Jika negara memenuhi permohonan ini, ia akan merupakan pesan kultural yang kuat, bahwa bangsa kita mampu dan mau menghargai kepahlawanan budaya seperti yang ditunjukkan oleh HB Jassin dengan amat mengesankan. Ia memulai kerja seumur hidupnya sejak usia sedini 16 tahun (1933), dan baru terhenti ketika stroke menyergapnya di tahun 1997. Raksasa pendiam itu wafat di Jakarta tiga tahun kemudian — dan moral kita menuntut kita untuk terus mengenangnya dengan hormat tertinggi sambil terus berikhtiar mereguk ilham dari ketanpapamrihannya.
Oleh : Hamid Basyaib
JERNIH—Rumah kontrakan Hans Baque Jassin di Tanah Tinggi, Jakarta Pusat, sudah penuh sesak dengan segala macam teks tentang sastra modern Indonesia — bukan hanya buku dan majalah, tapi juga kliping koran, foto, coretan tulisan tangan, surat-surat pribadi. Itu adalah tambang yang tak ada habisnya untuk penulisan skripsi, artikel, disertasi. Dan para penulis makin deras mengalir ke rumahnya untuk memanfaatkan tambang terbesar itu.
Koleksinya merupakan satu-satunya sumber yang membuat orang tak perlu ke luar negeri untuk menjadi doktor. Untuk semua bidang lain–studi tari, perwayangan, kajian budaya-budaya daerah kita–para penulis disertasi harus ke Universitas Leiden Belanda atau Universitas Cornell Amerika, bahkan kalau pun mereka studi doktoral di dalam negeri.
Sahabat Jassin, wartawan-novelis Mochtar Lubis, menganjurkannya menarik bayaran untuk jasa besar itu. Seperti semua kawan, ia tahu Jassin bukanlah orang yang punya banyak uang dari pekerjaannya sebagai redaktur majalah-majalah sastra. Sementara biaya pemutakhiran koleksi butuh dana yang makin besar. Rumahnya yang masih kontrakan saja sudah menunjukkan bahwa Jassin pasti kerepotan membiayai proyek pribadinya itu. Terhadap usulan logis dan simpatik itu, Jassin yang pendiam hanya menanggapi kalem: “Tidak. Saya masih sanggup (menanggung semua biaya).”
Ia sanggup menanggung beban biaya yang makin berat, tapi rupanya tak sanggup untuk menarik bayaran dari orang-orang yang berbagi ketekunan dan kecintaan kepada sastra Indonesia. Baginya: kesediaan orang-orang itu dalam berbagi kecintaan pada sastra saja sudah membuatnya bersyukur dan berbahagia.
Ia terus melanjutkan perjuangannya seorang diri, sampai titik batas kemampuannya pada 1976, ketika Gubernur Ali Sadikin menawari bantuan, memberi ruang besar yang layak di kompleks Taman Ismail Marzuki, menopang pembentukan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, dan menanggung gaji para karyawan dan biaya-biaya lain. Koleksi Jassin sudah tak mungkin lagi dikelola oleh seorang amatir dan pencinta suntuk yang berangkat tua.
Masalah tidak otomatis teratasi oleh bantuan seorang gubernur, yang setahun setelah pembentukan PDS HB Jassin diberhentikan dari jabatannya. Lalu nasib koleksi besar itu menarik perhatian publik luas ketika PDS tak mampu membayar tagihan listrik, dan Jassin dan para pembantunya harus bekerja kepanasan tanpa AC selama setahun penuh.
*
Jassin adalah seorang yang berdiri kokoh di tepi kemustahilan. Tidak ada seorang lain pun di bidang apa pun di seluruh dunia — bukan hanya di Indonesia — yang berbuat seheroik dia, tapi tanpa pretensi heroisme sama sekali.
Ia justru selalu canggung untuk tampil, jangankan ingin memberi kesan bahwa ia sedang mengerjakan sesuatu yang berharga untuk kesastraan, untuk kebudayaan, dan akhirnya untuk bangsa Indonesia.
