Ketika Covid itu datang, bagi Kang Budi, ia justru makhluk yang diutus Tuhan. Lalu bersama mereka bertasbih, berserah diri, membasuh sebersih mungkin untuk kembali ke keabadian yang suci. Ia telah memutuskan semua, merelakan semua, mengikhlaskan semua hubungannya yang baik dan indah dengan dunia, justru karena ia percaya, teman-temannya akan meneruskan jejak langkahnya.
JERNIH—Sadar bahwa membiarkan pikiran berkelana ke mana-mana sementara raga terperangkap dinding beton, jeruji dan kawat berduri hanya akan memperlebar jarak harapan dan kenyataan, sejak malam diambil aparat Kejaksaan dan mulai menghuni Lapas Cipinang, saya segera menyadarkan diri bahwa dunia saya telah menciut sangat sempit. Itu membuat saya merasa tak lagi layak punya keinginan, kecuali menerima apa yang dalam sekilas pandang pun masih mampu saya raih dengan tangan.
Jadi, pada Selasa malam 8 Mei 2018 itu saya langsung menahbiskan diri sendiri laiknya sufi, untuk makan apa yang datang menghampiri, minum apa pun yang ada, bahkan sekiranya itu hanya air keran semata. Saya tak ingin gara-gara tak mampu memanjakan lidah, justru kemudian terpuruk dalam kecewa dan berakhir dengan badan gering.
“Di sini, kau tak boleh sakit. Penderitaanmu justru menggembirakan orang-orang yang tidak menyukaimu,”kata saya kepada diri sendiri. Itu yang membuat saya selalu merasa harus tampil gagah, biar kalau ada info yang menerobos jeruji, menembus dinding dan kawat berduri penjara ini, di luar sana orang hanya menerima kabar bahwa di dalam saya “baik-baik saja”.
Hanya butuh dua hari saja sejak saya mulai menghuni penjara dan berazam kepada diri, semua rencana itu berantakan. Seorang senior yang tak kepalang baiknya, Budi Sulistianto namanya, menjungkirbalikkan rencana itu semua. Penjara yang semestinya membuat saya nestapa itu batal menghunjamkan taringnya untuk membuat luka yang cukup dalam hingga layak dikenang.
Alih-alih demikian, dengan obrolan bersamanya pula—dan sekian banyak teman lain yang bergantian datang menjenguk–delapan bulan menghuni Cipinang itu justru menjadi ajang pembelajaran. Kembali belajar mengeja alif-baa-taa, tak hanya dalam Juz Amma, melainkan pula belajar membaca hidup dari aksaranya yang belum berharakat. Menjadi waktu yang begitu luang untuk diam dan melihat ke dalam, serta menyadari betapa selama ini saya hanya disibukkan langkah-langkah semu yang kian berjarak dari hakikat.
***
Karena telah membatasi diri untuk berharap itu, saya tak pernah berpikir akan ada yang datang menjenguk setelah pada Rabu, hari pertama saya menghuni Lapas Cipinang itu saya kedatangan istri yang membawa aneka rupa makanan, pakaian ganti, barang-barang pribadi. Saya memang masuk Selasa malam, hampir Rabu dini hari. Semua bawaan istri itu sebenarnya nyaris membuat hidup saya normal-normal saja, kecuali kini semua harus datang dengan bantuan. Eh, pada Kamis pagi itu, pengeras suara menyerukan nama saya, mengatakan seseorang menunggu di Ruang Kunjungan.
“Siapa ya?”pikir saya, dalam perjalanan ke Ruang Kunjungan.
Entah mengapa, Kamis itu pengunjung yang mau membezoek Warga Binaan Pemasyarakatan—istilah eufimisme untuk ‘Napi’– tengah membludak. Ditambah tak tahu siapa yang datang, membuat saya harus celingukan memperhatikan seluruh pengunjung yang datang.
“Wan! Kang Darmawan, di sini!”
