Mereka juga berbeda dalam menafsirkan ”menyentuh”, ”tanah”, ”muka” dan “tangan” dalam ayat ini. Menurut fukaha Syafi’i: menyentuh di situ termasuk menyentuh dengan tangan terhadap wanita ajnabiyah (bukan keluarga). Kata Hanafi: Menyentuh di sini hanyalah menyentuh yang disertai rangsangan seksual. Kata Ja’fari: Menyentuh artinya jima.”
JERNIH–Abu Sa’id al-Khudri menceritakan bahwa ada dua orang sedang dalam bepergian. Tiba-tiba datang waktu salat. Mereka tidak memperoleh air untuk mengambil wudhu. Lalu bertayamumlah keduanya dan salat.
Sesaat meneruskan perjalanannya mereka menemukan air dan waktu salat masih ada. Salah seorang dari mereka berwudhu dan mengulang salatnya. Tetapi yang lain tidak melakukan seperti kawannya itu. Setelah kejadian itu dilaporkan kepada Rasulullah, beliau mengatakan kepada orang yang tidak mengulang salatnya: “Engkau telah berbuat sesuai dengan Sunnah dan salatmu itu sudah cukup bagimu.” Dan beliau berkata kepada orang yang mengulang salat, ”Bagimu pahala dua kali.” Dengan demikian beliau telah mengakui kebenaran ijtihad mereka masing-masing selama tidak ada nash yang menunjuknya.”[1]
Dalam kedua contoh di atas, para sahabat berbeda pendapat, tetapi semua pendapat dinyatakan benar oleh Rasulullah SAW. Pada peristiwa yang lain, Rasulullah menunjukkan mana yang benar. Misalnya, pada suatu hari datang seseorang menemui Umar dan berkata: “Aku junub dan tidak mendapatkan air.” Kata Umar: ”Janganlah salat.” Kata Ammar: ”Apakah Anda tidak ingat, ya Amirul Mukminin, ketika Anda dan aku berada dalam sebuah pasukan. Kita junub dan tidak memperoleh air. Anda tidak salat, sedangkan aku berguling-guling di atas tanah dan salat. (Setelah itu, lalu kita datang menemui Rasulullah) dan ia berkata: “Cukuplah bagimu, engkau usapkan tanganmu di atas tanah. Kemudian engkau meniupnya dan mengusapkannya pada mukamu dan kedua telapak tanganmu.” Umar berkata: “Takutlah kepada Allah, hai Ammar.” Ammar menjawab: “Jika itu kemauan Anda, aku tidak akan mengabarkan hadis ini selama engkau masih hidup.”[2]
Di sini Umar berpendapat orang yang junub dan tidak ada air, tidak perlu salat. “Mazhab ini masyhur sebagai mazhab Umar,”kata Ibnu Hajar.[3] Ammar tidak mengikuti pendapat ini dan memilih berguling di atas tanah. Kelak, mazhab Umar diikuti oleh putranya Ibnu Umar, Abdullah bin Mas’ud dan Abu Hanifah.
Abu Hanifah mendasarkan pendapatnya pada Surah Al-Maidah, ayat 6: “Jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dan tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.”
Kata Abu Hanifah: “Musafir dan orang sakit, jika tidak menemukan air, wajib tayamum. Tetapi bagi yang tidak bepergian dan sehat, tidak berlaku tayamum, jika tidak ada air. Tidak wajib baginya salat.” Mazhab-mazhab yang lain berpendapat, wajib tayamum dan salat, jika tidak ada air–baik sedang bepergian maupun tidak. Mereka berbeda dalam menafsirkan maksud ayat tersebut.
Mereka juga berbeda dalam menafsirkan ”menyentuh”, ”tanah”, ”muka” dan “tangan” dalam ayat ini. Menurut fukaha Syafi’i: menyentuh di situ termasuk menyentuh dengan tangan terhadap wanita ajnabiyah (bukan keluarga). Kata Hanafi: Menyentuh di sini hanyalah menyentuh yang disertai rangsangan seksual. Kata Ja’fari: Menyentuh artinya jima.”[4]
Menurut Hanafi dan Ja’fari: Tanah di situ artinya tanah, pasir, batu, dan bukan logam. Kata Syafi’i: Tanah di sini hanyalah tanah dan pasir saja. Kata Hambali: Tanah saja. Kata Maliki: Yang dimaksud tanah, meliputi tanah, batu, pasir, salju, logam — asal belum dipindahkan dari tempatnya — kecuali emas, perak dan permata.
