NewsVeritas

Ardito Wijaya, Bupati Lampung Tengah Diduga Korupsi dan Nepotisme

Skandal yang menimpa Ardito Wijaya menjadi pengingat pahit bahwa reformasi birokrasi dan penegakan hukum seolah jadi jargon belaka. Buktinya, Ardito disangka meminta fee bersama kerabatnya.

WWW.JERNIH.CO – Di tengah janji pembangunan dan slogan pelayanan publik yang terus digaungkan, Lampung Tengah justru diguncang skandal memalukan: bupatinya sendiri ditangkap karena dugaan korupsi.

Seorang pemimpin yang seharusnya menjaga amanah rakyat, justru diduga menjadikan kekuasaan sebagai mesin pencetak uang pribadi. Dalam sekejap, kantor pemerintah berubah menjadi ladang transaksi gelap, proyek daerah dijadikan komoditas, dan keluarga serta kroni ikut menikmati gurihnya fee proyek.

OTT KPK terhadap Bupati Ardito Wijaya bukan sekadar kasus hukum—ini adalah tamparan keras bagi wajah demokrasi lokal, yang kembali menunjukkan betapa kekuasaan mudah dibeli, dan betapa rakyat sering kali hanya menjadi penonton dari drama korupsi yang tak kunjung usai.

Memalukan memang.  Bupati Lampung Tengah, Ardito Wijaya yang figurnya baru saja memasuki periode kepemimpinan 2025–2030 harus rela kehilangan atribut kekuasaan setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan kasus korupsi yang melibatkan pengaturan proyek pemerintah. Peristiwa ini kembali membuka luka lama tentang betapa praktik korupsi masih menjadi momok dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia.

Menurut KPK, kasus ini bukan sekadar pelanggaran prosedur, tetapi dugaan suap yang berjalan rapi dan sistematis. Ardito diduga mematok fee 15–20 persen dari sejumlah proyek pemerintah daerah dengan mekanisme penunjukan langsung melalui E-Katalog, bypassing tender yang seharusnya transparan dan kompetitif.

Total aliran uang yang disita mencapai sekitar Rp 5,75 miliar, ditambah sejumlah logam mulia berupa emas dan uang tunai sebagai barang bukti, menguatkan dugaan gratifikasi dalam kasus ini. Di balik meja kekuasaan, proyek pemerintah yang semestinya menjadi pemicu pembangunan justru berubah menjadi ladang keuntungan pribadi dan kroni.

OTT yang dilakukan pada 10 Desember 2025 tidak hanya menjerat sang bupati, tetapi juga empat orang lain yang memiliki hubungan dalam skema tersebut. Mereka adalah Riki Hendra Saputra (Anggota DPRD Lampung Tengah), Ranu Hendra Saputra (Adik kandung bupati, menunjukkan dimensi nepotisme), Anton Wibowo (Plt. Kepala Badan Pendapatan Daerah sekaligus kerabat dekat) dan Mohamad Lukman Sjamsuri (Direktur PT Elkaka Mandiri, unsur swasta dalam lingkaran pengaturan proyek).

Keterlibatan politisi, keluarga pejabat, birokrat, dan pihak swasta menciptakan gambaran jaringan yang berlapis, seakan menegaskan bahwa praktik korupsi tak lagi sekadar insiden, melainkan sistem yang mengakar.

Sebelum terjerat kasus, Ardito dikenal sebagai sosok muda yang merangkak naik di dunia politik Lampung. Awalnya aktif di organisasi sayap Golkar, AMPI Lampung (2017), ia kemudian mencalonkan diri dalam Pilkada Lampung Tengah 2020 sebagai wakil bupati bersama politikus Golkar, meski saat itu ia tercatat sebagai kader PKB.

Setelah terpilih, Ardito memilih kembali menjadi kader Partai Golkar dan sempat menjabat sebagai Wakil Ketua Golkar Lampung Bidang Pemenangan Pemilu Wilayah Lampung 2 — sebuah posisi penting dalam mesin politik partai — sebelum akhirnya ditangkap KPK.