Ternyata Kang Budi Sulistianto, memanggil saya dari satu pojok. Meski di UNPAD ia senior jauh di atas angkatan saya, biasanya memang sapaan di antara para alumnus adalah ‘Kang’, atau ‘Akang’, sebagai sapaan sopan khas ‘urang Bandung’. Wajar ia tak meninggalkan meja itu karena berpeluang diambil-alih pengunjung lain. Meja itu bernomor, ya, dengan pembagian yang jelas, ya. Tapi mungkin sebentar di sana pun Kang Budi sudah belajar bahwa siapa pun bisa mengambil meja-kursi yang tengah sangat dibutuhkan karena membludaknya pengunjung itu, kapan saja.
“Punten ya Kang, harusnya sih dari kemarin,” kata Kang Budi, saat memeluk saya, erat. Kang Budi mengaku tahu apa yang menimpa saya dari berita tv di malam penangkapan. Tetapi rencana untuk datang di hari pertama saya jadi penghuni Lapas itu urung karena masih berada di Bandung untuk satu urusan.
Saya tak berbasa-basi manakala bilang kedatangannya itu benar-benar membuat saya tidak hanya terkejut, melainkan penuh diliputi suka cita. Karena telah lama saling kenal, saya bilang kedatangan Kang Budi membantu saya kembali merasa punya teman, tidak terasing karena seolah dibiarkan sendirian.
“Kan kita tak harus jadi fans Liverpool kalau hanya untuk bilang,” You’ll never walk alone”,” kata Kang Budi, bercanda. “Sudah begitu harusnya.” Kang Budi, tertawa lebar.
Yang saya suka, tak sekali pun pandangannya menyiratkan rasa kasihan. Selama mengobrol, entah berapa kali tangannya menepuk-nepuk bahu saya, sering dengan melontarkan doa-doa pendek untuk menguatkan semangat saya.
“Sing sabar!”
“Jangan kecil hati, kan masuk sini pun bukan karena maling duit negara.”
“Alah, ini mah ujian kenaikan maqam..”
Sisa waktu sebelum satu persatu pemegang nomor kunjungan diabsen untuk segera mengakhiri pertemuan, ia bahkan lebih banyak mengajak saya tertawa ber-ha ha ha ha. Akhirnya saya sendiri banyak bercerita pengalaman menarik dan lucu yang saya alami selama dua hari pertama itu.
Saya mengenal Kang Budi Sulistianto karena waktu mahasiswa banyak terlibat dalam aktivitas di Masjid UNPAD. Bukan hanya banyak terlibat, jujur saja, saya tinggal di masjid itu selama 80 persen masa kuliah. Konon, nama masjid itu Al Jihad, awalnya. Tetapi karena di zaman-zaman tahun 1970-an penamaan seperti itu dirasa sensitive, akhirnya lebih dikenal sebagai Masjid Universitas Padjadjaran, di kampus Dipati Ukur 35. Belakangan, kami lebih menyukai menyebutnya “MUP”, singkatan yang dekat dengan kata “Move”, gerakan. Legeg lah…
Saat saya masuk kuliah tahun 1990, Kang Budi sudah jadi alumnus. Ia kuliah tak hanya dobel seperti yang banyak dilakukan para mahasiswa saat itu, tapi tripel, dan malah quadruple alias empat sekaligus. Hal itu dimungkinkan karena biaya kuliah per semester di UNPAD saat itu murah. Angkatan 1990 saja hanya kena Rp 60 ribu per semester, apalagi angkatan-angkatan di atasnya. Sementara honor saya menulis satu artikel opini di Pikiran Rakyat saja saat itu Rp 70 ribu. Bila masuk Kompas, angkanya Rp 350 ribu, Media Indonesia sekitar Rp 150 ribu.
“Kang Budi itu FISIP Administrasi Negara angkatan 1984, kuliah juga di IKIP (kini UPI) tahun 1984. Tahun 1985 kuliah juga di Fakultas Hukum UNPAD dan Diploma tiga Pendidikan Ahli Administrasi Perusahaan (PAAP) FE UNPAD,” kata Kang Achmad Setiyaji (Kang Aji), senior saya di lingkungan penghuni MUP. “Semuanya lulus,” kata dia.
Bukan Kang Aji—FIKOM 1985–yang pertama kali mengenalkan Kang Budi, manakala datang malam-malam ke MUP bersama beberapa bungkus martabak. Tetapi (alm) Kang Totok Sukarno (FISIP 1985), kawan seiring Kang Budi dengan sifat-sifat penolong yang sama kuatnya. Waktu itu Kang Budi masih bekerja di Garuda. Martabak itulah yang menemani kami semua mengobrol ngalor-ngidul hingga satu persatu rebah di karpet, tak kuat menahan kantuk.