Muka, menurut mazhab yang empat, ialah seluruh wajah seperti dalam wudhu. Menurut Ja’fari, hanya sebagian wajah saja, karena ada haraf ba pada ayat tayamum. Keempat mazhab berpendapat, tangan yang harus diusap itu sama dengan ukuran tangan dalam wudhu. Menurut Ja’fari: tangan yang dimaksud hanyalah kedua telapak tangan saja.
Kita masih dapat memberikan beberapa contoh lain lagi. Cukuplah di sini ditambahkan satu lagi mengenai contoh perbedaan penafsiran hadis. Ada sebuah hadis yang menjelaskan bahwa hukum mandi pada hari Jumat adalah wajib bagi setiap Muslim dewasa. Dari sini, diambil ushul fiqh-nya oleh kira-kira lima fikih. Fikih (mazhab) pertama berpendapat bahwa hukum mandi pada hari Jumat, kata Rasulullah, adalah wajib. Menurut mazhab kedua, wajib menurut Rasulullah itu berbeda dengan wajib menurut ahli fikih. Menurut mazhab kedua tersebut hadis ini menunjukkan sunnah muakkadah. Ushul fiqh-nya yaitu ketika datang kepada Rasulullah seorang Arab pegunungan dengan pakaian yang kotor dan bau, lalu beliau berkata: alangkah baiknya kalau dia mandi dulu. Perkataan ‘alangkah baiknya …’ adalah jelas bukan perkataan wajib, tapi menunjukkan sunnah, dengan demikian mereka menetapkan bahwa hukum mandi Jumat adalah sunnah. Mazhab ketiga berpendapat bahwa mandi diwajibkan karena berbau. Artinya, kalau tidak berbau, maka ia tidak wajib mandi. Mazhab keempat berpendapat bahwa diwajibkannya mandi itu adalah untuk menghilangkan baunya, supaya orang tidak lari karenanya. Dengan demikian, kalau sudah mandi dan tetap berbau, maka hal itu belum memenuhi kewajiban. Tanpa mandi pun, asal baunya hilang, maka hal itu sudah cukup.
Mazhab kelima menyalahkan pendapat empat mazhab sebelumnya, dengan mengatakan bahwa mereka tidak memperhatikan kata yaum pada hadis. Yang dimaksud dengan kata yaum atau hari di sini adalah periode waktu, yaitu sejak matahari terbit sampai matahari terbenam. Jadi, boleh juga mandi dilakukan setelah Asar, padahal keempat mazhab terdahulu mempersoalkan mandi sebelum berangkat Salat Jumat.
Perbedaan periwayatan hadis
Yang telah kita bahas tadi merupakan salah satu sebab ikhtilaf pertama. Sedangkan ikhtilaf kedua disebabkan oleh faktor sejarah. Pada zaman Rasulullah, para sahabat menerima banyak hadis dari beliau. Hadis ialah catatan tentang apa yang diucapkan, dilakukan dan didiamkan oleh Rasulullah SAW. Ketika itu, Rasulullah mengajar di mana-mana, kadang-kadang di masjid, kadang-kadang di pasar. Semua itu dicatat oleh sahabat.
Tapi, masing-masing sahabat mencatat dengan catatan yang berbeda-beda, karena memang perjumpaan dengan Rasulullah pun bermacam-macam. Misal, beberapa hadis yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah tidak diketahui oleh sahabat yang lain. Apa yang dilakukan Rasulullah di kamarnya di malam hari, tidak diketahui oleh sahabat yang lain, hanya istri Rasulullah-lah yang tahu. Anas bin Malik, pelayan Rasulullah pernah berkata: ”Aku tidak pernah melihat Rasulullah mengangkat tangan dalam berdoa, kecuali pada waktu istisqa.” Berdasarkan hadis ini, lalu ada yang berpendapat bahwa tidak dibolehkan mengangkat tangan dalam berdoa selain pada waktu istisqa. Tapi, sahabat yang lain pernah melihat bahwa Rasulullah mengangkat tangan dalam berdoa setelah selesai berwudhu. Dan masih banyak peristiwa tentang mengangkat tangan ini.