Ia lembut dan pemalu, meski bisa tampil tegas dan tanpa kompromi untuk hal yang ia anggap soal prinsip; sampai pada titik bersedia memikul akibat hukum, seperti terlihat dari peradilan kasus cerita pendek “Langit Makin Mendung” (1968) di majalah yang dipimpinnya. Ia menolak membuka identitas “Ki Panji Kusmin”, nama pena penulis cerpen yang dinilai menghina agama Islam itu, dan bersikeras bahwa “dunia imajinasi tidak dapat diadili”; untuk ketegarannya ini ia divonis satu tahun penjara (dengan masa percobaan dua tahun).
Suaranya yang paling lantang adalah tulisan-tulisannya di seputar kesastraan. Dan ia mencatat apa saja. Ia menampilkan para penyair dari seluruh Indonesia lewat antologi-antologi yang disusunnya. Ia mengidentifikasi para aspiran penyair, termasuk kemudian menemukan Chairil Anwar, yang disebutnya pembaru sastra Angkatan 45, dan Amir Hamzah “Raja Penyair Pujangga Baru.”
Ia mencatat perkembangan sastra di masa pendudukan Jepang — siapa yang peduli dengan urusan ini untuk masa sesingkat itu? Ia memotret karya penyair-penyair daerah dan menyimpan karya-karya yang ditolaknya sebagai redaktur majalah-majalah Pujangga Baru, Zenith, Siasat, Horison — “dokumentasi karya mereka (yang tak dimuat) penting untuk melihat sosok mereka jika kelak mereka terkenal”, katanya.
Ia juga menerjemahkan karya-karya pengarang Eropa agar mereka dikenal oleh pembaca dan pengarang Indonesia. Ia gigih menampilkan sastra Indonesia sebagai warga sah sastra dunia. Dan, selain menerjemahkan karya-karya Douwes Dekker dan Rob Nieuwenhuys, ia juga menerjemahkan “Spirit of Islam” karya Syed Ameer Ali — yang ia terjemahkan dengan tepat menjadi “Api Islam”.
Ia memelopori kritik sastra, suatu bidang yang menurut kampiun sastra Indonesia dari Belanda, A. Teeuw, merupakan area yang terbelakang. Dari kawasan kumuh intelektual itulah Jassin memberanikan diri untuk muncul, dan perlahan-lahan merenovasi kawasan itu menjadi tak sekumuh sebelumnya. Dan sampai hari ini, tidak ada kritikus sastra setekun dan seproduktif dirinya; dan pasti ia tak mungkin ditandingi oleh para profesor dan pengajar di fakultas-fakultas sastra kita.
Maka dari area terbelakang itu ia tampil menjadi raksasa — dan diledek sebagai “Paus Sastra Indonesia” oleh sastrawan Gayus Siagian; sebuah candaan yang kemudian menjadi sungguhan, membuat sastrawan bangga jika karyanya diperhatikan Jassin melalui kritiknya, atau jengkel seperti novelis Trisno Sumardjo karena Jassin tak kunjung menulis tentang karyanya.
*
Dengan semua itu ia memastikan bahwa kerja tekunnya yang menakjubkan tidak mungkin diabaikan dalam setiap upaya rekonstruksi atau penulisan sejarah sastra Indonesia. Tidak ada orang lain yang berkontribusi pada sejarah sastra Indonesia sebesar Jassin, meski ia tak berniat berpamrih seperti itu. Yang paling menonjol dari raksasa asal Gorontalo ini justeru adalah keengganannya menonjolkan diri.
Dalam ungkapan sastrawan Nirwan Dewanto, Jassin adalah sebuah sikap “anti-monumen yang monumental.” Ia mengerjakan semuanya berdasar kecintaan — dan baginya ini lebih dari cukup untuk menggerakkan dirinya di tengah situasi pas-pasan, juga dalam hal keahlian dokumenter.
Dari ulasan Sulistyo Basuki, seorang ahli dokumentasi dan perpustakaan UI, kita tahu betapa besar dan beratnya kerja dokumenter Jassin, dan betapa gigihnya ia dalam keamatirannya tentang ilmu dokumentasi. Dengan caranya sendiri ia, misalnya, menyiasati cara terbaik (untuk memudahkan para peneliti!) dalam melakukan cek-silang untuk perujukan karya-karya seorang penulis, yang sering menggunakan aneka nama samaran, selain nama asli mereka sendiri.