Perjalanan politik yang tampak gemilang ini justru berujung tragis. Alih-alih dikenal sebagai pemimpin yang membawa perubahan, namanya kini tercatat sebagai salah satu daftar kepala daerah yang terseret kasus korupsi di 2025.

Kasus Ardito terjadi di tengah kondisi sosial-ekonomi Lampung Tengah yang memiliki potensi signifikan namun tetap menghadapi tantangan besar. Kabupaten ini adalah salah satu daerah terpadat di Provinsi Lampung dengan populasi lebih dari 1,5 juta jiwa, dimana mayoritas berada dalam usia produktif yang dapat menjadi tenaga kerja penggerak ekonomi regional.

Secara ekonomi, Lampung Tengah memiliki struktur yang didominasi oleh sektor pertanian, dengan kontribusi sekitar 33,90 persen terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), diikuti oleh industri dan perdagangan.

Perubahan struktur ekonomi selama beberapa tahun terakhir menunjukkan pergeseran dari basis yang kuat di pertanian menuju peningkatan peran sektor perdagangan dan jasa, yang merefleksikan dinamika perekonomian lokal.

Secara individual, pendapatan per kapita di Lampung Tengah mencapai sekitar Rp54,9 juta per tahun, menunjukkan adanya kenaikan dari tahun sebelumnya — meski ini juga memperlihatkan disparitas kesejahteraan yang perlu diatasi.

Kasus Ardito Wijaya bukan peristiwa tunggal di 2025. Tahun ini menjadi saksi kelam ketika sejumlah kepala daerah setingkat gubernur dan bupati/wali kota tertangkap tangan atau tersangka dalam operasi antirasuah KPK.

Sepanjang tahun 2025, deretan kepala daerah kembali memperlihatkan betapa rentannya kekuasaan tergelincir ke dalam praktik korupsi. Mulai dari Abdul Azis, Bupati Kolaka Timur, yang ditangkap pada 7 Agustus 2025 atas dugaan korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk pembangunan rumah sakit.

Disusul kemudian oleh Abdul Wahid, Gubernur Riau, yang diamankan KPK pada 3 November 2025 karena dugaan pemerasan dan manipulasi anggaran di lingkungan Dinas PUPR provinsi tersebut. Dua kasus ini memperlihatkan bahwa skema korupsi tidak hanya terjadi di tingkatan proyek daerah, tetapi juga berkaitan erat dengan permainan anggaran dan penyalahgunaan wewenang di level tinggi pemerintahan.

Gelombang penindakan berlanjut di bulan berikutnya. Pada 7 November 2025, KPK kembali menetapkan Sugiri Sancoko, Bupati Ponorogo, sebagai tersangka karena dugaan jual beli jabatan di lingkungan Pemkab. Puncaknya terjadi pada 10 Desember 2025, ketika Ardito Wijaya, Bupati Lampung Tengah, ditangkap dalam kasus dugaan suap pengaturan proyek pengadaan barang dan jasa.

Rangkaian kasus tersebut menunjukkan pola korupsi yang semakin variatif—dari manipulasi anggaran, jual beli jabatan, hingga suap proyek—menggambarkan betapa luasnya ruang penyimpangan yang dimanfaatkan oleh pejabat publik di berbagai daerah sepanjang tahun tersebut.

Rentetan ini menunjukkan bahwa godaan kekuasaan dan uang bukan hanya ancaman moral, tetapi juga ancaman nyata bagi pembangunan dan kepercayaan publik. Di saat masyarakat menunggu layanan publik yang lebih baik, sejumlah pemimpin justru terjerat dalam praktik yang merusak sendi pemerintahan.(*)

BACA JUGA: Abdul Wahid Gubernur Pertama Pilkada 2024 yang Kena OTT

Back to top button