Pada pertemuan pertama itu saya sudah mendengar bagaimana semasa kuliah dan aktif di MUP itu Kang Budi juga menjadi sopir angkot dari mobilnya sendiri. Hasilnya ia sumbangkan untuk digunakan buat kebutuhan hidup para ‘ahlus-suffah’ MUP, para mahasiswa daerah yang umumnya datang dari kalangan bawah.
Setelah pertemuan itu, Kang Budi nyaris rutin datang satu atau dua bulan sekali ke MUP. Datang seringnya Jumat malam, sepulang kerja di Jakarta. Kadang kalau masih tergolong ‘sore’, sekitar pukul 22-an, ia akan mengajak kami makan malam di tenda-tenda penjual makanan yang berderet di Dipati Ukur. Dengan kantong kami yang rata-rata cekak, diajak makan di warung-warung tenda seperti itu cukup membuat kami girang tak alang kepalang.
Dari komunitas pedagang makanan di Dipati Ukur itu, belakangan saya mengenal Cak Kodir, penjual soto, ayam dan lele goreng. Pada waktu Bandung diramaikan demo-demo soal pelarangan jilbab, yang berlanjut dengan demo anti-judi SDSB yang saat itu digelar Pemuda dan Mahasiswa Islam Bandung (PMIB), sering di malam-malam sebelum hari ‘H’ demo Cak Kodir datang ke MUP, mencari saya, mengamanatkan sekian banyak bantuan dana, hasil urunan para penjual makanan di Jalan Dipati Ukur.
“Buat sekadar beli spidol, karton atau cat dan kain buat spanduk, Kang,” katanya, selalu.
Pada kedatangan ketiga atau keempat, waktu itu di masjid hanya ada saya, Shihabul Badri (Sastra Arab 88), Kang Deden (Sastra Rusia 87, saat ini lebih dikenal dalam nama Arab, pendakwah ternama di Bandung) dan Hadi Sucipto (Hukum 1988). Entah mengapa, pada masa itu kami berempat agak lain dibanding para aktivis MUP lainnya. Jika yang lain getol bikin kajian, mentoring, atau halaqah dan diskusi agama, kami berempat lebih banyak menangani maling-maling yang tertangkap tangan, teman-teman mahasiswa yang—menurut kami—pacaran di lingkungan masjid, dan urusan sekitar itu yang dihindari para aktivis lain.
Manakala teman aktivis MUP lain umumnya berbaju koko, kami berempat entah mengapa seringnya kompak pakai celana taktis atau celana cargo, khas para pendaki gunung. Saya sendiri waktu itu kemana-mana, panas atau pun hujan, pasti berjaket hijau muda, khas pasukan Sekutu pada waktu Perang Dunia II. Karena memang itulah satu-satunya jaket yang saya miliki, hasil ketekunan menjelajahi lapak-lapak loak di Jalan Jatayu dan menawarnya dengan semangat 45, plus muka badak.
Mungkin semua itu juga erat terkait dengan ceteknya ilmu agama yang kami (saya) punya. Entah bagaimana awalnya, kami berempat kadang dipanggil Kelompok Sufi Okem (KSO) oleh teman-teman pegiat masjid yang lain. Tidak kami persoalkan, tentu.
Barangkali Kang Budi pun mendengar hal itu. Pasalnya, selama makan yang dibayarinya itu, obrolan lebih banyak berputar pada topik tersebut. “Akang juga dulu yaa, samalah dengan kalian sekarang. Yang diurus lebih berurusan dengan otot dan angkat-angkat, antar-jemput penceramah. Urusan lain sudah banyak yang lebih pinter,” kata dia.
Begitu saya lulus pada 1996-97, dan kemudian berkeluarga, waktu untuk berjuang bertahan hidup membuat komunikasi saya, tak hanya dengan Kang Budi, melainkan dengan banyak sekali komunitas yang mengembangkan diri saya selama masa kuliah, pun terputus. Baru setelah era What’s-Ap, komunikasi kami tersambung kembali. Tak terasa, itu sudah 25-30 tahun sejak awal-awal masa kuliah.