Urusan ini semakin pelik ketika jumlah penyair/penulis di semua daerah membesar dengan cepat, yang mungkin ikut terdorong berkarya berkat ulasan-ulasan sastranya. Variasi penulisan nama pun makin beragam. Ada seorang penulis yang menggunakan sampai 15 nama/ejaan; semua harus diinfokan bahwa mereka adalah orang yang sama; dan tidak boleh ada seorang pun sastrawan yang tertinggal (lihat “H.B Jassin 70 Tahun”, editor Sapardi Djoko Damono, Gramedia, 1987).
*
Kini HB Jassin diusulkan menjadi pahlawan nasional. Pegiat sastra dan para pejabat di tanah kelahirannya sudah memroses persyaratan formal sesuai ketentuan undang-undang. Di Jakarta, pengusaha dan Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel mengadakan seminar “HB Jassin: Pahlawan Peradaban Indonesia” di gedung DPR Senayan (Rabu, 23/2). Menkopolhukam Moh. Mahfud MD, yang hadir di acara itu sebagai Ketua Dewan Gelar RI, mengakui bahwa jasa dan seluruh catatan ketekunan Jassin layak dianugerahi gelar pahlawan nasional.
Jika negara memenuhi permohonan ini, ia akan merupakan pesan kultural yang kuat, bahwa bangsa kita mampu dan mau menghargai kepahlawanan budaya seperti yang ditunjukkan oleh HB Jassin dengan amat mengesankan. Ia memulai kerja seumur hidupnya sejak usia sedini 16 tahun (1933), dan baru t
Ia terus melanjutkan perjuangannya seorang diri, sampai titik batas kemampuannya pada 1976, ketika Gubernur Ali Sadikin menawari bantuan, memberi ruang besar yang layak di kompleks Taman Ismail Marzuki, menopang pembentukan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, dan menanggung gaji para karyawan dan biaya-biaya lain. Koleksi Jassin sudah tak mungkin lagi dikelola oleh seorang amatir dan pencinta suntuk yang berangkat tua.
Oleh : Hamid Basyaib
JERNIH—Rumah kontrakan Hans Baque Jassin di Tanah Tinggi, Jakarta Pusat, sudah penuh sesak dengan segala macam teks tentang sastra modern Indonesia — bukan hanya buku dan majalah, tapi juga kliping koran, foto, coretan tulisan tangan, surat-surat pribadi. Itu adalah tambang yang tak ada habisnya untuk penulisan skripsi, artikel, disertasi. Dan para penulis makin deras mengalir ke rumahnya untuk memanfaatkan tambang terbesar itu.
Koleksinya merupakan satu-satunya sumber yang membuat orang tak perlu ke luar negeri untuk menjadi doktor. Untuk semua bidang lain–studi tari, perwayangan, kajian budaya-budaya daerah kita–para penulis disertasi harus ke Universitas Leiden Belanda atau Universitas Cornell Amerika, bahkan kalau pun mereka studi doktoral di dalam negeri.
Sahabat Jassin, wartawan-novelis Mochtar Lubis, menganjurkannya menarik bayaran untuk jasa besar itu. Seperti semua kawan, ia tahu Jassin bukanlah orang yang punya banyak uang dari pekerjaannya sebagai redaktur majalah-majalah sastra. Sementara biaya pemutakhiran koleksi butuh dana yang makin besar. Rumahnya yang masih kontrakan saja sudah menunjukkan bahwa Jassin pasti kerepotan membiayai proyek pribadinya itu. Terhadap usulan logis dan simpatik itu, Jassin yang pendiam hanya menanggapi kalem: “Tidak. Saya masih sanggup (menanggung semua biaya).”
Ia sanggup menanggung beban biaya yang makin berat, tapi rupanya tak sanggup untuk menarik bayaran dari orang-orang yang berbagi ketekunan dan kecintaan kepada sastra Indonesia. Baginya: kesediaan orang-orang itu dalam berbagi kecintaan pada sastra saja sudah membuatnya bersyukur dan berbahagia.
