PersonaVeritas

Ja’far Ash-Sadiq; Imam Besar, Guru Para Imam Mazhab

Ada empat hal: “Pertama, tidak seorang pun diizinkan mengerjakan pekerjaan saya, yang dapat saya kerjakan sendiri. Kedua, saya tahu bahwa Allah melihat semua yang saya kerjakan. Ini membuat saya tetap sederhana dan malu, dan selalu gentar untuk mengerjakan sesuatu yang berlawanan dengan ajaran Islam. Ketiga, adalah merupakan keyakinan saya bahwa tidak seorang pun dapat merampas kehidupan saya yang telah dijamin Tuhan pada saya. Karena itu, saya merasa sangat puas dan tidak cemas akan hidup saya. Keempat, saya tahu bahwa saya akan mati pada suatu hari, dan saya selalu siap untuk hal ini.”

JERNIH–Balairung Khalifah Abbasiyah, al-Mansur, penuh sesak karena Ja’far Sadiq Fatimiyah yang dihormati akan segera datang. Beliau diminta hadir oleh Khalifah, yang mulai khawatir melihat kemasyhuran sang Imam yang kian meningkat, dan kini beliau mencari-cari alasan untuk menjatuhkan sang imam, atau bahkan menghukumnya.

Tanpa melakukan penghormatan yang lazim kepada khalifah, akhirnya seorang yang bertubuh kurus dan awut-awutan melangkah memasuki balairung. Hadirin terpesona. Khalifah, yang diperkirakan bakal menghunjamkan kata-kata tajam, ternyata malah berdiri menyampaikan penghormatan, kemudian mendudukkan sang Imam yang berilmu itu di sisinya.

Kebetulan, tepat pada saat itu, seekor lalat mengusik Baginda. Khalifah bertanya kepada Jafar Sadiq:

“Mengapakah gerangan lalat diciptakan?”

“Secara sederhana, untuk meredakan kesombongan angkara murka,” jawab Imam, tangkas dan cepat.

Al-Mansur yang berpembawaan keras itu tetap sangat ramah terhadap Imam yang dihormati. Dan ketika akhirnya tiba saat untuk berpisah, al-Mansur bertanya, apa gerangan yang bisa dilakukannya untuk sang Imam. Jafar Sadiq menjawab: “Satu-satunya keinginan hamba dari Paduka, janganlah hendaknya hamba diganggu lagi dengan diminta hadir di balairung ini.”

Jafar Sadiq, putra Imam Muhammad al-Bagir, adalah cicit Sayyidina Ali. Ibunya adalah cicit Sayyidina Abu Bakar. Ia diakui sebagai Imam Fatimiyah yang keenam.

Jafar dilahirkan di Madinah pada 7 Rabiulawal 53 H (699/700 M), ketika dunia Islam sedang melewati masa yang sangat sulit. Nilai rohaniah serta nilai moral agama yang besar itu sedang meluncur mencapai titik yang paling rendah. Para penyebar sinar pengetahuan dan mercu rohaniah yang besar-besar telah tiada, sebagian mereka disingkirkan oleh kekuasaan Umayyah yang korup dan sewenang-wenang.

Imam Jafar dibesarkan oleh kakeknya yang saleh dan alim, Imam Zainal Abidin. Adapun ayahnya yang berbakat, Imam Muhammad Bagir, kemudian memberi dia pendidikan rohani dan ilmu pengetahuan sebaik mungkin.

Ia dilahirkan semasa pemerintahan khalifah Umayyah, Abdul Malik, putra Marwan, dan sempat menyaksikan pemerintahan sepuluh khalifah Umayyah dan dua khalifah Abbasiyah.

Jafar Sadiq berkembang menjadi satu di antara ilmuwan Islam terbesar yang mengabdikan hidupnya bagi perkembangan kerohanian dan kecerdasan masyarakat. Ia tidak memainkan peran politik, dan dipuji karena kealimannya serta pengetahuannya akan hadis, astronomi, dan ilmu-ilmu lainnya. Madrasahnya di Madinah menarik orang dari seluruh dunia Islam. Di antara muridnya terdapat beberapa ilmuwan-ahli hukum dan sarjana yang besar, termasuk ahli-hukum sangat terkenal Imam Abu Hanifa dan Imam Malik, ahli hadis seperti Sufyan Tsauri dan Saidul Ansari, juga Jabir bin Ayyam, sarjana kimia Islam terbesar.