***
“Sing sabar, wayahna. Sabarlah, tetap tabah,” kata Kang Budi, mengulang kembali pesannya beberapa saat sebelum waktu berkunjung habis. “Buat teman-teman di kamar,” katanya, menyerahkan tas belanjaan cukup besar berisi sekian banyak kantong plastic dan toples kue-kue kering. Senyumnya tak pernah usai menghias wajahnya. Untuk saya sendiri ia membawakan agenda Bank BJB untuk mencatat, beberapa batang pulpen, Alquran, lengkap dengan terjemahanya. “Buat bikin catatan agar hati Kang Darmawan luas dan tidak harus terpuruk. Maaf, asal ambil saja dulu agendanya,” kata dia.
Agenda itu terbukti banyak membantu saya selama di Lapas. Pasalnya, ternyata Humas Kementerian Hukum dan HAM via pihak Lapas beberapa kali meminta bantuan pemikiran. Saya bikin coret-coretan awal, ya di agenda pemberian Kang Budi tersebut!
Pada saat memeluk saya, terasa ada yang didorongkan ke saku celana saya, segumpal besar uang kertas. Ratusan ribu rupiah jumlahnya, manakala saya hitung di WC masjid, sore harinya, usai Ashar. “Tos…tos..sudah, sudah…”katanya, masih dengan derai tawa manakala saya sok menolak pemberian itu. “Tong ragu-ragu pami aya kaperyogian sanes. Jangan ragu kalau ada keperluan lain,” kata Kang Budi.
Uang pemberian itulah yang menggagalkan niat saya untuk menjadi seorang Napi yang sufi di Cipinang. Saya pun akhirnya ragu-ragu untuk hanya minum air keran. Pada saat melihat rupa nasi cadong yang dibagikan, kesadaran bahwa saya masih punya uang di saku membuat saya lebih memilih makan nasi reman—nasi non-cadong—yang banyak dijual di kantin dan warung makan di Lapas. Nasi reman ini laiknya nasi di dunia bebas, bahkan kadang lebih enak kalau jenis berasnya top!
Ketika kemudian ternyata begitu banyak teman yang peduli dan datang menjenguk bergantian, kebiasaan itu pun berlanjut. Di sel, kami kemudian memasak sendiri dengan peralatan seadanya. Tidak hanya lebih ekonomis, tetapi lebih bisa dinikmati banyak orang, penghuni sel kami.
Kang Budi senantiasa datang, setidaknya sebulan sekali. Kadang lebih. Beberapa kali manakala kami mengobrol di Ruang Kunjungan, saya melihat Kang Budi memperhatikan apa yang hidup di ruangan itu, mungkin pula mengkhidmati dan meraba-raba untuk mengambil pelajaran dari apa yang ia tangkap di sana.
Pernah, beberapa hari setelah Idul Adha, Kang Budi datang dengan serenteng rantang berisikan aneka masakan kambing.
“Yang dua ini gulai kambing khas Banjar,” kata dia. “Wajib dicoba.” Alhasil siang itu makan siang kami di sel adalah nasi gulai kambing yang tak hanya merah mengkilat karena kilauan lemak yang meleleh cair, tetapi juga meruapkan harum yang bikin iri rekan-rekan Napi di blok kami.
Sayangnya, teman saya Setiyardi yang tengah sakit juga tak tahan ingin ikut mencicip gulai itu. Tak banyak sebenarnya. Paling hanya sepotong dua yang dinikmatinya dengan penuh roman muka sedap. Malamnya, teman saya itu terpaksa dilarikan ke rumah sakit Lapas karena serangan stroke. Tekanan darahnya mencapai 200! Untunglah, kata dokter, hanya serangan stroke ringan.
***
Waktu masa hukuman saya habis, di luar tembok Lapas saya kian mengenal Kang Budi. Baik dari obrolan di WA grup, membaca-baca postingnya di Facebook, atau dari cerita sesama kawan. Yang saya lihat, Kang Budi selalu terlihat hadir manakala orang-orang yang ia kenal, tertimpa kesulitan. Terlebih bila ada anggota keluarga teman tersebut yang meninggal dunia. Ia pun selalu menjadi motor penggerak silaturahmi di antara kami.