Ia terus melanjutkan perjuangannya seorang diri, sampai titik batas kemampuannya pada 1976, ketika Gubernur Ali Sadikin menawari bantuan, memberi ruang besar yang layak di kompleks Taman Ismail Marzuki, menopang pembentukan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, dan menanggung gaji para karyawan dan biaya-biaya lain. Koleksi Jassin sudah tak mungkin lagi dikelola oleh seorang amatir dan pencinta suntuk yang berangkat tua.
Masalah tidak otomatis teratasi oleh bantuan seorang gubernur, yang setahun setelah pembentukan PDS HB Jassin diberhentikan dari jabatannya. Lalu nasib koleksi besar itu menarik perhatian publik luas ketika PDS tak mampu membayar tagihan listrik, dan Jassin dan para pembantunya harus bekerja kepanasan tanpa AC selama setahun penuh.
*
Jassin adalah seorang yang berdiri kokoh di tepi kemustahilan. Tidak ada seorang lain pun di bidang apa pun di seluruh dunia — bukan hanya di Indonesia — yang berbuat seheroik dia, tapi tanpa pretensi heroisme sama sekali.
Ia justru selalu canggung untuk tampil, jangankan ingin memberi kesan bahwa ia sedang mengerjakan sesuatu yang berharga untuk kesastraan, untuk kebudayaan, dan akhirnya untuk bangsa Indonesia.
Ia lembut dan pemalu, meski bisa tampil tegas dan tanpa kompromi untuk hal yang ia anggap soal prinsip; sampai pada titik bersedia memikul akibat hukum, seperti terlihat dari peradilan kasus cerita pendek “Langit Makin Mendung” (1968) di majalah yang dipimpinnya. Ia menolak membuka identitas “Ki Panji Kusmin”, nama pena penulis cerpen yang dinilai menghina agama Islam itu, dan bersikeras bahwa “dunia imajinasi tidak dapat diadili”; untuk ketegarannya ini ia divonis satu tahun penjara (dengan masa percobaan dua tahun).
Suaranya yang paling lantang adalah tulisan-tulisannya di seputar kesastraan. Dan ia mencatat apa saja. Ia menampilkan para penyair dari seluruh Indonesia lewat antologi-antologi yang disusunnya. Ia mengidentifikasi para aspiran penyair, termasuk kemudian menemukan Chairil Anwar, yang disebutnya pembaru sastra Angkatan 45, dan Amir Hamzah “Raja Penyair Pujangga Baru.”
Ia mencatat perkembangan sastra di masa pendudukan Jepang — siapa yang peduli dengan urusan ini untuk masa sesingkat itu? Ia memotret karya penyair-penyair daerah dan menyimpan karya-karya yang ditolaknya sebagai redaktur majalah-majalah Pujangga Baru, Zenith, Siasat, Horison — “dokumentasi karya mereka (yang tak dimuat) penting untuk melihat sosok mereka jika kelak mereka terkenal”, katanya.
Ia juga menerjemahkan karya-karya pengarang Eropa agar mereka dikenal oleh pembaca dan pengarang Indonesia. Ia gigih menampilkan sastra Indonesia sebagai warga sah sastra dunia. Dan, selain menerjemahkan karya-karya Douwes Dekker dan Rob Nieuwenhuys, ia juga menerjemahkan “Spirit of Islam” karya Syed Ameer Ali — yang ia terjemahkan dengan tepat menjadi “Api Islam”.
Ia memelopori kritik sastra, suatu bidang yang menurut kampiun sastra Indonesia dari Belanda, A. Teeuw, merupakan area yang terbelakang. Dari kawasan kumuh intelektual itulah Jassin memberanikan diri untuk muncul, dan perlahan-lahan merenovasi kawasan itu menjadi tak sekumuh sebelumnya. Dan sampai hari ini, tidak ada kritikus sastra setekun dan seproduktif dirinya; dan pasti ia tak mungkin ditandingi oleh para profesor dan pengajar di fakultas-fakultas sastra kita.
