
Setelah Negeri Belanda diduduki Nazi Jerman pada Mei 1940, Thamrin yang sudah lama dicurigai pemerintah Hindia Belanda karena hubungannya yang erat dengan para pemimpin nasionalis Indonesia yang radikal, juga dengan Jepang, digeledah rumahnya atas perintah Parket (Kejaksaan Hindia Belanda).
JERNIH—Mohammad Hoesni Thamrin, putra Jakarta, seorang pemimpin pergerakan rakyat dalam perujangan mencapai Indonesia Merdeka pada zaman penjajahan Belanda, meninggal dunia pada 11 Januari 1941.
Pemakamannya berlangsung dalam suasana azmat dan penuh kebesaran. Panjang sekali rombongan yang mengantarkan ‘Abang Hoesni’ ke peristirahatan terakhirnya di Karet. Betapa tidak. Dilahirkan di Jakarta, 16 Februari 1894, Thamrin mendapat pendidikan formal di Sekolah KW III di Batavia. Pada tahun 1919 dia menjadi anggota Dewan Haminte Batavia. Pada tahun 1927 dia diangkat oleh Gubernur Jenderal De Graeff sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat).
Pada tahun 1930 dia tampil sebagai ketua Fraksi Nasional di Volksraad yang bekerja sama dengan Belanda, tetapi tidak meninggalkan cita-cita kemerdekaan penuh. Dia mendirikan Persatoean Kaoem Betawi yang kemudian melebur ke dalam Parindra pada 1935. Isi pidato-pidatonya dalam Volksraad begitu tajam dan tak kenal ampun terhadap praktik kolonialisme Belanda.
Pada zaman pendudukan Jepang, tatkala saya (Rosihan Anwar—red Jernih) bekerja sebagai wartawan Asia Raya di Jakarta saya mendengar dari para rekan yang lebih tua tentang kematian MH Thamrin yang diliputi oleh suasana serba rahasia. Tetapi rahasia apa gerangan, tak ada yang bisa menceritakan secara tuntas kepada saya. Setelah Negeri Belanda diduduki Nazi Jerman pada Mei 1940, Thamrin yang sudah lama dicurigai pemerintah Hindia Belanda karena hubungannya yang erat dengan para pemimpin nasionalis Indonesia yang radikal, juga dengan Jepang, digeledah rumahnya atas perintah Parket (Kejaksaan Hindia Belanda).
Di rumahnya ditemukan sebuah naskah tulisan Douwes Dekker tentang perekonomian Hindia Belanda yang dibuat atas permintaan Sato, seorang pengusaha Jepang. Setelah dikenai tahanan rumah—karena kesehatannya kemudian menjadi sangat buruk, sedangkan Douwes Dekker ditahan di penjara–Thamrin akhirnya meninggal.
Saya membaca belum lama berselang—tahun 1970-an, red Jernih—sebuah buku dalam bahasa Belanda ‘Vaarwel,Tot Betere Tijden’—‘Selamat Tinggal, Sampai Waktu yang Lebih Baik’—red Jernih–, karangan J.C Bijker (1974). Di dalamnya ada cerita tentang Thamrin, yang menurut buku itu kematiannya dipenuhi kabut kerahasiaan, yang dalam buku itu disebut ‘over zijn sterven hang teen was van geheimzinnigheid’—tentang kematiannya itu, semua rahasia, red Jernih.
Berhubung dengan itu, anggota Volsraad, Soekardjo Wirjopranoto, juru bicara Parindra, memajukan interpelasi untuk meminta penjelasan mengapa polisi bertindak terhadap anggota Volksraad M.H. Thamrin, pada 6 Januari 1941, melakukan pemeriksaan dan penggeledahan di rumahnya, menaruhnya di bawah pengawasan polisi, dan mengucilkannya dari dunia luar.
Interpelasi itu dijawab oleh Wakil Pemerintah Hindia Belanda, F.A.E Drossaers, yang menjabat direktur Binnenlands Bestuur (semacam urusan dalam negeri) sebagai berikut:
“Pemerintah menemukan sepucuk surat yang di dalamnya Tuan Thamrin mengualifikasikan larinya pemerintah Negeri Belanda ke London sebagai memuakkan dan penakut. Selanjutnya ditemukan sebuah laporan ekonomi yang ditulis oleh Tuan Douwes Dekker atas perintah Tuan Sato, agen perdagangan di Tokyo. Laporan itu mengandung banyak bagian yang memberikan kesaksian akan dendam kepada pemerintah Belanda dan melukiskan kebijaksanaan Belanda di daerah-daerah ini sebagai suatu politik penindasan dan pemerasan. Keterangan pemerintah ini membahas semata-mata pemberitahuan yang sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan oleh pemerintah, dengan menghilangkan semua yang mungkin dapat dipakai untuk merugikan (Tuan Thamrin), akan tetapi belum dapat dipastikan betapapun petunjuk keras untuk itu mungkin ada.”
