SpiritusVeritas

Berpuasa Bersama KH Jalaluddin Rakhmat [4]: Bulan Maghfirah

Kedatangan Ramadhan adalah kedatangan orang arif dalam cerita Rumi. Ramadhan memukuli kita dengan lapar dan dahaga, agar nanti kita tidak menderita pada hari akhir. Kita dipaksa untuk memuntahkan jajanan kita, demi kesehatan dan keselamatan kita. Nabi bersabda,“Tidak akan masuk kerajaan langit orang yang memenuhi perutnya.” Tidak akan masuk Rumah Tuhan, orang yang setiap harinya hanya memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisiknya. Ular hawa nafsu sudah bersarang dalam dirimu; dan kamu tetap saja tidur lelap.

JERNIH– Pada bulan Ramadhan, Allah membukakan pintu tobat dan ampunan. Pada bulan inilah kita menemukan saat yang paling tepat; ketika kita tersungkur di hadapan Allah, merintih memohonkan ampunan-Nya.

Punggung kita yang sudah sarat dengan dosa kita ringankan dengan memperpanjang sujud kita. Di sini kita membebaskan diri kita dari pasungan dosa dengan memperbanyak istighfar.

Karena itu, di antara wirid yang harus kita biasakan di bulan Ramadhan adalah istighfar: Ya Allah Engkau Maha Pengampun dan Mahamulia. Ampunilah aku. Innaka ‘afuwwun karim, tuhibbul afwa fa fu ‘anni.

Bulan Tuhan. Bulan Ramadhan menjadi bulan yang agung karena dinisbatkan kepada Tuhan. Tuhan bukan hanya Wujud yang kepada-Nya kita haturkan persembahan dan kita mohonkan pertolon¢an. Dalam Al-Quran, Tuhan adalah kampung halaman kita, tempat kembali kita. “Kepada Allah kamu semua kembali’ (QS Al-Maidah: 48).

Dalam bahasa Jalaluddin Rumi, sufi penyair dan penyair sufi, Tuhan adalah “rumpun bambu” kita, sedangkan kita adalah seruling bambu yang tercerabut dari rumpunnya. Penderitaan kita yang berkepanjangan karena mengejar keinginan kita, sebetulnya hanyalah jeritan pilu karena kerinduan untuk kembali kepada-Nya. Manusia adalah “anggota keluarga Tuhan” yang dikeluarkan dari rumah-Nya untuk bermain-main di halaman dunia ini (“Sesungguhnya, kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan hiburan”-Ar-An‘am [6]: 32).

Karena itu, Ka’bah disebut rumah Tuhan, karena ke sanalah para jamaah haji berangkat, meninggalkan segala urusan dunia mereka. Ramadhan disebut bulan Tuhan karena pada bulan itulah kita pulang. Kita meninggalkan halaman permainan kita.

Selama kita asyik bermain, kita sibuk membeli “jajanan” yang bermacam-macam: kekayaan, kekuasaan, kemasyhuran, atau sebutlah apa saja yang Anda ingat. Kita lupa bahwa ada makanan lain yang jauh lebih sehat dan lebih lezat. Pada bulan Ramadhan, Tuhan mempersiapkan jamuan-Nya dan Anda diundang untuk menjadi tamu-Nya.

Keasyikan bermain itu digambarkan Rumi dengan indah:

“Di atas makanan yang kamu makan untuk memelihara tubuhMu, ada makanan yang lain seperti yang dikatakan Nabi,”Aku habiskan malamku bersama Tuhanku, dan Dia memberikan makanan dan minuman kepadaku. Di dunia ini, kamu telah melupakan makanan lain itu. Kamu sibuk mengunyah makanan dunia ini. Siang dan malam kamu hanya menyuapi tubuhmu. Tubuh ini hanyalah kudamu dan dunia ini kandangnya. Makanan kuda tidak cocok untuk penunggangnya; kuda memelihara dirinya dengan caranya sendiri.

“Karena kamu tenggelam dalam watak kebinatangan kamu, kamu tetap tinggal di istal bersama kuda dan tidak punya tempat di antara para raja dan pangeran dari dunia tempat hatimu bertakhta. Karena tubuhmu yang berkuasa, kamu harus mematuhi perintah tubuh. Kamu terpenjara karenanya, seperti Majnun ketika berangkat menuju negeri Laila. Selama ia sadar, ia mengarahkan untanya ke arah yang benar. Ketika ia tenggelam dalam lamunan kepada Laila, ia melupakan dirinya dan untanya. Sang unta, yang meninggalkan anak di desanya, segera balik arah ke kampung halamannya. Ketika Majnun sadar, ia melihat ia telah bergerak salah jalan selama dua hari. Begitulah ia, bolak-balik selama tiga bulan, sehingga akhirnya ia berteriak, “Unta ini menjadi laknat bagiku.” Sambil berkata begitu, ia melompat dari untanya dan meneruskan perjalanannya sendiri:  

“Keinginan untaku di belakangku

Sedang keinginanku sendiri jauh di muka

Dia dan daku sesungguhnya

bertentangan.” (Fihi ma Fihi)

Begitulah kita. Kita suapi unta kita, padahal ia hanya membawa kita ke kandang binatang. Kita lupa memberi makan ruh kita, padahal ia akan membawa kita ke haribaan Dia. Kita penunggang unta yang punya tujuan berbeda dengan tujuan unta yang kita tunggangi. Dalam tulisan lain, yang berjudul “Kerinduan”, Rumi menyuruh kita untuk menjadi Yesus di pungsung keledai kurus:

“Yesus di atas keledai kurus, inilah lambang akal yang harus mengendalikan tabiat hewaniah. Perkuat ruhmu seperti Yesus. Jika bagian itu lemah, keledaimu yang kerempeng akan berubah menjadi naga perkasa.