Maka dari area terbelakang itu ia tampil menjadi raksasa — dan diledek sebagai “Paus Sastra Indonesia” oleh sastrawan Gayus Siagian; sebuah candaan yang kemudian menjadi sungguhan, membuat sastrawan bangga jika karyanya diperhatikan Jassin melalui kritiknya, atau jengkel seperti novelis Trisno Sumardjo karena Jassin tak kunjung menulis tentang karyanya.
*
Dengan semua itu ia memastikan bahwa kerja tekunnya yang menakjubkan tidak mungkin diabaikan dalam setiap upaya rekonstruksi atau penulisan sejarah sastra Indonesia. Tidak ada orang lain yang berkontribusi pada sejarah sastra Indonesia sebesar Jassin, meski ia tak berniat berpamrih seperti itu. Yang paling menonjol dari raksasa asal Gorontalo ini justeru adalah keengganannya menonjolkan diri.
Dalam ungkapan sastrawan Nirwan Dewanto, Jassin adalah sebuah sikap “anti-monumen yang monumental.” Ia mengerjakan semuanya berdasar kecintaan — dan baginya ini lebih dari cukup untuk menggerakkan dirinya di tengah situasi pas-pasan, juga dalam hal keahlian dokumenter.
Dari ulasan Sulistyo Basuki, seorang ahli dokumentasi dan perpustakaan UI, kita tahu betapa besar dan beratnya kerja dokumenter Jassin, dan betapa gigihnya ia dalam keamatirannya tentang ilmu dokumentasi. Dengan caranya sendiri ia, misalnya, menyiasati cara terbaik (untuk memudahkan para peneliti!) dalam melakukan cek-silang untuk perujukan karya-karya seorang penulis, yang sering menggunakan aneka nama samaran, selain nama asli mereka sendiri.
Urusan ini semakin pelik ketika jumlah penyair/penulis di semua daerah membesar dengan cepat, yang mungkin ikut terdorong berkarya berkat ulasan-ulasan sastranya. Variasi penulisan nama pun makin beragam. Ada seorang penulis yang menggunakan sampai 15 nama/ejaan; semua harus diinfokan bahwa mereka adalah orang yang sama; dan tidak boleh ada seorang pun sastrawan yang tertinggal (lihat “H.B Jassin 70 Tahun”, editor Sapardi Djoko Damono, Gramedia, 1987).
*
Kini HB Jassin diusulkan menjadi pahlawan nasional. Pegiat sastra dan para pejabat di tanah kelahirannya sudah memroses persyaratan formal sesuai ketentuan undang-undang. Di Jakarta, pengusaha dan Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel mengadakan seminar “HB Jassin: Pahlawan Peradaban Indonesia” di gedung DPR Senayan (Rabu, 23/2). Menkopolhukam Moh. Mahfud MD, yang hadir di acara itu sebagai Ketua Dewan Gelar RI, mengakui bahwa jasa dan seluruh catatan ketekunan Jassin layak dianugerahi gelar pahlawan nasional.
Jika negara memenuhi permohonan ini, ia akan merupakan pesan kultural yang kuat, bahwa bangsa kita mampu dan mau menghargai kepahlawanan budaya seperti yang ditunjukkan oleh HB Jassin dengan amat mengesankan. Ia memulai kerja seumur hidupnya sejak usia sedini 16 tahun (1933), dan baru terhenti ketika stroke menyergapnya di tahun 1997. Raksasa pendiam itu wafat di Jakarta tiga tahun kemudian — dan moral kita menuntut kita untuk terus mengenangnya dengan hormat tertinggi sambil terus berikhtiar mereguk ilham dari ketanpapamrihannya.
Dengarlah ucapan Budi Darma, sastrawan Surabaya, seorang gurubesar sastra yang esai-esainya selalu cerdas, kritis dan tajam: “Jasa Jassin sebagai dokumentator agung tidak dapat dinilai dengan kata-kata. Pujian apapun yang diberikan kepadanya, akan tidak sesuai dengan kebesaran jasanya.”
Kita, juga mudah-mudahan negara, tak punya dalih untuk menyanggah pernyataan wajar itu. Pemberian gelar pahlawan nasional bagi Hans Baque Jassin adalah rasa terima kasih terkecil yang bisa kita sampaikan untuk kebesarannya. [ ]