PersonaVeritas

Muzakir “Mualem” Manaf, sang Panglima Kemanusiaan Bencana Aceh

Aceh tampaknya paling luntuh lantak dihantam banjir besar. Dalam situasi seperti itu, Serambi Mekah butuh panglima yang memuliakan rakyat di atas segalanya, yang jadi korban telak bencana Sumatera itu. Ada Muzakir Manaf di sana.

JERNIH –  Berkali-kali air matanya keluar. Kesedihan seakan enggan melepas pelukannya. Sebab, duka masih terus meruntut. Kendati sejumlah kawasan – termasuk Aceh Tamiang yang sempat disebut kota zombie- sudah mulai dapat diakses, tetapi rasa was-was masih menyelimuti benak Muzakir Manaf.

Masih banyak rakyatnya yang belum ditemukan. Sedangkan sudah seminggu lebih lumpur masih menumpuk dan menimbun, di jalanan, di pekarangan, di rumah-rumah penduduk. Ia belum tahu berapa lagi jasad rakyatnya yang bisa didapati. Atau…kelak mesti rela menghadapi titik ujung pencarian ketika tim Basarnas menghentikan proses search and rescue.

Karena itu, pria brewok itu seakan enggan menunggu takdir. Ia terus berupaya melakukan apa saja yang penting proses evakuasi tetap berjalan. Mungkin sampai titik darah penghabisan. “Penanganan bencana banjir dan longsor … harus dilakukan secara cepat, terukur, dan tanpa jeda,’ ujarnya.

Bahkan, saking melihat dan merasakan lambatnya pekerjaan orang-orang yang mestinya paling bertanggungjawab menghadapi dan mengelola evakuasi sebuah bencana, ia membuka pintu bantuan dari mana saja. Malaysia, China, dan negara mana saja yang berempati.

Muzakir Manaf alias “Mualem” muncul sebagai medali kehidupan yang berurat-berakar. Lahir 3 April 1964 di sebuah gampong sederhana di Aceh Utara, di tengah hamparan sawah dan harap penduduk desa, Muzakir tumbuh dengan kesadaran tentang kerasnya hidup petani — namun juga semangat kuat untuk bermimpi: mengenai harga diri, kemerdekaan, dan masa depan.

“ Mualem ” bukan hanya julukan, melainkan gelar kehormatan yang lahir dari medan perang, pengorbanan, dan komitmen. Ketika ia memimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai Panglima sejak 2002, setelah gugurnya pemimpin terdahulu, itu bukanlah panggilan ringan. Ia membawa bersama pengalaman militernya — bekal latihan, keberanian, dan strategi — menjadi komandan di tengah konflik yang panjang. Jadi tidak heran jika ia tahu persis Aceh sedalam-dalamnya.

Sejarah tak berhenti di medan perang. Kesepakatan perdamaian lewat MoU Helsinki 15 Agustus 2005 membuka jalan baru. Muzakir tak memilih mundur ke bayang-bayang masa lalu; ia memilih menatap masa depan. Ia menjadi arsitek transisi, mendirikan Partai Aceh (PA), lalu menjelma sebagai aktor politik — wakil gubernur, dan kini memimpin sebagai Gubernur Aceh periode 2025–2030.

Pada malam mengerikan Banda Aceh dan pesisir Aceh dihantam gelombang dahsyat bencana Tsunami Samudra Hindia 2004, Aceh luluh — rumah hancur, gampong terkubur, jiwa-jiwa hilang, dan harapan seakan pupus. Meskipun saat itu Mualem belum menjadi pemimpin formal, trauma kolektif dan luka mendalam masyarakat Aceh masih terekam dalam ingatan generasi.

Dua dekade kemudian, ketika Aceh kembali diguncang bencana — banjir, longsor — banyak warga menyebutnya “tsunami jilid dua.” Kini, dengan kursi gubernur di pundaknya, beban sejarah itu terasa nyata. Sebagai suara manusia, harta benda, harapan yang tersisa. Dalam pidatonya yang viral, Mualem berkata bahwa ketika rumah-rumah hilang, gampong terkubur lumpur, maka tugas pemimpin bukan lagi pada sisi administrasi semata. Melainkan  melayani, memeluk penderitaan, dan mengembalikan martabat manusia.