Berterimakasihlah ketika apa yang tampak kasar datang padamu dari orang bijak. Sekali waktu, seorang suci, sambil mengendarai keledainya, melihat ular merayap masuk ke mulut seorang yang sedang tertidur! Ia memburu dengan cepat, tapi tidak berhas! mencegah ular itu. Ia pukuli orang yang tidur itu berkali-kali dengan tongkatnya.

Orang itu terbangun ketakutan dan lari ke bawah pohon apel dengan apel-apel busuk bertebaran di atas tanah.

“Makanlah! Hai orang malang, makanlah!”

“Kenapa kau lakukan ini padaku?”

“Ayo makan lagi, kamu tolol!”

“Saya tidak pernah berjumpa dengan kamu sebelumnya! Siapakah kamu ini? Apakah dalam batinmu kamu memusuhi jiwaku?”

Orang arif itu memaksanya untuk makan, dan ia mencoba lari darinya. Berjam-jam ia memukuli orang malang itu dan membuatnya lari. Akhirnya, di malam hari, dalam perut yang penuh dengan apel busuk, kelelahan, dan bergelimang darah, ia jatuh dan memuntahkan semuanya, yang baik dan yang buruk, apel dan ular. Ketika ia melihat ular yang buruk keluar dari dirinya, ia bersimpuh di hadapan penyiksanya.

“Apakah kamu Jibril? Apakah kamu Tuhan? Penuh berkahlah saat kamu pertama melihatku. Waktu itu aku sudah mati dan tidak menyadarinya. Kauberikan kepadaku kehidupan baru. Semua yang aku katakan padamu itu memang tolol! Aku tidak menyadarinya.”

“Jika aku jelaskan apa yang aku lakukan, kamu mungkin akan panik dan mati ketakutan. Muhammad berkata: Jika aku menceritakan musuh yang tinggal dalam diri manusia, manusia yang paling berani sekalipun akan menjadi lumpuh. Tak ada yang bisa keluar atau mencari nafkah. Tak akan ada yang shalat atau puasa, dan semua kekuatan untuk berubah akan menghilang dari diri manusia.

Karena itulah, aku diam ketika aku memukulimu sehingga seperti Daud aku dapat melunakkan besi. Sehingga walaupun mustahil, aku dapat meletakkan kembali bulu-bulu pada sayap burung.

Diamnya Tuhan diperlukan karena kelemahan hati manusia. Jika aku tadi mengabarkan kepada kamu tentang ular itu, kamu tidak bakal mampu makan dan sekiranya kamu mampu makan pun, kamu tidak akan memuntahkannya.

Aku lihat keadaanmu dan aku dorong keledaiku ke tengah-tengahnya sambil bergumam, “Tuhanku, mudahkanlah urusan dia.” Aku tidak diizinkan mengabarkan kepadamu dan aku tak diizinkan berhenti memukul kamu.”

Orang yang disembuhkan itu, masih sambil berlutut, berkata “Aku tidak mampu berterima kasih kepadamu atas kecepatan kearifanmu dan kekuatan petunjukmu. Semoga Tuhan membalasmu.”

Kedatangan Ramadhan adalah kedatangan orang arif dalam cerita Rumi. Ramadhan memukuli kita dengan lapar dan dahaga, agar nanti kita tidak menderita pada hari akhir. Kita dipaksa untuk memuntahkan jajanan kita, demi kesehatan dan keselamatan kita. Nabi bersabda,“Tidak akan masuk kerajaan langit orang yang memenuhi perutnya.” Tidak akan masuk Rumah Tuhan, orang yang setiap harinya hanya memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisiknya. Ular hawa nafsu sudah bersarang dalam dirimu; dan kamu tetap saja tidur lelap. Orang yang tidak sadar bahwa ia tenggelam, tidak akan berusaha menggapai pegangan. Orang yang tidak tahu bahwa rumahnya terbakar tidak akan berusaha menghubungi petugas kebakaran. Orang yang menderita gangguan psikologis tidak merasa sakit, dan karena itu tidak mencari dokter.

“Ya Allah, berikan padaku di bulan ini kekuatan untuk melaksanakan perintah-Mu. Biarkan aku merasakan nikmatnya berzikir kepada-Mu. Ilhamkan kepadaku untuk senantiasa dapat bersyukur kepada-Mu. Lindungi aku dengan penjagaan dan perlindungan-Mu, Wahai Yang Maha Melihat segala sesuatu.” [ ]

Back to top button