Madrasah Imam ini, yang telah memainkan peran sejarah dalam pendidikan beberapa ilmuwan terbesar Islam, menduduki tempat yang tinggi di antara lembaga pendidikan Islam pada masa permulaan Islam. Di Madinah, rumah Imam dan masjid Nabi merupakan pusat pendidikan dan penyelidikan yang besar. Di sini terdapat perguruan tinggi yang kelihatannya sangat sederhana, tempat para siswa berlindung, duduk di atas tikar menerima berbagai macam pendidikan rohaniah, moral, dan kebendaan. Mereka mempelajari teologi, metafisika, dan astronomi, dan semua ilmu yang diketahui di dunia.

Lebih dari 4.000 siswa yang mengikuti Madrasah Imam ini tercatat namanya. Menurut para ahli sejarah, pelajar dan seluruh dunia Islam tertarik akan perguruan di Madinah ini. Sesudah mendapat pendidikan dari Imam besar ini, mereka kembali ke tempat asal mereka, dan menyebarkan cahaya ilmu itu ke seluruh dunia.

Ada empat hal: “Pertama, tidak seorang pun diizinkan mengerjakan pekerjaan saya, yang dapat saya kerjakan sendiri. Kedua, saya tahu bahwa Allah melihat semua yang saya kerjakan. Ini membuat saya tetap sederhana dan malu, dan selalu gentar untuk mengerjakan sesuatu yang berlawanan dengan ajaran Islam. Ketiga, adalah merupakan keyakinan saya bahwa tidak seorang pun dapat merampas kehidupan saya yang telah dijamin Tuhan pada saya. Karena itu, saya merasa sangat puas dan tidak cemas akan hidup saya. Keempat, saya tahu bahwa saya akan mati pada suatu hari, dan saya selalu siap untuk hal ini.”

Jafar Sadiq terkenal karena keahliannya menjelaskan hadits Nabi yang asli, satu demi satu. Berdasarkan kebenaran dan kejujurannya dalam mengungkapkan hadis, beliau diberi gelar Sadig (Yang Benar) oleh kaum Muslimin.

Karena ia menjaga harga diri dan berpendirian teguh, ia tidak pernah meminta kemurahan hati agar disayangi para khalifah Umayyah dan Abbasiyah yang selalu berusaha mendapatkan simpatinya.

Ia memiliki kesabaran dan tenggang rasa yang sangat besar. Ia selalu membalas kejahatan dengan kebaikan, dan dengan demikian mengikut teladan Nabi. Dalam mengasihani dan bermurah hati, ia merupakan putra sejati keluarga besarnya, dan senantiasa menjunjung tinggi kebiasaan ini. Percobaan dan godaan, betapa pun banyaknya, tidak dapat membuaynya menyimpang dari jalan yang benar.

Imam besar ini wafat di Madinah pada 756 M, dan dimakamkan “Jannat-ul-Baqih”. Beliau digantikan oleh putranya, Musa-al-Kazim, yang diakui sebagai Imam Fatimiyah ketujuh.

Kematiannya menyuramkan dunia Islam. Menjawab sebuah pertanyaan, Khalifah Abbasiyah al-Mansur berkata: “Pemimpin kaum Muslimin yang murni, seorang yang paling berilmu, dan ahli ilmu ketuhanan telah meninggalkan dunia ini.”

Menurut Imam Abu Hanifah,“Beliau adalah ilmuwan ketuhanan dan ilmu hukum Islam yang terbesar.”

Imam Malik berkata, “Mataku belum pernah melihat seorang yang lebih pandai, alim dan takwa kepada Allah selain Imam Jafar Sadiq.”

Syeikh Kamaluddin Muhammad bin Talha Syifai mengakui, “Beliau adalah segala ilmu pengetahuan, dan bengawan ajaran-ajaran Quran.”

Al-Ustadz Mu’min mengamati bahwa “Sifat-sifat baiknya tidak terhitung dan tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata.”

Menurut Jabir bin Hayyam, “Hampir tidak ada seorang guru yang lebih baik dari beliau di dunia ini.”

Beberapa dari peribahasanya yang tercatat adalah:

“Mutu terbaik suatu kebajikan ialah kita harus segera melakukannya, mencoba melampauinya, dan jangan menyebut-nyebutnya.”

“Kita harus berusaha membuat kebajikan kepada orang lain supaya dapat menyelamatkan diri dari gangguan setan.”

“Di dunia, orang dikenal dari keluarganya, tetapi di akhirat, hanya perbuatan baiklah yang diakui.”

“Seseorang yang merasa puas dengan nasibnya, dan apa yang diberikan Allah kepadanya akan merasa selalu bersyukur, sedangkan seseorang yang selalu loba terhadap harta orang lain, akan tetap menjadi pengemis.” [ ]

Dari “Hundred Great Muslims”, Kh Jamil Ahmad, Ferozsons Ltd, Lahore, Pakistan, 1984.

Back to top button