Veritas

MER-C: Lahir dari Konflik Ambon, Hadir di Wilayah Konflik Dunia

“Kami berusaha memberikan bantuan kepada sebanyak mungkin korban, dan korban termanyak tentunya di wilayah perrang,” ujar Joserizal Jurnalis, Pendiri Medical Emergency Rescue Committee (MER-C), seperti diceritakan kembali seorang mantan wartawan Republika dalam tulisannya di media sosial.

“Selama dua pekan saya menyaksikan Joserizal Jurnalis dan tim dokter MER-C mengoperasi pasien korban gempa Iran di rumah sakit darurat di lokasi pengungsian Jiroft, “ tulis wartawan lain, yang muncul di media sosial tak lama setelah kabar warfat Joserizal Jurnalis menyebar di berbagai media online.

Dua cerita di atas hanya sebagian kecil dari kisah ‘jihad kemanusiaan’ yang dilakuan MER-C di kawasan konflik dan bencana. Kisah-kisah lainnya, dalam jumlah tak terhitung, tersimpan di banyak kepala orang-orang yang menyaksikan langsung kiprah MER-C dan relawannya.

MER-C lahir pada 14 Agustus 1999, dengan latar belakang Konflik Ambon. Penggagasnya Joserizal Jurnalis, dan anggotanya adalah Tim Medis Mahasiswa Univeristas Indonesia (TMM-UI) yang dikirim ke Ambon.

Di Ambon, TMM-UI melakukan berbagai aksi kemanusiaan; pelayanan pengobatan kepada pengungsi dan hospitalisasi di sebuah rumah sakit tak berfungsi sejak kerusuhan berlangsung. Namun bukan itu yang mendorong kelahiran MER-C.

Dalam situs resminya, MER-C menulis TMM-UI berpendapat terdapat ketidak-netralan dan keberpihakan tenaga medis dalam konflik di Indonesia Timur itu. Selama bertugas di Ambom, TMM-UI tidak menemukan profesionalits tenaga medis, salah satunya tidak berpihak,

Distribusi logistik dan pelayanan medis yang diberikan kedua pihak bertikai tidak merata, dan tidak adil. Ada yang mendapatkan, ada yang tidak. Situasi diperburuk dengan mobilitas tenaga medis yang kurang. Akibatnya, penanganan korban tidak optimal.

Belajar dari Konflik Ambon, MER-C lahir sebagai organisasi — terdiri dari dokter-dokter profesional — netral saat terjun ke wilayah konflik. MER-C hadir di Sambas, ketika kerusuhan bernuansa etnis mengoyak kota di Kalimantan itu. Juga di Aceh, sebelum tsunami melanda propinsi di ujung barat Indonesia itu.

Di dalam negeri, MER-C hadir nyaris di semua lokasi bencana. Mereka datang, mengobati korban luka; mulai dari luka ringan sampai menggelar operasi medis di rumah sakit lapangan, menyerahkan bantuan berupa ambulan dan obat-obatan.

Di luar negeri, MER-C dua kali masuk ke Kabul ketika AS dan sekutunya kali pertama menghujani kota itu dengan berbagai jenis bom. Mereka masuk ke Irak, saat negeri itu dikeroyok AS dan sekutunya. Hadir di wilayah konflik Thailand Selatan, menyambangi wilayah Kashmir yang dikuasai Pakistan.

Ketika Lebanon Selatan diserbu Israel, MER-C hadir. Begitu pula ketika Sudan dikoyak parang pemisahan diri, dan Somalia yang diperburuk parang saudara. Dua misi ke Palestina, saat Israel menghamtam Gaza, dilewati relawan MER-C dengan baik.

Lima misi berikut ke Gaza, yaitu membangun RS Indonesia, juga dilewati MER-C dengan sukses. Di Rakhine, negara bagian di Myanmar yang dikoyak genosida Muslim Rohingya, juga disambangi relawan MER-C.

Secara keseluruhan, MER-C telah mengiris 124 misi kemanusiaan ke berbagai wilayah konflik dan bencana di dalam dan luar negeri. Sesuatu yang mungkin tidak pernah dimiliki organisasi serupa di usianya yang belum seperempat abad.

Jihad Kemanusiaan

“Jika saya tak selamat, dan kamu selamat, tolong selamatkan tas saya. Di situ ada telepon satelit (satphone), kamu bisa berkomunikasi,” kata Joserizal kepada seorang wartawan Elshinta yang terbang dari Indonesia ke Iran, seperti ditulis Maghfiroh Yenni — mantan wartawati Republika.

Permintaan Joserizal di atas mencerminkan sikap kebanyakan relawan MER-C yang pasrah atas apa pun yang terjadi saat menunaikan tugas kemanusiaan. Mereka tahu sedang berjibaku dengan maut, dan hidup mereka di ujung tanduk. Yang ada di betak semua relawan MER-C hanya satu; menjangkau korban konflik dan bencana, memberikan bantuan.

Di Afghanistan, ketika semua orang berpikir sekian kali masuk ke Kabul dan memilih membre bantuan di zero ground, wilayah antara Peshawar dan Afghanistan, MER-C ngotot mencapai Kabul. Mereka masuk ke ibu kota Afghanistan itu melalui Kandahar, dan membangun rumah sakit darurat.

Di Gaza, selama lima tahun relawan MER-C membangun Rumah Sakit Indonesia di tengah situasi paling berbahaya. Bom-bom Israel bisa setiap saat jatuh dari langit, meluluh-latakan semua, dan membunuh siapa saja. Entah bagaimana, setelah lima tahun pembangunan RS Indonesia selesai.

Di rumah sakit ini dokter-dokter MER-C menjalani misi kemanusiaan jangka panjang. Relawan non dokter bisa berbulan-bulan berada di sini. Relawan dokter terus silih berganti datang dan pergi menjelaskan misi.

MER-C melakukan hal serupa di Suriah sejak negeri itu terjerumus dalam perang saudara tak berkesudahan. Di Rakhine, negara bagian Myanmar dan rumah Muslim Rohingya, ada Rumah Sakit Indonesia yang dibangun MER-C.

Di sini, relawan MER-C tidak sekadar mengobati Muslim Rohingya, tapi berbaur dengan warga dan ikut dalam aktiivitas keagamaan. Selama dua tahun berturutan meraka merayakan Idul Fitri di Rakhine.

MER-C menjalankan amanat Undang-undang Dasar (UUD) 45, menjaga perdamaian dunia. Mereka juga menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif, dengan memperlihatkan sikap netral di setiap wilayah konflik, tidak terkecuali di Myanmar.

Back to top button