Sering, ia pun menjadi seorang pengingat tanpa harus terasa kami semua diingatkan. Ia hanya berkabar, seorang teman di mana terkena musibah apa. Rasanya tak ada pekan tanpa Kang Budi—sering kali dengan istri—terlihat di grup WA atau FB datang bersilaturahmi atau menemui seseorang di antara anggota WA grup kami yang tengah sakit. Dua bulan lalu, misalnya. Ketika almarhum Kang Dudung, seorang anggota WAG kami, menderita sakit yang stadiumnya melesat tiba-tiba di titik kritis, Kang Budi pula yang hadir di rumah yang bersangkutan, membawanya ke rumah sakit, bahkan hadir pula di pemakaman ketika Allah lebih berkenan memanggil Kang Dudung pulang.
Wajar, banyak orang yang mengenalnya merasa shock, manakala kabar di Minggu pagi, 13 Juni lalu berseliweran di banyak grup WA. Kang Budi meninggalkan kami. Rindunya yang dalam kepada Allah, disambut rindu Allah yang berkenan memanggilnya pulang segera. Dengan sebab yang alamiah di masa pandemi: Covid-19.
Profesor Ahmad Mansyur Suryanegara, dalam pertemuan Zoom sehari setelah wafatnya Kang Budi, membuka fakta betapa selama ini sekian kali dirinya ditolong almarhum dengan banyak jenis dan dari sekian sisi.
“Dari membawa saya ke rumah sakit, mengurus segala administrasi, bahkan membelikan kursi roda setelah saya keluar,” kata Prof Ahmad Mansyur. Kata beliau, itu tak hanya sekali.
Sementara kami kadang hanya tahu bahwa Kang Budi menjenguk seseorang yang tengah sakit, tanpa ada informasi bahwa si sakit itu pun manakala dibawa ke rumah sakit, juga atas prakarsa Kang Budi.
Sebagai teman almarhum di Facebook, sejak 2014 lalu saya menyaksikan betapa konsennya Kang Budi menjaga seorang seniornya di FISIP, Mas Amri Husni. Pada 2014 itu tampaknya Kang Budi baru mendengar bahwa Mas Amri terserang stroke tiga tahun sebelumnya. Lalu ia berusaha melacak alamat Mas Amri, membawanya ke rumah sakit dan membantunya agar dioperasi.
“Terimakasih Kang Erwin Winaldi dan Teh Mimin As-Shofa Rukmini , doanya in-syaa Allah terkabul dan salamnya akan disampaikan. Alhamdulillah, meski msh di ICU skrg kondisi Kang Amri Husni sdh stabil. Dan pasca operasi adalah periode berat yg harus dilalui, smg istri Amri dan anak2nya dikaruniakan kesabaran oleh Allah Swt,” tulis Kang Budi di laman Facebook pada 2014 itu.
Manakala di laman FB itu Prof. Ahmad Mansyur ikut mendoakan Mas Amri, Kang Budi juga berterima kasih atas perhatian tersebut. Ia bahkan mengingatkan Prof Mansyur. “Amri Husni ini murid Bapak juga, Fisip-HI ’82, sering ngumpul di masjid Unpad. Stroke parah sejak 3 tahun lalu…”tulisnya.
Sejak itu, selama beberapa tahun saya menemukan banyak posting yang menunjukkan kekerapan Kang Budi menengok sahabatnya itu. Terlihat pula bahwa Mas Amri berkali-kali terserang kembali stroke dan masuk RS berbeda-beda.
Pada 2018 Kang Budi akhirnya juga mengetuk hati kawan-kawannya sesama alumnus FISIP UNPAD, untuk keperluan pengobatan Mas Amri. Lalu ketika pada November 2019 Mas Amri kembali terserang stroke, kembali Kang Budi yang membawanya ke HCU RS Siloam Sentosa, Bekasi. “Semoga Allah Swt mengaruniakan kebaikan dunia-akhirat kpd kawan saya ini beserta keluarganya yang sangat shalih dan sabar. Aamiin,” tulis Kang Budi saat itu.