Dalam kegelapan malam, di tengah hujan deras dan tanah longsor, sebagai seorang pemimpin ia harus ada di tengah-tengah rakyat yang menderita. Itulah Mualem sekarang — “panglima kemanusiaan,” yang dulu memimpin kombatan, kini memimpin upaya penyelamatan, rekonstruksi, dan pemulihan harapan.

Jadi jangan heran jika dalam masa evakuasi tiba-tiba ada pejabat yang menghlang mengurusi urusan pribadi ia begitu marah. Sampai Mualem menyerukan agar semua kepala daerah — bupati, wali kota — tak “menghilang” di saat krisis melanda. Katanya, “Harus proaktif memuliakan masyarakat — jangan lari, jangan sampai alasan ‘tidak tahu’.”

Bahkan ia mengultimatum. Bagi kepala daerah yang menurutnya hanya “cengeng” menghadapi bencana: “silakan mengundurkan diri.”

Dengan latar belakang sebagai bekas kombatan, Mualem tak butuh belajar empati dari teori: ia sudah merasakan arti kehilangan, trauma, dan kehancuran. Maka ketika Aceh kembali bersedih, suaranya tidak terdengar seperti resmi kaku, tapi lirih lembut yang berbicara dari luka masa lalu — bahwa Aceh pernah hancur, dan harus bangkit bukan hanya dengan uang, tapi dengan cinta, solidaritas, dan martabat. Meski kadang ia juga terlarut dalam kesedihan mendalam, lihat raut wajah dan tetes air matanya.

Pasca tsunami dan konflik, Aceh menjadi salah satu provinsi paling terdampak: kemiskinan, pengangguran, ketidakstabilan sosial. Namun data terbaru menunjukkan arah yang menjanjikan: berdasarkan rilisan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh per Maret 2025, persentase penduduk miskin di Aceh tercatat 12,33%.

Angka itu menurun signifikan dibanding masa pascatsunami dan konflik — saat kemiskinan pernah menyentuh di atas 28–29%. Penurunan ini menandakan bahwa rekonstruksi, stabilitas politik, dan program pembangunan ekonomi telah memberi efek nyata — meskipun masih banyak tantangan.

Namun, bencana alam baru bisa mengguncang semua pencapaian itu: infrastruktur rusak, rumah hancur, mata pencaharian hilang lagi — dan kemiskinan bisa meningkat jika penanganan tidak cepat, tepat, dan manusiawi. Maka pemimpin yang punya figur seperti Mualem sebagai pemimpin yang punya legitimasi sejarah, akses politik, dan empati menjadi amat penting.

Kini Mualem berdiri di persimpangan: antara derita masa lalu dan harapan masa depan; antara trauma kolektif dan upaya pemulihan; antara janji politik dan tanggung jawab nyata.

Ia berada di pihak netral yang paling diinginkan rakyat. Bahkan dengan lantang ia menyerukan rakyatnya agar tidak mengambil kesempatan dan keuntungan di situasi yang amat memprihatinkan itu. Termasuk kepada orang-orang yang mendadak mengais rezeki haram, juga kepada mereka yang tiba-tiba mengungkit kembalinya GAM.

Dalam konteks relasi pimpinan daerah dengan rakyatnya, ia menjadi gambaran paling jelas menghadapi pukulan paling dahsyat yang dihadapi rakyatnya. Yang bahkan dapat memicu perpecahan di antara rakyatnya sendiri. Mualem menghadapi semua dengan dimensi yang tegak lurus, menyelamatkan rakyat dan mengembalikan kehidupan mereka.

Mualem agaknya paham hakekat seorang pemimpin suatu kaum adalah pelayan rakyatnya. Seperti pula hadits Rasulullah, “Seorang pemimpin adalah penggembala, dan ia bertanggung jawab atas gembalaannya.”

Dalam konsep ra‘in (gembala) menyebutkan pemimpin harus paling dahulu bangun, pemimpin paling terakhir tidur, pemimpin berdiri paling depan ketika keadaan terburuk, dan pemimpin tidak boleh lari atau menghilang ketika rakyat terpuruk.(*)

BACA JUGA: Prabowo dan Triumvirat Dasco-Purbaya-Sjafrie Perlu Tangani Langsung Bencana Sumatera

Back to top button