Odysseus di Atas Aspal: Kutukan Mandalika bagi Sang Baby Alien

Odysseus adalah raja cerdas yang menaklukkan Troya dengan akalnya. Namun ketika pulang, laut dan para dewa menolaknya. Ia mengembara bertahun-tahun tanpa bisa mencapai Ithaka.
JERNIH – Márquez juga seperti Odysseus — selalu mencari “rumah” dalam bentuk podium dan kemenangan. Tapi Mandalika adalah laut badai yang menolak membiarkannya berlabuh. Sekali lagi Marquez DNF (did not finished).
Setiap kali ia mencoba, ada saja gelombang kecelakaan, cedera, atau nasib buruk yang menggagalkan.
Bagi sebagian penggemar, Mandalika bukan sekadar lintasan baru di kalender MotoGP — ia telah menjelma menjadi simbol “kutukan” bagi sang juara dunia tujuh kali itu.

Kutukan Mandalika terhadap Marc Márquez dimulai pada 2022, tahun debut sirkuit tersebut di ajang MotoGP. Kala itu, Márquez mengalami kecelakaan spektakuler pada sesi pemanasan — highside brutal di tikungan cepat yang membuatnya terpelanting tinggi ke udara. Akibat insiden itu, Márquez mengalami gegar otak dan absen dari balapan. Dunia pun menyaksikan bagaimana sang “Baby Alien” yang tak gentar menantang bahaya justru harus menyerah pada lintasan yang baru dikenalnya.
Tahun-tahun berikutnya, seolah alam Mandalika menolak menuliskan kisah baru untuknya. Entah karena cedera, kondisi fisik, atau performa motor yang tak lagi menggigit, Márquez belum sekalipun menuntaskan balapan Mandalika dengan hasil membanggakan. Dari situlah legenda kecil lahir — “Kutukan Mandalika”.
Lagi-lagi di musim balap 2025. Crash dua kali selama babak latihan. Kemudian disenggol Bezzechi hingga Marquez jatuh berjumpalitan.
Namun jika kita tengok lebih dalam, kutukan Mandalika bukan cuma cerita tentang kesialan seorang pembalap di satu sirkuit. Ia bisa dibaca sebagai metafora tentang beban keabadian seorang juara. Márquez adalah simbol dominasi. Ia telah menaklukkan hampir semua sirkuit di dunia. Tapi Mandalika seakan menjadi ruang yang mengingatkan bahwa bahkan sang juara pun punya tempat di mana ia tak bisa berkuasa.
Kutukan ini adalah ironi yang indah: semakin tinggi seseorang menaklukkan dunia, semakin kecil ruang yang tersisa untuk ia merasa “manusiawi.” Mandalika hadir bukan untuk menghancurkan Márquez, tapi untuk menegaskan bahwa setiap legenda butuh celah — tempat di mana ia tidak bisa menang, agar cerita kehebatannya tetap bernilai.
Dalam banyak bidang kehidupan sering muncul “kutukan” yang serupa. Michael Schumacher pernah kesulitan di trek Monaco meski dikenal sebagai salah satu pembalap jalanan terbaik. Lionel Messi, selama bertahun-tahun, tak pernah mencetak gol melawan Chelsea di Liga Champions. Bahkan pebisnis, seniman, atau pemimpin besar punya “Mandalika” mereka masing-masing — ruang di mana kehebatan mereka tak lagi berlaku.

Kutukan seperti ini bukan pertanda kelemahan, melainkan pengingat bahwa kesempurnaan selalu butuh batas. Tanpa tempat yang tak bisa ditaklukkan, tak ada makna dari penaklukan itu sendiri.
Marc Márquez sering dijuluki The Baby Alien — makhluk yang seolah melampaui hukum fisika dan logika manusia biasa di atas motor. Namun Mandalika, dengan panas tropisnya, tikungan cepatnya, dan aura mistisnya, justru membuat sang alien kembali menjadi manusia. Ia merasakan sakit, gagal, dan terus mencoba — persis seperti kita semua.
Mungkin, di situlah letak keindahan kutukan ini. Mandalika bukanlah tempat yang menolak Márquez. Ia adalah tempat yang memintanya untuk berhenti sejenak dari keabadian, untuk merasakan bahwa bahkan alien pun bisa kalah oleh bumi.
Walaupun kenyataan-kenyataan pahit yang bertubi itu mungkin sulit untuk dicari jawabannya, mengapa? Kok bisa Marquez selalu gagal? (*)
BACA JUGA: Marc Marquez Juara Dunia MotoGP 2025, dari Alien ke Strategist