Tahun ini, akhir Maret lalu, datang kabar dari istri Mas Amri tentang kondisi suaminya. “Mbak Endang Yanuartini (FASA Jepang ‘84), istri bang Amri Husni, mengirim pesan kpd saya bahwa sejak keluar dari ICU bang Amri Husni (FISIP HI ‘82) sdh kehilangan kemampuan berkomunikasi.. bahkan nama istri dan anak2nya (Amanda dan Omar) pun dia tidak bisa mengingat dan menyebutkannya. Kondisi tubuhnya juga semakin melemah. Mbak Endang meminta saya menjenguk bang Amri Husni di rumahnya. Alhamdulillaah menjelang Isya (Rabu, 31 Maret 2021) saya bisa datang. Dan.. luar biasa, Amri tiba2 bisa mengingat dan menyebut nama saya… serta dia meminta maaf dan doa dari semua sahabat2nya..
Semoga Allah Swt karuniakan yg terbaik bagi saudara kita yg ditimpa cobaan sakit yg sangat parah ini. Aamiin.”
***
Di laman Facebook itu, saya juga menemukan ucapan terima kasih seseorang, lengkap bersama foto keluarga yang tengah menghadiri wisuda dengan wajah penuh gembira.
“Alhamdulillah anak sy sdh diwisuda,,,,dan sy juga mengucapkan banyak trima kasih sama bpk budi yg telah banyak membantu pada kami,semoga beliu diberikan panjang umur dan diberikan kesehatan,,,,sekali lagi terima kasih banyak,,,,”
Saya mengerti mengapa Kang Budi membiarkan posting itu tetap berada di laman Facebook-nya, di tengah risiko tudingan riya dari orang-orang yang senang berpikir dangkal. Ia tentu tak akan memilih menyakiti hati keluarga yang berterima kasih itu, hanya untuk membuatnya sama sekali tak punya risiko diperbincangkan di belakang punggung.
Sikap Kang Budi pun ternyata adil. Para kerabat dekatnya juga tak pernah luput dari perhatiannya. Hampir dengan semua keponakannya, tampak almarhum sangat dekat. Beberapa yang telah kehilangan ayah mereka, seolah kompak menyebutnya ‘pengganti ayah’.
Pada hari kepulangan Kang Budi, Endah Fitridya Imaniar, misalnya, di laman Facebook Kang Budi menulis (sengaja tanpa editing). “Innalillahi wa inna illahi rojiun. Om terbaik pengganti papah, Budi Sulistianto, om yang pengertian dan sangat perhatian, semoga Allah mengampuni segala dosa nya di tempatkan di tempat terbaik di sisi Allah SWT dan semoga Allah memberikan kesabaran,ketabahan,keikhlasan utk keluarga nya dan keluarga besar yang d tinggalkan..”
Keponakannya yang lain yang tampak begitu akrab karena tergolong sering menulis posting di laman FB itu, Ichaa Trischaa, menulis,”foto terakhir aku sama Alm om Budi Sulistianto,, pada hari itu dimana kita ketawa bareng, ngobrol bareng, makan bareng dan bercanda bareng,, waktu yang singkat tapi bermakna setiap ketemu sama om budi dan yang pasti nya akan selalu di rindui oleh kami 😢 dan saat itu hari terakhir dimana aku di peluk dan di cium oleh om budi seperti hal ny dulu aku di peluk dan di cium oleh Alm papa dulu..”
Widi Persadha, salah seorang keponakan, menulis,”Masih teringat bagaimana Om Budi berusaha sekuat tenaga menembus Bandung hanya demi menjenguk mama yang sedang terbaring sakit. Itu hanya sedikit dari banyak hal yang telah dilakukan almarhum kepada keluarga kami. Selamat jalan Om Budi semoga diterima amal ibadah beliau, diampuni segala dosanya, dilapangkan kuburnya dan ditempatkan di tempat terbaik di sisi Allah SWT.”
Juga Triana Pudjiastuti, yang menulis,”Innalillahi wa innaillaihi rojiun,,,telah berpulang om kami tercinta Budi Sulistianto ,,,orang yang luar biasa dan selalu memperhatikan mama kami sepeninggalan alm. papa,,,”
Ternyata, bahkan yang diberikan Kang Budi kepada sesama, bukan sekadar harta. Hanya 10 hari sebelum kematiannya, pada 3 Juni lalu, Kang Budi menyumbangkan darah, bagian penting dari tubuhnya, untuk ke-70 kalinya. Bila menyumbang darah itu rutin per tiga bulan, kita bisa menghitung sejak kapan kebiasaan baik yang datang dari hati yang tulus untuk membantu sesama itu bermula.