Soekardjo Wirjopranoto dalam interpelasinya juga menanyakan apakah Parindra dengan satu atau lain cara terlibat dalam peristiwa Thamrin.
Drossaers menjawab,”Dalam tahun peperangan ini, di mana Negeri Belanda telah tersingkir dan tidak dapat menentukan apa pun, Parindra dalam Volksraad menghendaki suatu pelaksanaan segera cita-citanya yakni kemerdekaan. Pemerintah hanya dapat menjawab: Menimbulkan di luar ruangan ini usaha mendukung kemerdekaan dapat merupakan aksi terhadap kekuasaan yang ada di Negeri Belanda atau di Hindia Belanda dank arena itu menghasilkan suatu tindakan pidana. Mengenai bendera Hindia Belanda, pemerintah menegaskan bahwa dia ingin mempertahankan jalur warna biru di dalamnya.”
Thamrin terkenal sebagai seorang parlementer yang tangguh dan pintar bersilat lidah. Pada tahun 1940 ketika di Volksraad berlangsung perdebatan sengit mengenai anggaran belanja Hindia Belanda untuk tahun berikutnya, Thamrin memegang peranan penting. Ia berkata, antara lain,” Di dalam politik terletak esensi kekuasaan; ikut dalam politik berarti mengusahakan kekuasaan…Hindia Belanda mengambil suatu kedudukan istimewa, karena pemerintah tidak takluk kepada rakyat, akan tetapi rakyatlah yang harus tunduk kepada pemerintah.”
Terhadap ucapan-ucapan Thamrin, sikap Drossaers negatif sama sekali. Kolonialis potongan kuno itu mengatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda menolak usaha ke arah Indonesia merdeka.
Kualat oleh Thamrin?
Thamrin meninggal dunia lima hari setelah polisi melakukan penggeledahan di rumahnya. Berpuluh ribu orang mengiringkan jenazahnya sebagai tanda penghormatan rakyat kepada seorang pemimpin yang telah berjuang untuk Indonesia merdeka. Setahun kemudian kekuasaan Belanda ambruk. Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang di Kalijati, Subang, Jawa Barat, 9 Maret 1942.
Apa yang terjadi pada Drossaers? Ini menarik. Ia ditahan oleh balatentara Dai Nippon, dan berkenaan dengan ulang tahun Kaisar Jepang (Tenno Heika) dia dipaksa Jepang mengucapkan pidato di depan corong radio Bandung. Dalam pidato tersebut dia menyebutkan antara lain “penindasan terhadap orang Indonesia oleh Belanda selama tiga abad lebih.” Ketika itu belum semua orang Belanda di Bandung masuk interniran, masih banyak yang bebas bergerak di luar. Mereka tentu saja sangat berat menelan pidato Drossaers tersebut.
Seorang Belanda kemudian menulis soal pidato radio Drossaers tersebut. “Sakit sekali mendengarkan dia bicara. Rupanya dia sukar sekali menguasai dirinya dan dia hampir mau menangis. Saya dengar dia telah dipukuli dengan keras sekali (hevig afgeranselt—dipukuli habis-habisan, red Jernih—sebelum dia setuju membaca teks yang telah disiapkan itu di depan corong radio.”
Sebuah sumber Belanda lain merasa ingat bahwa Drossaers, sebelum memulai pidato radionya, mengucapkan kata-kata Latin,”Vi coactus, loquor—karena terpaksa, saya bicara.”
Dalam Penjara Sukamiskin tempat meringkuk para pembesar Hindia Belanda, Drossaers kemudian dipecat selaku direktur Binnenlands Bestuur oleh Wakil Ketua Raad van Indie, Mr Spit yang bertindak atas nama gubernur jenderal yang tak ada di sana. Karena peristiwa itu, setelah Jepang menyerah pada tahun 1945 dan orang-orang Belanda keluar dari kamp Interniran, Drossaers tidak kembali kepada jabatannya semula. Drossaers pun segera pulang ke Belanda. [dari ‘Musim Berganti’, alm H Rosihan Anwar]