Uncategorized

Reunifikasi Korea, Harapan yang Menipis; Tinjauan Sederhana Buku “Reunifikasi Korea: Game Theory”

Langkah Korea Utara pada Januari 2024 yang menghapus reunifikasi dari tujuan nasionalnya menjadi pukulan besar bagi para pendukung perdamaian. Keputusan ini mencerminkan realitas baru bahwa harapan untuk “Satu Korea” semakin menjauh. Meski begitu, sejarah membuktikan bahwa politik selalu dinamis, dan peluang rekonsiliasi masih tetap terbuka

JERNIH–Reunifikasi Semenanjung Korea telah lama menjadi impian yang diperjuangkan oleh berbagai pemimpin, diplomat, dan aktivis. Dua negara yang sejatinya berasal dari satu bangsa ini telah terpisah sejak 1948 akibat dampak Perang Dingin, yang membentuk Republik Korea (Korea Selatan) dan Republik Rakyat Demokratik Korea (Korea Utara). Meski berbagai upaya dilakukan untuk menyatukan kembali Korea, kenyataan politik global dan dinamika internal kedua negara justru semakin memperumit jalan menuju persatuan.

Teguh Santosa dan Analisis Reunifikasi Korea

Dalam bukunya “Reunifikasi Korea: Game Theory”, Teguh Santosa menganalisis prospek penyatuan Korea melalui pendekatan teori permainan. Buku ini berasal dari disertasi akademiknya yang menyoroti dinamika internal dan eksternal kedua negara, serta bagaimana faktor internasional memengaruhi keputusan strategis yang diambil oleh masing-masing pemerintahan.

Teguh menyoroti bagaimana berbagai aktor internasional, seperti Amerika Serikat, China, Rusia, dan Jepang, turut memainkan peran dalam dinamika hubungan dua Korea. Buku ini juga menyoroti bagaimana konstitusi masing-masing negara memandang reunifikasi dari sudut pandang yang berbeda: Korea Selatan melihatnya sebagai penyatuan teritorial, sedangkan Korea Utara menganggapnya sebagai bagian dari perjuangan melawan imperialisme.

Pembagian Korea bermula ketika Jepang menyerah kepada Sekutu pada Agustus 1945, mengakhiri pendudukannya atas Semenanjung Korea. Alih-alih bersatu, wilayah ini justru terbagi menjadi dua kubu: Selatan yang didukung Amerika Serikat dan Utara yang berada di bawah pengaruh Uni Soviet. Perang Korea (1950-1953) semakin memperdalam jurang perpecahan, dengan berakhirnya konflik hanya melalui perjanjian gencatan senjata tanpa perjanjian damai.

Dalam sejarahnya, beberapa momen harapan sempat muncul. Salah satunya adalah zona industri Kaesong, yang pernah menjadi simbol kerja sama ekonomi antara kedua Korea sebelum akhirnya ditutup akibat ketegangan politik. Kepemimpinan progresif di Korea Selatan seperti Presiden Kim Dae-jung dan Moon Jae-in juga sempat membawa angin segar melalui kebijakan dialog dengan Korea Utara. Puncaknya terjadi pada 2018, ketika pertemuan antara Kim Jong Un dan Moon Jae-in menghasilkan deklarasi bersama untuk perdamaian dan denuklirisasi.

Namun, harapan itu kembali memudar ketika negosiasi antara Kim Jong Un dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump di Hanoi pada 2019 berakhir tanpa kesepakatan. Ketegangan meningkat, dan Korea Utara kembali menegaskan sikapnya untuk mempertahankan kekuatan militer sebagai perlindungan terhadap ancaman eksternal.

Teori Permainan dalam Perspektif Reunifikasi

Dalam “Reunifikasi Korea: Game Theory”, Teguh Santosa menggunakan pendekatan teori permainan untuk menjelaskan bagaimana berbagai faktor berinteraksi dalam skenario penyatuan Korea. Ia membahas bagaimana strategi diplomasi, tekanan ekonomi, serta variabel politik dalam negeri di Korea Selatan dan Korea Utara berpengaruh pada kemungkinan reunifikasi.

Salah satu poin menarik dalam buku ini adalah bagaimana Teguh menggambarkan hubungan Korea Selatan, Korea Utara, dan Amerika Serikat dalam pola negosiasi yang tidak linier. Misalnya, bagaimana kebijakan “Sunshine Policy” oleh Presiden Kim Dae-jung dan Moon Jae-in membawa harapan besar sebelum akhirnya terhenti akibat pergantian kepemimpinan ke kubu konservatif yang lebih skeptis terhadap dialog dengan Korea Utara.

Langkah Korea Utara pada Januari 2024 yang menghapus reunifikasi dari tujuan nasionalnya menjadi pukulan besar bagi para pendukung perdamaian. Keputusan ini mencerminkan realitas baru bahwa harapan untuk “Satu Korea” semakin menjauh. Meski begitu, sejarah membuktikan bahwa politik selalu dinamis, dan peluang rekonsiliasi masih tetap terbuka jika terdapat perubahan kebijakan dan strategi dari kedua belah pihak.

Teguh Santosa juga mengajukan pertanyaan penting dalam bukunya: apakah reunifikasi benar-benar menjadi aspirasi utama masyarakat Korea Selatan dan Korea Utara, ataukah hanya menjadi agenda segelintir elit politik? Di satu sisi, banyak warga Korea Selatan melihat biaya ekonomi dari reunifikasi sebagai beban besar, sementara di sisi lain, pemerintah Korea Utara terus menguatkan narasi perlawanannya terhadap pengaruh luar.

Buku ini menyajikan analisis yang mendalam tentang bagaimana strategi diplomasi dan geopolitik memainkan peran kunci dalam nasib Semenanjung Korea. Teguh dengan cermat menghubungkan peristiwa sejarah, kepentingan politik, dan teori akademik untuk memberikan wawasan yang kaya bagi pembaca yang ingin memahami kompleksitas reunifikasi Korea.

Sebagai buku yang berbasis disertasi akademik, Reunifikasi Korea: Game Theory tetap mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Teguh berhasil mengemas kajian akademiknya dengan gaya bahasa yang lugas, sehingga dapat dinikmati oleh kalangan akademisi, pengamat hubungan internasional, hingga pembaca umum yang ingin memahami lebih dalam isu reunifikasi Korea.

Kesimpulannya, buku ini memberikan wawasan yang komprehensif tentang tantangan dan peluang reunifikasi Korea dengan perspektif yang tajam dan berbasis pada data serta teori akademik. Bagi siapa pun yang tertarik pada studi kawasan Asia Timur dan dinamika geopolitik global, buku ini adalah bacaan yang sangat direkomendasikan. [rls]

Back to top button