Wajar bila sahabat lama yang telah dekat dengannya sejak nyaris 40 tahun lalu, Hilda Winar, tampak limbung kehilangan.
“…Ridhai dia ya Allah
Ini foto sahabat saya, nyaris 40 tahun. Sebuah perjalanan persahabatan yang luar biasa. Kemarin dia berangkat menemui Ilahi Robbi, sebuah perjalanan yang berbeda dan saya tak mau membicarakannya.
Mari kita bicara perjalanan nyaris 40 tahun itu. Nyaris tak ada keluhan sepanjang itu. Jejak langkahnya rasanya masih terlihat dari pelataran masjid universitas Padjadjaran sampai ruang ruang kuliah. Masih terasa juga manisnya takjil berbuka di bulan ramadhan yang dia usahakan.
Ah… begitu banyak. Ah… betapa ganjilnya masjid Unpad tanpamu.
Mari kita bicara tentang teman teman sepanjang nyaris 40 tahun itu.
Rasanya tak ada teman yang tak tersentuh kebaikan hatinya.
Ini orang tempat berkeluh kesah tapi nyaris tak ada keluhan keluar dari mulutnya, kecuali satu ya… saya ingat cuma satu
Tentang anaknya. Tapi itu sebenarnya juga bukan keluhan karena katanya : saya mendapat hadiah terindah dari Allah.
Ah… betapa indahnya harapmu pada Allah”
Tetapi semua kebaikan itu wajar datang dari seseorang yang yakin dan menghidup-hidupkan hadits yang ia pajang setidaknya dua kali di lamannya, dua tahun ini. Kang Budi menulis, mengutip hadits Nabi: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Jabir bin Sulaim RA “Janganlah kalian meremehkan kebaikan sedikit pun, meski itu cuma menjumpai saudaramu dengan wajah berseri-seri..” (HR. Abu Daud no. 4084 dan Tirmidzi no. 2722).
***
Selasa malam, pukul 01.41 dini hari, saya membuka kembali laman Facebook Kang Budi. Ada posting dari istri almarhum, dua hari setelah kepergian sang suami. Posting berupa tiga foto selfie, salah satunya saat Kang Budi menunjukkan tawa lebar yang tak berubah, pada hari-hari menjelang kepergiannya. Tanggal 10, 11 dan 12 Juni, atau 3,2 dan sehari menjelang kepulangan.
Untuk orang sepeka dia, saya tak yakin Kang Budi tidak menerima sinyal-sinyal yang memintanya pulang.
Saya teringat sebuah tulisan pendek seseorang yang sempat saya temukan di dunia maya. Tulisan itu berkata, sejatinya Covid adalah hamba Allah yang tengah bertasbih, berserah diri dan melakukan apa yang Allah perintahkan.
Jadi, manakala Kang Budi tersenyum tanpa beban di tengah-tengah rasa sesak tak terhingga yang menjadi bagian testimony rata-rata para penyintas Covid, itu karena almarhum tahu, ia akan segera bertemu Kekasih yang senantiasa ia puji dan sujudi.
Ketika Covid itu datang, bagi Kang Budi, ia justru makhluk yang diutus Tuhan. Lalu bersama mereka bertasbih, berserah diri, membasuh sebersih mungkin untuk kembali ke keabadian yang suci. Ia telah memutuskan semua, merelakan semua, mengikhlaskan semua hubungannya yang baik dan indah dengan dunia, justru karena ia percaya, anak-anaknya, kelaurganya, teman-temannya, akan meneruskan jejak-jejak langkah kebaikannya.
Itu yang membuat kita kemudian melihat dia, yang sangat peduli kepada para sahabatnya, meminta agar sang istri merahasiakan sakitnya. Dia yang dulu tak pernah menghiraukan lelah untuk membantu, di akhir hidupnya rela untuk sama sekali tak dibantu. Sikap apa lagi yang bisa menggantikan makna ‘ikhlas’ sebulat itu? [ dsy]