktur naratif yang sederhana tapi terencana: dari metafora salmon, masuk ke keinginan-keinginan seorang ibu, lalu ditutup dengan alasan eksistensial: bertahan hidup sebagai pengemis di gerbang Arasy. Ini bukan hanya soal kasih sayang ke anak, tapi juga tentang spiritualitas perempuan yang tak sedang berdakwah, melainkan sedang mencintai. Puisi ini tidak preachy, tapi dalam. Tidak merengek, tapi merengkuh. Dan iya, jika puisi ini difilmkan, ia bisa jadi monolog pembuka film semi-dokumenter berlatar Cirebon, dengan narasi suara lembut ibu yang menatap anaknya dari balik pintu kamar subuh hari.
Mungkin Hermin bukan salmon, tapi dalam dunia puisi, dia tetap berenang melawan arus zaman: di mana sebagian orang sibuk mencari ‘like’, ia tetap tekun menulis untuk menyentuh hati. Puisi ini adalah napas panjang dalam riuh dunia serba cepat. Bagi siapa pun yang pernah—atau sedang menjadi anak—puisi ini bukan hanya tentang ibu, tapi tentang rumah dan waktu yang selalu kita buru, tapi sering kita lupa pulang. Dan seperti Hermin bilang, ibu tak butuh arus deras, cukup tempat di doa dan darahmu.
2025
***
HILANG
Senyummu menetes dari air mata kesumba
Luka menganga kaulipat di ketiaknya
Jarum hitam bertuba
merajamnya hingga tembus ke urat jiwa
sisakan lubang yang dasarnya tiada
O, kubang duka
rasa tawar paling mawar
memucat segala senyuman
Cirebon, 6 April 2025, 7.56 WIB
***
JANGAN PALINGKAN WAJAH
Hari-hari berlari
Masa berloncatan
sejak tangis pertama
Entah berapa banyak cerca dan kutuk kumuntahkan
berapa berat letih kutimpakan
berapa lebam luka memar kubenturkan
Dalam diam
kautelan semua tanpa alasan
Kini saatnya aku berkaca di buram bayang
Tolong jangan palingkan wajah
Biarkan temaram senja menyulam parasmu
biar tampak gurat duka mengintip dari kelam bola mata
sinar bulan kan obati luka-luka
sebelum fajar, darahmu B bak sungai yang mengalir tenang tenggelam dalam sujud yang mengendap hingga bayang-bayang penghalang pandang, daki yang mengerak
perlahan enyah
segala musnah
raga dan jiwaku sadrah
Cirebon, 5 April 2025, 10.08 WIB
***
GURUKU TERSENYUM
Di usia pukul 7, guru melihat bintang di ujung lidahku
Ikutlah sabung kata, ujarnya
mata juri bak burung hantu malam
menelisik tajam
siap buatku tumbang atau biarkanku tegak atas awan
Aku tetap tenang
Aksara tangan ibuku Ch erat di genggaman
Bak menapaki titian
Kadang berlari kadang melangkah hati-hati bila perlu berhenti sejenak agar dalamnya makna dapat disimak
Juri berjas peci kain sarung menghitung angka 729
Kami menakar debar di dada siapa gerangan pemenangnya
Allahu Akbar, namaku disebutnya sebagai yang pertama
Guruku tersenyum
Cirebon, 5 April 2025, 16.36 WIB
***
ANAK PANAH KATA
Ketika kata-kata tersekap jeruji dalam ruang hampa
Ia menjelma lewat puisi
menyelinap lewat celah terbuka
menyusup dari lubang kunci
Gaungnya memasuki ruang jiwa
memaksa mata lebih awas memaknai peristiwa
bukan sekadar slogan yang berkali-kali diteriakkan untuk kemudian dilupakan
Diksi meliuk bebas dalam segala rupa
Ia lentur
Ia tajam
Ia manjur
Ia penawar duka lara
Ia pembangkit semangat redup jiwa
Bersama busur puisi melesat berjuta anak panah kata
Jadi laut-rahim bermilyar ikan
jadi hutan-surga segala unggas dan satwa liar
jadi ladang-ladang subur yang menjanjikan
jadi bintang cemerlang di Galaksi Bima Sakti yang jauh
Cirebon, 20 Mei 2025, 14.01 WIB
***
BIODATA :
Hermin, perempuan kelahiran Cirebon, 15 Mei 1973. Menyelesaikan pendidikan S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di IKIP Bandung pada tahun 1997, serta S-2 pada program studi yang sama di Universitas Swadaya Gunung Jati (Unswagati), Cirebon, pada tahun 2014.
Sejak duduk di bangku SD sudah terbiasa menulis buku harian, dan mulai jatuh cinta pada puisi sejak masa SMP. Aktif mengikuti berbagai kegiatan penulisan antologi bersama, yang diterbitkan oleh sejumlah penerbit dan komunitas sastra, antara lain SituSeni, Rumah Seni Asnur, SIP Publishing, dan lainnya.
Pada tahun 2018, menerbitkan buku puisi tunggal pertamanya berjudul Kau yang Terbaik dan Kubur Waktu, yang menghimpun puisi-puisi dari rentang waktu 1987 hingga 2017. Buku tersebut diterbitkan oleh Mediaguru.
Saat ini, Hermin aktif menulis dan terus mengasah diri dalam komunitas AIS (Asqa Imagination School).
Instagram: @hermin_nokmink