Kadang-kadang perbedaan di antara sahabat terjadi karena perbedaan dalam persepsi mereka tentang suatu peristiwa. Aisyah mendengar bahwa Abdullah bin Umar meriwayatkan hadis “Sesungguhnya mayat disiksa karena tangisan yang hidup.” Aisyah segera berkata: Semoga Allah merahmati Abu Abdurrahman (Ibnu Umar). Ia tidak berdusta, tetapi keliru dan lupa. Pada suatu hari, Rasulullah melewati kuburan wanita Yahudi. Keluarganya sedang menangisi wanita itu. Rasulullah SAW bersabda: ”Keluarganya menangisi dia, padahal wanita itu sedang disiksa di kuburnya.”
Ibnu Umar (dan ayahnya) menganggap ada hubungan sebab akibat di antara kedua peristiwa itu. Anggapan ini keliru, kata Aisyah. Tentu, dari persepsi yang berbeda ini lahir fikih yang berbeda. Aisyah membolehkan menangisi mayat, sedangkan Umar dan putranya mengharamkannya.[5]
Dengan persepsi mereka yang beraneka ragam ini–baik karena perbedaan kecerdasan dan keimanan, maupun karena frekuensi pertemuan dengan Rasulullah–para sahabat tersebar di seluruh kawasan Islam, menyebarkan apa yang mereka ketahui. Sebagian tinggal di Madinah, sebagian lagi di Bashrah, Syam, dan Kufah. Ibnu Hazm berkata:”Kepada sahabat di Madinah datanglah mereka yang tidak menghadiri sahabat Bashrah. Kepada sahabat di Bashrah hadir orang yang tidak mendatangi sahabat Syam. Kepada sahabat di Syam hadir mereka yang tidak mendatangi sahabat Kufah.”[6]
Di samping itu, para pengambil hadis di kemudian hari tidak mempunyai sikap yang sama terhadap para sahabat. Mazhab-mazhab Jumhur menganggap seluruh sahabat jujur dan baik (ashshahabi kulluhum ‘udul). Mu’tazilah menolak hadis dari beberapa orang sahabat. Imam Abu Hanifah diriwayatkan berkata: ”Aku akan taklid kepada para qadhi yang memberikan fatwa di antara ara sahabat seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, tiga Abdullah—yakni Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud–dan tidak menolak mereka dengan pendapatku kecuali tiga orang: Abu Hurairah, Anas bin Malik, dan Samurah bin Jundab.”[7]
Mazhab Ja’fari menolak hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Anas bin Malik, Mua’wiah, Amr bin Ash, dan sahabat-sahabat lainnya yang dianggap menentang ahlu bait.
Perbedaan ushul fiqh: prosedur penarikan kesimpulan hukum
Sumber hukum yang diakui oleh semua Muslim ialah Al-Quran dan as-Sunnah, keduanya ini disebut an-Nash. Dari kedua sumber hukum ini, orang mengambil kesimpulan hukum atau fikih, yang disertai dengan alasan, atau ushul fiqh, mengapa sampai kepada kesimpulan tersebut, yang pada zaman ini dikenal sebagai logika modern. Orang yang berpikir logis dalam menafsirkan Al-Quran dan as-Sunnah, juga mempergunakan proses semacam ini. [Bersambung]
Dari “Islam Alternatif: Ceramah-ceramah di Kampus”, Jalaluddin Rakhmat, alm.Mizan, November 1986
[1] Muchtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam, Bandung: Al-Ma’arif, 1986, h. 376.
[2] Hadis ini dikeluarkan Muslim dalam bab “Tayamum,” Bukhari dalam bab Al mutayammim hal yunfakhu fihima, juga Abu Dawud, Ahmad, Baihagi, Ibnu Majah, dan An-Nasai.
[3] Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, Al-Maktabah al-Salafiyah, 1:443.
[4] M. Jawad Mugniyah, Al-Figh ‘alal Madzahib al-Khamsah, tanpa tahun dan penetbit, cet. ke-7, h. 31.
[5] Lihat Bukhari pada bab “Janaiz.” Hadis-hadis tentang ini diriwayatkan oleh Muslim, Ahmad, An-Nasai, Al-Baihaqi, Malik, dan Syaff’i.
[6] Amid Zanjani, AI Wifaq ‘la al-Sha’id al-Fiqhi,” At-Tauhid, “Adad VII Rabiul Awwal Tahun 2, 1404, hal. 42-45.
[7] Muhanimad bin Faramuz, Mirah al-Ushul, Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah. Lihat Juga A. W. Al-Sya’rani, Al-Mizan, Kairo: Al-Azhariyah, 1317, 1:58.